Tolak Aksi Gejayan Memanggil, KRB Nilai Beny Sesat Pikir, Peserta Aksi Sebut Aktivis Melempem

YOGYAKARTA – Gerakan #GejayanMemanggil oleh Aliansi Rakyat Bergerak yang terdiri dari mahasiswa, pelajar, organisasi perempuan dan masyarakat sipil cukup menyita perhatian publik. Aksi massa yang digelar dua kali pada Senin 23 September dan Senin 30 September 2019 kemarin diikuti ribuan massa. Meski demikian, aksi terbesar di Yogyakarta paska reformasi 98 tersebut juga mendapat penolakan dari pihak yang menklaim sebagai Jaringan aktivis 98 Yogyakarta. Pernyataan penolakan tersebut menuai reaksi keras dari Komite Bersama Reformasi (KBR) yang mendukung aksi #GejayanMemanggil.

Kordinator Umum KBR, Ahmad Hedar mengungkapkan, gerakan #gejayan memanggil murni memperjuangkan aspirasi yang berkaitan dengan nasib rakyat banyak, sehingga mendapatkan simpati publik,

“Aksi-aksi tersebut muncul secara bergelombang dan melibatkan puluhan ribu massa yang bertajuk #GejayanMemanggil. Gerakan ini merupakan arus baru yang mewarnai dinamika aksi massa di Indonesia pasca kontestasi elektoral 2019, dengan friksi Cebong-Kampret,” ujarnya dalam keterangan pers di Yogyakarta, Selasa (01/10/2019).

Menurutnya, di tengah masifnya gerakan tersebut, ada beberapa pihak yang justru melakukan upaya pelemahan dan penggembosan. Salah satunya adalah tuduhan bahwa aksi ini ditunggangi kepentingan politik elektoral,

“Tuduhan tersebut tentu tak berdasar, mengingat gerakan ini diorganinisir secara kolektif. Terbukti, Senin (30/09/2019), gerakan ini kembali memadati pertigaan gejayan Yogyakarta, dengan ribuan massa solidaritas,” tandasnya.

Ia menegaskan, sebagai rakyat yang mendukung penuh cita-cita reformasi, yang didalamnya memuat demokratisasi, demiliterisasi, dan penguasaan sumber daya alam oleh rakyat, maka sepatutnya masyarakat mendukung gerakan tersebut dalam bentuk dan kapasitas masing-masing,

“Komite Bersama Reformasi  mendukung penuh dengan berpartisipasi aktif dalam aksi gerakan

#GejayanMemanggil,” tegasnya.

Terkait pernyataan Beny Susanto yang mengklaim sebagai Koordinator Jaringan Aktivis ‘98 Yogyakarta yang menolak aksi #GejayanMemanggil2, Ahmad Hedar menyayangkan. Menurutnya Peryataan Beny Susanto yang mengatakan bahwa aspirasi Aliansi Rakyat Bergerak dalam aksi #GejayanMemanggil sudah tidak relevan, semakin membuktikan sesat pikir Beny Susanto,

“Dirinya yang mengklaim sebagai Koordinator Jaringan Aktivis ‘98 Jogja, tak memahami bahwa cita-cita reformasi ‘98 justru sedang diperjuangkan oleh Aliansi Rakyat Begerak dari ancaman pelemahan (Reformasi Dikorupsi) yang dilakukan rezim Jokowi,” tandasnya.

Beny Susanto yang mengklaim sebagai koordinator Jaringan Aktivis ‘98 Yogyakarta juga menganggap bahwa “aksi massa sudah monoton untuk dilakukan”. Anggapan tersebut, kata Ahmad, tentu hanya anggapan yang biasanya muncul dari elit-elit pemerintah dan DPR, serta para penjilat kekuasaan, 

“Mengapa? Jawabannya jelas, karena aksi-aksi massa yang saat ini dilakukan merupakan akumulasi kemarahan dari penderitaan rakyat yang disebabkan oleh pemerintah dan elit-elit DPR. Apalagi, secara hukum, aksi ini jelas sesuai dengan prinsip-prinsip konstitusional dalam hal ini nyata-nyata dijamin dalam UU produk reformasi yaitu UU Nomor 9 tahun 1998 tentang Kemerdekaan Menyampaikan Pendapat di Muka Umum,” imbuhnya.

Pernyataan Beny tersebut sebelumnya juga sudahdipatahkan salah seorang peserta aksi, David Aulia yang mengaku rakyat biasa dan bukan kaum intelektual atau aktivis namun mendukung aksi #gejayanmemanggil. Menurutnya dengan pernyataannya, Beny tidak menunjukkan karakter aktivis 98,

“Masa aktivis 98 cara pandangnya gitu. Oh mungkin aktivis 98 jenis melempem, ha ha ha.  Blokir jalan hanya memacetkan pengguna jalan. Kalau di Gejayan ini tidak lebih dari 0,01% dari jumlah seluruh rakyat Indonesia. Tapi kebijakan DPR dan Pemerintah ini memblokir kedaulatan rakyat dan supremasi hukum yang merugikan rakyat Indonesia, termasuk rakyat yang seumur hidupnya belum pernah lewat jalan gejayan. Kebijakan DPR dan Pemerintah hari ini hanya menguntungkan segelintir elit sipil dan penguasa,” tukas Aulia sembari tertawa saat dimintai komentar terkait adanya penolakan aksi #GejayanMemanggil dari Beny.

Ia juga menegaskan aksi #gejayanmemanggil memang gerakan politik, namun politik rakyat. Hal itu sebagai bantahan pernyataan Beny yang menuding aksi #GejayanMemanggil ditunggangi kepentingan politik praktis,

“Jadi Pak Benny tolong buka lagi buku-buku anda dan cermati definisi politik itu apa. Kan beda definisi Politik dengan definisi politik Negara, politik praktis, Partai Politik. Mahasiswa smester 1 ilmu politik aja tahu,” sentilnya.

Ajakan beny untuk mengajukan Judicial Review (JR) terhadap UU KPK yang disahkan, menggalang dana untuk warga di Papua, dan mengawal proses penyelidikan kasus tertembaknya mahasiswa Halu Oleu Kendari Sulawesi Tenggara, justru menunjukkan Beny tidak up date,

“Bicara JR nggak up date kale. Mungkin Bung Beny juga belum baca berita desakan kepada presiden buat keluarin Perppu batalkan UU KPK. Soal di Papua dan kasus penembakan mahasiswa di Kendari, aksi ini juga bagian dari mengawal agar dituntaskan dan jangan dijadikan bahan kegaduhan yang meresahkan seluruh rakyat Indonesia. Jangan rakyat yang suruh mikir, itu tugas negara itu tugas penguasa, rakyat mengingatkan. Ini salah satu caranya, jangan monoton dong, cara ya banyak variannya,” ujarnya sembari tertawa saat secara eksklusif dimintai komentar oleh jogjakartanews.com.

Sebelumnya dalam keterangan persnya, Senin (30/09/2019),  Beny  Susanto menyatakan, tidak perlu lagi aksi Gejayan Memanggil. Menurutnya penolakan pihaknya bukan semata karena substansi persoalan, namun aspirasi yang akan diperjuangkan dinilai tidak lagi relevan,

“Tetapi perlu arah gerakan demi menjaga pelembagaan demokrasi agar semakin tertata dan prinsip konstitusionalisme yang semakin kuat. Gerakan masyarakat sipil, ekstra parlemen tidak melulu berwajah aksi masa yang berjubel dan melimpah ruah tetapi perlu kreativitas, ragam aksi yang tidak monoton,” ujarnya.

Beny juga menuding  dalam aksi #GejayanMemanggil2 terendus aroma residu politik elektoral 2019,

“Provokasi kepada pelajar dan gejala-gejala gerakan yang tidak sehat serta penumpang gelap. Tampak kekerasan, perusakan dan kejenuhan publik atas fakta aksi gerakan yang tidak sehat di beberapa daerah. Jujur saja, tidak jarang kita terlalu asyik aksi beramai-ramai tetapi menutup mata atas fakta terganggunya lalu lintas pengguna jalan dan kekhawatiran para pelaku usaha,” tukasnya. (rd1) 

Redaktur: Faisal   

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Powered by rasalogi.com