Oleh: Teguh Wiyono, M.Pd.I
Dalam tujuan pendidikan nasional, yaitu: mengembangkan potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman, dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab. Namun pendidikan kita untuk menuju cakap, kreatif dan mandiri terasa masih sangat sulit hal tersebut terlihat dari prinsip yang dipegang oleh masyarakat dan pemangku pendidikan masih menganggap bahwa sekolah adalah tempat untuk mencari pekerjaan, tetapi tempat untuk membuka/mencetak lapangan kerja. Dampak dari dikotomi yang salah tersebut menjadikan bangsa kita menghasilkan para pengangguran. Di era sekarang bukan jamanya mencari pekerjaan tetapi menciptakan lapangan pekerjaan, karena era sekarang menutut persaingan yang kompetitif, dan terampil.
Jika seperti ini lantas siapa yang akan bertanggungjawab?ataukah tujuan pendidikan nasional kita sulit untuk dicapai? Atau mungkin para pemangku pendidikan kita belum tepat dalam melaksanakan tugasnya? Atau mungkin juga kesadaran masyarkat kita dalam memaknai lembaga pendidikan masih kurang tepat?
Sebenarnya filosofi pendidikan sendiri, adalah untuk membebaskan seseorang dari kebodohan. Terdapat 4 hal dari filosofi pendidikan tersebut. Pertama adalah pendidikan sebagai metode Knowledge Transfer (transfer pengetahuan). Melalui pendidikan, seseorang yang sebelumnya tidak tahu menjadi tahu.
Filosofi kedua adalah pendidikan sebagai Mastering Logic (memahami logika). Dalam hal ini pendidikan mengajar orang untuk berpikir secara sistematis dan logis. di desa-desa masih banyak orang tua yang enggan anak-anaknya sekolah tinggi karena mereka berpendapat anak mereka akan menjadi anak yang kurang ajar. “Orangtua sering merasa dibodohi anaknya yang sekolah tinggi, padahal hal itu karena anak-anak mereka telah sampai pada tahap Mastering Logic sehingga bersikap kritis,
Filosofi ketiga adalah Training Of Endurance (pelatihan ketahanan mental). Dalam filososi ini, pendidikan membuat seseorang tidak lemah jiwanya, melainkan mampu Struggle (bertahan) dan tidak gampang menyerah. Dengan berpendidikan, seseorang sanggup untuk berjuang dalam hidup, kemudian filosofi keempat adalah pendidikan membuat seseorang yang tidak ahli menjadi ahli. Dan inilah yang bisa dilakukan oleh pendidikan di sekarang ini.
Salah satu kunci untuk merubah pola pikir yang salah dari masyarakat dan pemangku pendidikan adalah dengan melakukan perubahan pendidikan dengan penanam pendidikan kewirausahaan. Dengan kurikulum yang berkarakter wirausaha dimungkinkan akan mencetak para lulusan pencipta lapangan pekerjaan, selain itu, dengan kurikulum kewirausaan para siswa bukan sekedar menerima teori tetapi dituntut terjun langsung dikehidupan nyata yang disesuaikan dengan jurusan/keahlian yang dikhendaki dan dengan intensitas waktu yang tepat.
Permasalahan yang terjadi berkaitan pendidikan kewiraushaan, diantaranya; Pertama, dari para pendidiknya rata-rata mereka bukan pelaku usaha tetapi para pelaku teori dari wirausaha. Seorang pendidik tidak akan pernah berhasil mencetak lulusan yang berkualitas manakala gurunya saja tidak bisa membimbing dalam bidang praktek lapangan. Kedua, beranggapan membutuhkan modal yang banyak, padahal dalam melakukan praktek atau latihan berwira usaha tidak harus menggunakan modal yang besar atau sarana yang baik yang terpenting sebenarnya bagaimana peserta didik mengetahui cara memproduksi sendiri dan memasarkan. Hal tersebut yang menjadikan para lulusan kita terhenti dan menjadi pengangguran, mereka berasalan tidak bisa memproduksi, kualitas tidak bagus, untungnya sedikit, dan lain sebagainya, padahal mereka belum mencoba.
Ketiga, kurangnya lembaga pendidikan yang bermitra dengan pemilik wirausaha/owner. Lembaga pendidkan kita masih terpaku dengan kesamaan, jika tidak ada kaitan dengan pendidikan dianggap tidak memiliki pengaruh terhadap sekolahnya. Hal ini yang menjadikan para pemilik wirausaha sulik untuk membuka usahanya di ruang lingkup pendidikan, padahal jika bisa bermitra sekolah bisa diuntungkan yaitu dengan mamasukan para muridnya praktek langsung bukan sekedar praktek lapangan saja. Selain itu, sekolah juga bisa menjualkan hasil produk para siswanya kepada yang diajak bermitra.
Keempat, kurangnaya memberikan penghargaan bagi para siswa yang sudah berhasil menciptakan lapangan pekerjaan secara mandiri. Jika pihak sekolah memberikan hadiah bagi siapapun yang berhasil merintis eksport barang-barang yang diproduk sendiri, maka akan semakin tumbuh perusahaan-perusahaan yang sekaligus juga berarti menambah peluang menampung tenaga kerja dalam jumlah besar dan tentunya menguntungkan sekolah. Kesalahan kita terkadang adanya reuni di sekolah hanya sebatas seremonial temu kangen bukan saling berbagi dan mengikat dari pihak sekolah kepada siswa yang sudah berhasil agar bisa membagi ilmunya kepada adik kelasnya.
Kelima, lemahnya dorongan untuk menjadi wirausaha yang tangguh dari pihak sekolah. Sehingga mereka belum mampu menghadapi tantangan macam-macam. Dengan kata lain, guru belum mampu mengubah sikap-sikap ketergantungan siswa kepada orang lain, dari pada menjadi lebih mandiri.
Dengan adanya permasalahn ini hendanya dapat dijadikan pelajaran bagi setiap sekolah atau pihak pemerintah setempat untuk menciptakan sebuah lembaga pendidikan yang lebih terarah, cakap dan terampil. Hal ini berkaitan erat dengan kurikulum yang disusun di sekolah guna menjawab masalah peningkatan kualitas sumberdaya manusia melalui kurikulum berbasis wirausaha. Pendidikan berbasis wirausaha adalah proses pembelajaran tata nilai kewirausahaan melalui pembisaan dan pemeliharaan pelaku dan sikap.
Untuk membangun semangat kewirausahaan dan memperbanyak wirausahawan, pemerintah telah mengeluarkan intruksi Presiden No 4 tahun 1995 tentang gerakan nasional memasyarakatkan dan membudayakan kewirausahan. Intruksi ini mengamanatkan kepada seluruh masyarakat dan bangsa Indonesia untuk mengembangkan program-program kewirausahaan.
Dalam mengimplementasikan pendidikan kewirausahaan terdapat nilai-nilai pokok yang sesuai dengan tingkat perkembangan peserta didik, nilai-nilai pokok kewirausahaan tersebut tidak secara langsung dilaksanakan sekaligus oleh satuan pendidikan, namun dilakukan secara bertahap, diantaranya; Pertama, mandiri. Mandiri merupakan sikap dan perilaku yang tidak mudah tergantung pada orang lain dalam meyelasaikan tugas-tugasnya. Kedua, kreatif. Kreatif merupakan berfikir dan melakukan sesuatu untuk menghasilkan cara atas hasil berbeda dari produk /jasa yang telah ada.
Ketiga, berani mengambil resiko. Hal ini merupakan kemampuan seseorang untuk menyukai pekerjaan yang menantang, berani dan mengambil resiko kerja. Keempat, berorientasi pada pada tindakan yaitu mengambil inisiatif untuk bertindak, dan bukan menunggu sebelum sebuah kejadian yang tidak dikehendaki terjadi. Kelima, kepemimpinan adalah sikap dan perilaku seseorang yang selalu terbuka terhadap saran dan kritik mudah bergaul, bekerjasama, dan mengarahkan orang lain. Keenam, kerja keras, merupakan perilaku yang menunjukan upaya sungguh-sungguh dalam meyelesaikan tugas dan mengatasi berbagai hambatan.
Mari kita kembangkan bersama pendidikan kewirausahaan bahwa untuk mengasilkan para lulusan berkulitas yang sesuai dengan kebutuhan daya saing bangsa, serta visi, misi sekolah dalam menghasilkan para lulusan bermutu. Perubahan visi dan misi diperlukan dalam rangka menghasilkan lulusan yang mampu meningkatkan daya saing bangsa, yaitu lulusan yang bukan sekedar mencari kerja tetapi lulusan yang juga mampu menciptkan peluang kerja, dangan didampingi oleh pendidik yang paham betul teori dan praktek dalam berwirausaha demi kemajuan nusa dan bangsa kita. [*]
*Penulis Adalah Dosen di Universitas Terbuka Purwokerto Pada Fakultas Pendidikan