Warga Penolak Pembangunan Bandara di Kulonprogo Gugat Presiden ke MA

JAKARTA – Perwakilan organisasi petani Paguyuban Warga Penolak Penggusuran – Kulon Progo (PWPP-KP), Tim Advokasi Peduli Lingkungan dan Jaringan Solidaritas Teman Temon datang ke Jakarta untuk menyerahkan langsung gugatan hukum PWPP-KP kepada Presiden RI melalui mekanisme hukum judicial review (JR) di Mahkamah Agung (MA), Rabu (27/03/2018).

Humas PWPP KP Ustadz Sofyan mengatakan, gugatan ini mempersoalkan rekayasa hukum serta pembangunan bandara New Yogyakarta International Airport  (NYIA) yang telah merugikan rakyat dan akan membahayakan lebih banyak orang. Penyerahan gugatan ke Mahkamah Agung di Jakarta, kata dia,  akan disertai dengan aksi untuk menggemakan bahaya pembangunan bandara NYIA  kepada masyarakat luas. Aksi paralel juga akan dilakukan di depan istana Gedung Agung, Yogyakarta,

“Melalui gugatan dan aksi bersama ini, Jaringan Solidaritas Teman Temon, PWPP-KP dan Tim Advokasi Peduli Lingkungan, dengan tegas menyatakan menuntut pembatalan Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional yang mendukung pendirian bandar udara di wilayah rawan bencana.

Menolak kelanjutan pembangunan bandara NYIA di Kulon Progo yang telah merampas hak atas tanah, hak hidup, dan hak lingkungan yang terlindung dari bencana,” ” kata dalam keterangan pers di  Yayasan LBH Indonesia,  lantai 3 kantor YLBHI, jalan diponegoro 74 Jakarta Pusat, Rabu (27/03/2019) 

Sofyan menendaskan, pihaknya  juga menuntut pembatalan berbagai Proyek Strategis Nasional di Indonesia yang menempatkan kepentingan investasi di atas keamanan dan kesejahteraan rakyat,

“Menuntut pengusutan tuntas kasus pelanggaran Hak Asasi Manusia dalam berbagai pembangunan Proyek Strategis Nasional,” katanya.

Sofyan menambahkan, paguyubannya telah berjuang untuk mempertahankan tanahnya yang digusur paksa demi percepatan ekonomi yang dijanjikan melalui pembangunan bandara. Padahal,kata dia,  lahan pesisir Kulon Progo sangat produktif sebagai tempat mata pencaharian warga,

“Ribuan warga menggantungkan hidupnya menjadi petani sayur, buah dan padi. Pembangunan bandara NYIA telah merenggut ruang hidup dan kemandirian rakyat,” tukasnya.

Sofyan menuding, rezim infrastruktur di bawah pemerintahan Joko Widodo—Jusuf Kalla hanya mementingkan percepatan ekonomi yang didorong oleh bandara tanpa memikirkan nasib rakyat yang telah hidup berdaya dari tanahnya,

“Keberadaan NYIA yang diperuntukkan bagi kepentingan umum, justru sekarang akan mengancam nyawa lebih banyak orang. Konsep NYIA yang akan menggembangkan Aerotropolis (kota bandara), juga mengancam semakin meluasnya penggusuran dan perampasan ruang hidup warga. Infrastruktur berbasis hutang, tidak memperhatikan ancaman terhadap bencana alam, sehingga terkesan memaksakan inilah yang menjadi langgam gerak pemerintah dalam menjalankan proyek-proyek infrastrukturnya. Kehidupan rakyat disengsarakan, keselamatan calon pengguna infrastruktur pun diabaikan,” tegasnya.

Tiga lembaga turut mnegadvokasi PWPP –KP yaitu Lembaga Bantuan Hukum (LBH), Perhimpunan Bantuan Hukum Indonesia (PBHI),  dan Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) Yogyakarta.

Direktur Lembaga Bantuan Hukum (LBH)Yogyakarta, Yogi Zul Fadhli menilai perampasan tanah yang menyengsarakan rakyat terus digulirkan oleh pemerintah secara sistemik demi memuluskan proyek jalan tol, reklamasi pantai, tambang, PLTU, bendungan, penataan kota hingga bandar udara, termasuk di Kabupaten Kulonprogo,

“Dengan UU No.2 tahun 2012 beserta aturan turunannya serta dalih pembangunan untuk kepentingan umum, rezim ini sangat leluasa merampas hak dan ruang hidup warga. Termasuk di dalamnya proyek strategis nasional, pembangunan New Yogyakarta International Airport (NYIA) yang diaktifkan kembali sejak tahun 2017 lewat Peraturan Presiden (Perpres) No. 98 tahun 2017 tentang percepatan pembangunan dan pengoperasian bandara di Kulon Progo,” katanya.

Sementara itu, Direktur PBHI Yogyakarta,  Imam Joko mengatakan demi mewujudkan mimpi infrastruktur pro-investor, undang-undang yang semestinya menjadi rambu-rambu pengawasan justru telah dilanggar dan direkayasa. Menurutnya, rekayasa hukum tampak dalam perubahan Peraturan Pemerintah (PP) No. 26 tahun 2008 menjadi PP No.13 tahun 2017 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional,

“Dalam perubahan peraturan ini, pemerintah menghapus seluruh pasal yang terkait dengan pelarangan pembangunan di zona rawan bencana. Perubahan produk kebijakan ini diduga dilakukan untuk mengakomodir pembangunan NYIA di Temon, Kulon Progo, yang merupakan wilayah rawan bencana gempa dan tsunami,” imbuhnya.

Dalam kesempatan yang sama,  Direktur WALHI Yogyakarta,  Halik Sandera menambahkan,pembangunan ‘infrastruktur berdarah’ NYIA sedang dipaksakan dengan melawan alam. Berdasarkan Peta Bahaya Tsunami Wilayah Kulon Progo yang diterbitkan InaTEWS bekerjasama dengan DLR, Lapan, LIPI dan Bakosurtanal (2012),

“Lokasi tapak bandara rawan bahaya tsunami tinggi seluas 167,2 hektar, rawan bahaya sedang seluas 40,02 hektar dan rawan bahaya rendah seluas 44,3 hektar. Tsunami dapat mencapai ketinggian 6 meter, dengan terjangan mencapai 2 kilometer dan hadir 33-40 menit setelah gempa,” ujarnya.

Pihak pembangun, PT Angkasa Pura 1, kata dia, mengklaim telah memiliki strategi mitigasi bencana walau di saat yang sama terus mengabaikan peringatan dari ahli soal rancang bandara yang terlalu generik untuk tingkat resiko kerusakan tinggi,

“Aspek penting yang juga diabaikan adalah meningkatnya potensi kerugian akibat bencana alam bagi warga rentan yang harus menghadapi transformasi ekosistem alam dan kehidupan sosial di sekitar bandara,” tandasnya. (kt2)

Redaktur: Faisal

 

 

 

 

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Powered by rasalogi.com