YOGYAKARTA – Kuasa hukum terdakwa dugaan kasus korupsi dana hibah KONI Kota Yogyakarta 2013, Drs. Sukamto, Hartanto SH. M.Hum menilai Dakwaan Jaksa Penuntut Umum (JPU) cacat dan batal demi hukum.
Dalam nota keberatan yang dibacakan dalam sidang lanjutan, Kamis (17/03/2016) di Pengadilan Tipikor Yogyakarta, Hartanto mengungkapkan berbagai kesalahan JPU dalam prosedur dakwaan. Diantaranya, bahwa dakwaan JPU tidak disertai bukti kerugian Negara dari Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), maka dengan demikian unsur korupsi dalam penyidikan terhadap kliennya yang menjabat sebagai Kepala Kantor Kesatuan Bangsa Pemuda dan Olahraga (Kesbangpor) Pemerintah Kota (Pemkot) Yogyakarta, belum terpenuhi.
“Karena penyidikan dalam kasus korupsi harus dilengkapi audit investigasi yang pro-justitia yang hanya dilakukan BPK secara menyeluruh, bukan sekadar menghitung apa yang ditemukan penyidik,” kata Hartanto di hadapan majelis hakim yang diketuai Barita Saragih SH dan JPU dengan ketua Dwi Nurhatni.
Lebih lanjut dijelaskan Hartanto, terkait kewenangan BPK tersebut didasarkan pada UU No 15 Tahun 2006, pasal 10 ayat (1) yang berbunyi BPK menilai dan/atau menetapkan jumlah kerugian Negara yang diakibatkan oleh perbuatan melawan hukum baik sengaja maupun lalai yang dilakukan oleh Bendahara, pengelola BUMD/BUMN dan lembaga atau badan lain yang menyelenggarakan pengelolaan keuangan Negara.
Terkait kewenangan BPK tersebut, Hartanto juga mengacu kepada kesepakatan bersama antara BPK dan Kejaksaan Agung RI Nomor:01/kb/i-viii.3/07/2007, Nomor: kep-071/a/ja/07/2007 tentang tindak lanjut penegakkan hukum terhadap hasil pemeriksaan BPK yang diduga mengandung unsur Tindak pidana. Dikutip sebagian dalam bagian menimbang hiruf (b) menekankan bahwa terhadap hasil pemeriksaan yang diduga mengandung unsur pidana, BPK sesuai kewenangannya menyerahkan kepada Kejagung untuk ditindaklanjuti sesuai ketentuan peraturan perundangan yang berlaku.
Selain itu, Dakwaan JPU cacat formal atau mengandung kekeliruan beracara (error in procedure) karena melanggar pasal 51 (a) KUHAP yang berbunyi, “Tersangka berhak untuk diberitahukan dengan jelas dalam bahasa yang dimengerti olehnya tentang apa yang disangkakan kepadanya pada waktu pemeriksaan dimulai”. Hal tersebut dibuktikan bahwa dalam surat panggilan penyidikan terhadap tersangka , jaksa juga tidak menjelaskan landasan yuridis pasal yang dipersangkakan, demikian juga selama pemeriksaan penyusunan BAP. Namun, dalam dakwaan JPU tiba-tiba muncul pasal 2 dan 3 UU No 31 Tahun 1999 tentang pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Kemudian, tersangka tidak pernah ditunjukkan Surat Perintah Penyidikan (SPRINDIK), berikut pasal yang disangkakan.
“Bahwa oleh karena Dakwaan JPU cacat formal atau mengandung kekeliruan beracara (error in prosecedure), sudah selayaknya dakwaan harus dinyatakan tidak dapat diterima (niet onvankelijk verklaard),” tegas Hartanto
Dalam nota keberatan Hartanto mengajukan permohonan agar majelis hakim menerima dan mengabulkan keberatan terdakwa yang diajukan secara keseluruhan.
“Menyatakan membebaskan dan melepaskan terdakwa dari segala dakwaan hukum. Atau apabila Majelis Hakim berpendapat lain, maka kami mohon agar diberikan putusan yang seadil-adilnya (Ex Aequo Et Bono), demi tegaknya keadilan berdasarkan hukum yang berlaku dan ke-Tuhanan Yang Maha Esa. Demikian eksepsi ini kami sampaikan, atas perkenan dan dikabulkannya eksepsi ini kami ucapkan terima kasih,” tutupnya.
Sementara, JPU mengajukan waktu satu pekan ke depan untuk memberikan tangapan atas keberatan terdakwa.
Sekadar mengingatkan, Sukamto yang menjabat sebagai Kepala Kantor Kesbangpor Pemkot Yogyakarta, telah menjalani sidang pertama pada Kamis (10/03/2016) yang lalu. Dalam dakwaannya, JPU Dwi Nurhatni mengatakan, Sukamto melakukan tindak pidana korupsi dengan modus membuat proposal dana hibah dengan nilai Rp 900 juta. (kt1)
Redaktur: Agung