Oleh: Edison Guntur Aritonang*
Klarifikasi Partai Demokrat (PD) atas tudingan “_politik dua kaki_” tetap menyisakan pertanyaan karena PD tidak memberi sanksi, baik atas pembelotan sikap yang dilakukan Dedi Mizwar dan Lukas Enembe. Dalam kontestasi Pilpres 2019 ini, PD sudah menentukan sikap secara resmi dan tercatat di Komisi Pemilihan Umum (KPU) mengusung pasangan Prabowo – Sandi sebagai Calon Presiden (Capres) dan Calon Wakil Presiden (Cawapres) pada 10 Agustus 2018 lalu.
PD telah memutuskan mengusung Prabowo-Sandi melalui mekanisme partai tersebut, meski ada 5 DPD yang berbeda haluan dengan DPP. Memang tidak ada sanksi tegas yang mengatur terkait hal tersebut dari KPU ataupun Badan Pengawas Pemilihan Umum (Bawaslu), karena hal tersebut diserahkan ke mekanisme yang berlaku di internal parta, namun secara etika politik hal tersebut memberikan suatu tontonan penyimpangan sikap, seolah-olah kepentingan menjaga wibawa PD dapat dikalahkan “_sikap genit_” politik Pilpres 2019.
Dialektika Sikap Politik
Adanya dua pasangan calon (paslon) yang terdaftar di KPU secara resmi dalam kontestasi Pilpres 2019 tentu memunculkan dua pusat sebagai “_sumber kebenaran_“. Konstruksi narasi kebenaran tentu untuk meyakinkan dan memengaruhi masyarakat pemilih agar memilih paslon yang mereka usung. Setiap narasi sebagai tesis salah satu paslon cenderung menjadi anti tesis oleh lawannya atau sebaliknya, agar dapat dihadirkan sebagai sintesis kepada masyarakat pemilih. Secara normatif pola tersebut tentu akan mewarnai kampanye yang diperankan oleh partai pengusung untuk memenangkan paslon masing-masing.
Terkait perbedaan sikap yang terjadi di internal PD, ada potensi dilematis dalam pembangunan narasi kampanye dalam kontestasi Pilpres 2019 nanti. Narasi-narasi yang dibangun PD akan saling bertabrakan dan seolah-olah menggerus kewibawaan partai. Jika “Putera Mahkota” PD, Agus Harimurti Yudhoyono (AHY), diberikan kesempatan untuk berkampanye di 5 DPD yang berbeda sikap tersebut, harus membangun narasi untuk meyakinkan masyarakat pemilih agar memenangkan paslon yang diusung PD, maka dilema tersebut menjadi tontonan yang tidak menarik dan berpotensi menggerus kewibawaan tokoh tersebut dan PD secara umum.
Antara Aku, Kau, dan Bekas Pacarmu
Memang dibutuhkan keteguhan hati seorang pemimpin sejati untuk menjawab dilema sikap politik dalam suatu dialektika politik yang sudah terbentuk. Situasi ini harus dijawab dengan bijaksana oleh seluruh elit PD. Apapun dramaturgi yang sempat mewarnai perjalanan PD dalam menyikapi Pilpres 2019, dari upaya koalisi ke kubu Jokowi hingga berlabuh di kubu Prabowo, jangan sampai tersandera kebimbangan seperti lirik lagu Iwan Fals, “_saat engkau tiba, disimpang jalan, lalu kau bimbang, untuk tentukan arah tujuan_“, yang berjudul Antara Aku, Kau, dan Bekas Pacarmu.
Indonesia dengan segala kompleksitas permasalahannya, dilema situasi yang jauh lebih rumit dari permasalahan perbedaan sikap elit PD, pembangunan yang harus tetap berjalan meski cenderung terjadi defisit anggaran bak rumah tangga dengan pendapatan bulanan lebih kecil dari kebutuhan tetapi harus tetap berjalan kondusif, dan lain sebagainya, membutuhkan pemimpin-pemimpin yang berani bersikap. Indonesia membutuhkan pemimpin yang siap menjadi martir untuk menjawab kegelisahan masyarakat dan mengantarkan mereka pada harapannya, yaitu masyarakat adil dan makmur. Semoga AHY sebagai salah satu tokoh potensial yang akan mewarnai bursa kepemimpinan nasional nanti, mampu memaknai tontonan-tontonan ini menjadi satu rangkaian tuntunan kebenaran untuk memperkaya tatanan pembangunan Indonesia yang baik menjadi lebih baik lagi. (*)
*Penulis adalah Mahasiswa Doktoral Ilmu Kesejahteraan Sosial – Universitas Indonesia