Gusti Prabu: Kasus Seragam Atlet Koni Kota Yogyakarta Hanya Soal Prosedur

YOGYAKARTA – Terkait kasus dugaan korupsi seragam atlet KONI Kota Yogyakarta tahun 2015, Ketua KONI DIY, GBPH Prabu Kusumo meminta penyidik Polda DIY objektif dengan melihat kasus secara menyeluruh. Menurutnya kasus tersebut hanya persoalan prosedur.

“Hanya masalah prosedur saja, prosedur itu pun dari mana asalnya harus dilihat,” tutur tokoh yang akrab disapa Gusti Prabu, saat dikonfirmasi wartawan, Selasa (30/08/2016).

Menurut Gusti Prabu, tidak dilakukannya proses lelang dalam pengadaan seragam atlet karena waktu yang mendesak, akibat Pemerintah Kota tidak segera mencairkan dana.

Dikatakan Gusti Prabu, KONI Kota Yogyakarta bahkan sudah terlambat mendaftar, sehinga KONI DIY harus koordinasi dengan KONI kabupaten lain dalam waktu 2 hingga 3 hari. Bahkan ada dari salah satu kabupaten sempat berkeberatan, karena menilai KONI Kota tidak disiplin. Namun, dengan berbagai pertimbangan akhirnya semua bisa menerima.

Gusti Prabu juga mengaku sempat berkoordinasi dengan Wali Kota Yogyakarta, Haryadi Suyuti saat itu.

“Pengurus KONI Kota dan Atlet-atletnya itu korban kebijakan.Nyaris Pengurusnya pamit tidak ikut PORDA DIY .Hampir setiap saat dateng ke KONI DIY kebingungan. Saya juga bingung, ketemu pak Wali, ketemu pejabat terkait, sudah ya ya ya tapi ndak keluar (anggaran, red) juga. Jadi yang salah kebijakan pemerintah daerah, dimana tidak sesegara mungkin mengucurkan dana untuk mendaftarkan,” kata Adik Sri Sultan Hamengku Buwono X ini.

Gusti Prabu juga mengaku pasca mencuatnya kasus seragam atlet di media, pengurus KONI Kota datang untuk berkonsultasi. Terkait pengadaan tanpa lelang, ia menilai alasan KONI Kota masuk akal. Menurutnya, jika pesan seragam tidak langsung ke pabrik di luar Yogyakarta, dikhawatirkan ada kesalahan cetak dan tidak ada jaminan waktunya bisa cepat jadi.

“Di Jogja apakah ada? Ada satu dua, tapi apakah bisa terjamin waktunya? Sehingga pengurus KONI Kota Jogja pesan ke pabrik langsung. Kalau ndak salah Beli di bandung. Tapi saya tanya ada ndak dari temen-temen pengurus KONI Kota yang menerima duit dari pihak suplayer? Mereka sampaikan tidak, ya tidak masalah menurut saya,” tukasnya.

Gusti Prabu juga meminta Pengurus KONI Kota bersikap tenang dalam menghadapi penyidik. Ia menyarankan agar hari, tanggal yang terkait dicatat dan dilaporkan ke penyidik. Kendati menggunakan dana hibah yang bersumber dari uang Negara, namun pengadaan tanpa lelang, ia nilai tidak selalu salah.

“Jadi saya berharap teman-teman KONI juga harus berani dengan penyidik, jangan takut, jangan menunduk, harus berani apa adanya. Bila perlu Tanya balik, kalau anda jadi saya bagaimana? Kalau ndak korupsi kenapa harus bingung. Jangan menganggap kalau dana miliaran itu sarang korupsi. Itu yang saya tidak setuju,” imbuh Gusti Prabu.

Sepanjang Anda tidak korupsi, kata Gusti Prabu, KONI DIY akan membantu konsultan hukum yaitu, Bapak Dr. Achiel Suyanto SH dan Bapak Agus Edy Triyono SH.

“Kalau tidak korupsi lho,” tegas Gusti Prabu.

Terkait apakah kasus seragam atlet senilai Rp Rp 639,7 juta tersebut politis, mengingat sempat menyeret nama Wakil Wali Kota Yogyakarta Imam Priyono yang akan maju dalam Pilkada Kota Yogyakarta 2017? Gusti Prabu tidak melihatnya demikian.

“Saya kira kalau ditarik ke masalah politik tidak. Ini persoalan hukum. Saya pribadi benci Korupsi. Yang penting kalau memang tidak korupsi, selesai,” pungkasnya.

Sebelumnya, pegiat anti korupsi dari Jaringan Masyarakat Anti Korupsi (JAMAK) Yogyakarta, Akbar Fadhil meminta  Polda tidak terpengaruh isu politis terkait kasus seragam atlet. Sebab, kata Akbar, kerap kali kasus dugaan korupsi yang melibatkan pejabat publik yang ditangani Kepolisian atau Kejaksaan tidak sampai naik ke persidangan dengan alasan dalam Laporan Hasil Pemeriksaan (LHP) BPKP tidak ada kerugian negara.

Padahal, kata Akbar,  audit BPK atau BPKP itu macam-macam jenis dan fungsi masing-masing.

“Audit investigasi ini harus dengan permintaan penegak hukum atau kepala daerah. Jadi jika belum ada audit investigasi hanya mengacu ke audit kinerja dikatakan tidak terbukti, itu jelas keliru. Sebab fungsi audit kinerja atau kepatutan bukan untuk menghitung kerugian Negara,” ujar Alumini FH UGM ini.

Ditambahkan Akbar, saat ini untuk pemeriksaan pejabat daerah oleh penegak hukum sudah tidak lagi terganjal aturan harus seijin presiden dengan dihapusnya pasal 36 ayat 1,2,dan 3 UU 32 Tahun 2014 tentang Pemerintah Daerah. Bahkan, terkait kewenangan, selain BPKP penegak hukum bisa melakukan penghitungan keuangan Negara dengan berkoordinasi dengan BPKP atau BPK, sesuai Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 31/PUU-X/2012 tanggal 23 Oktober 2012.

“Kalau kasus tahun 2010 ke bawah mungkin masih banyak aturan yang menghambat penyidik untuk memeriksa pejabat publik , sekarang sudah tidak lagi. Dan yang membuktikan bersalah atau tidak adalah hakim di pengadilan, bukan penyidik,” pungkasnya.

Seperti diketahui, Polda DIY tengah melakukan penyelidikan terhadap kasus dugaan korupsi pengadaan seragam atlet oleh KONI Kota Yogyakarta untuk PORDA DIY XIII tahun 2015. Salah satu pengurus KONI, Kusmarbono alias Ibon mengaku pengadaan atlet dengan tanpa lelang karena alasan waktu mendesak. Sebab dana dari Pemerintah Kota cair pada pertengahan Juli, sementara di pertengahan Agustus atlet dari KONI sudah ada yang mulai tanding. Selain itu hal tersebut dilakukan setelah berkonsultasi dengan Imam Priyono selaku ketua Kontingen.

Namun Belakangan, Wakil Wali Kota Yogyakarta yang akrab disapa IP tersebut membantah keterangan Ibon. Ia membantah menjabat sebagai ketua Kontingen dan tidak mengarahkan KONI terkait pengadaan seragam atlet. IP bahkan sempat menyatakan tidak akan datang jika dipanggil Polda terkait kasus tersebut, meski belakangan pernyataannya diralat dengan mengatakan bahwa ia yakin tidak akan dipanggil karena Penyidik Polda yang profesional pasti mengetahui jika tidak ada relevansinya dengan kasus yang diselidiki.(kt1)

Redaktur: JN 1

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Powered by rasalogi.com