Tersangka Dugaan Korupsi, Staff KPU DIY Didorong Jadi Justice Collabolator

YOGYAKARTA – Beberapa waktu yang lalu, staf Komisi Pemilihan Umum (KPU) Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY),  dengan inisial SGW ditetapkan sebagai tersangka dalam kasus dugaan korupsi pengadaan alat perlengkapan KPU dan tagihan pemesanan hotel. Terkait dengan hal itu, Jogja Corruption Watch (JCW) memberikan apresiasi terhadap kinerja Kejaksaan Negeri (Kejari) Yogyakarta.

“Kejari Yogyakarta telah melakukan penahanan terhadap tersangka SGW di Lapas Wirogunan setelah ditetapkan sebagaii tersangaka, dan juga menetapkan tersangka lain dalam kasus tersebut. Ini langkah maju dalam pemberantasan korupsi. Hal tersebut harusnya juga dilakukan pada tersangka kasus dugaan korupsi yang lainnya. Artinya, kejaksaan jangan tebang pilih dalam menahanan atau tidak seorang tersangka yang disangkaan melakukan tindak pidana korupsi,” kata divisi Humas dan Ppengaduan Masyarakat JCW, Baharuddin Kamba dalam keterangan pernya, Senin (02/11/2015).

Dikatakan Baharuuddin, seperti diketahui bahwa penahanan terhadap tersangka SGW berdasarkan surat perintah penahanan Nomor PRINT-1805/04.10/Fd.1/15 yang ditandatangani oleh Kepala Kejaksaan Negeri Yogyakarta Anwarudin Sulistyono.  Tersangka SGW dijerat dengan Pasal 2, Pasal 3 dan Pasal 8 Undang-undang  Nomor 31 Tahun 1999 jo Undang-undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dengan ancaman penjara mencapai 20 tahun . Karena akibat dari perbuatan tersangka negara terindikasi mengalami kerugian keuangan negara Rp 700 juta lebih. 

Selain itu, kata dia, JCW juga mendorong kepada tersangka SGW mau menjadi justice collabolator.  Menurutnya, jika kita merujuk pada Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) Nomor 4 Tahun 2011 tentang Perlakuan Bagi Pelapor Tindak Pidana (Whisle Bower) dan Saksi Pelaku yang Bekerjasama (Justice Collabolator) di dalam Perkara Tindak Pidana tertentu.

“Dalam SEMA tersebut justice collabolator merupakan salah satu pelaku tindak pidana tertentu, mengakui yang dilakukannya, bukan pelaku utama dalam kejahatan tersebut serta memberikan keterangan sebagai saksi di dalam proses peradilan.  Tindak pidana tertentu yang dimaksud SEMA adalah tindak pidana korupsi, terorisme, tindak pidana narkotika, tindak pidana pencucian uang, perdagangan orang, maupun tindak pidana lainnya yang bersifat terorganisir. Sehingga, tindak pidana tersebut telah menimbulkan masalah dan ancaman serius bagi stabilitas dan keamanan masyarakat,” jelasnya.

Masih menurut Baharuddin, dalam SEMA dijelaskan bahwa keberadaan dua istilah ini bertujuan untuk menumbuhkan partisipasi publik dalam mengungkap suatu tindak pidana tertentu tersebut. Salah satu acuan SEMA adalah Pasal 37 Ayat (2) dan Ayat (3) Konvensi PBB Anti Korupsi (United Nations Convention Against Corruption) tahun 2003. Ayat (2) pasal tersebut berbunyi, setiap negara peserta wajib mempertimbangkan, memberikan kemungkinan dalam kasus-kasus tertentu mengurangi hukuman dari seorang pelaku yang memberikan kerjasama yang substansial dalam penyelidikan atau penuntutan suatu kejahatan yang diterapkan dalam konvensi ini. Sedangkan Ayat (3) pasal tersebut adalah, setiap negara peserta wajib mempertimbangkan kemungkinan sesuai prinsip-prinsip dasar hukum nasionalnya untuk memberikan kekebalan dari penuntutan bagi orang yang memberikan kerjasama substansial dalam penyelidikan atau penuntutan (justice collaborator) suatu tindak pidana yang ditetapkan berdasarkan konvensi ini.

“Ketentuan serupa juga terdapat pada Pasal 26 Konvensi PBB Anti Kejahatan Transnasional yang Terorganisir (United Nation Convention Against Transnational Organized Crimes). Indonesia sendiri telah meratifikasi Konvensi PBB Anti Korupsi menjadi Undang-undang Nomor 7 Tahun 2006 dan meratifikasi Konvensi PBB Anti Kejahatan Transnasional menjadi Undang-undang Nomor 5 Tahun 2009. Berdasar pada Pasal 10 Undag-undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban disebutkan bahwa  justice collaborator atau saksi sekaligus tersangka dalam kasus yang sama tidak dapat dibebaskan dari tuntutan pidana apabila terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah. Namun, kesaksiannya dapat dijadikan pertimbangan hakim dalam meringankan pidananya,” katanya mengulas.

Bahar berharapp, tersangka SGW bersedia menjadi justice collabolator agar kasus dugaan korupsi pengadaan alat perlengkapan KPU dan tagihan pemesanan hotel dapat dituntaskan secara adil karena pengacara SGW, Yogo Tri Handoko, berjanji kliennya akan buka-bukaan ke jaksa penyidik siapa saja yang turut andil di kasus ini. Apalagi, imbuh Baharuddin, kuitansi dan bukti pengeluaran diketahui dan ditandatangani oleh pejabat KPU DIY lainnya. 

“Menjadi justice collabolator juga bisa dilakukan oleh para terdakwa dalam kasus dugaan korupsi proyek Pergola Kota Yogyakarta karena hingga saat ini hanya tiga terdakwa yang duduk di kursi pesakitan padahal pada persidangan sempat muncul nama anggota dewan Kota Yogyakarta yang diduga melakukan intervensi atas proyek Pergola tersebut,” pungkasnya. (pr/bhr)

Redaktur: Rudi F

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Powered by rasalogi.com