YOGYAKARTA – Menguatnya peran struktur kepemimpinan lokal di Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) setelah disahkannya UU No 13 Tahun 2012 tentang Keistimewaan DIY, bila tidak dilakukan pengawalan oleh seluruh rakyat DIY, maka menjadi potensi sebab pemiskinan rakyat.
Hal itu diungkapkan Ketua Keluarga Besar Marhaenis (KBM) Kota Yogyakarta, Antonius Fokki Ardiyanto S.IP dalam sarasehan Memperingati HUT ke XX KBM di sekretariat DPP KBM DIY, Jl. Nitipuran, Kadipiro, Ngestiharjo, Kasihan, Bantul, Minggu (05/01/2020).
Menurut Fokki, KBM sebagai kekuatan rakyat yang berlandaskan ideologi Marhaenisme harus berani membedah implementasi UUK DIY dalam konteks kesejahteraan rakyat dan terpenuhinya hak hak rakyat, khususnya di bidang pertanahan. Ia menandaskan, Dalam Rencana Tata Ruang dan Wilayah, Pemerintah Daerah (Pemda) DIY harus didorong untuk lebih memikirkan hak milik tanah bagi rakyat sesuai amanat konstitusi.
Fokki menilai kebijakan tata ruang di DIY tidak berpihak kepada pemenuhan hak tanah untuk rakyat. Contoh yang kongrit tanah hanya untuk kepentingan kelas atas adalah ketika lahan subur yang selama ini memberi kehidupan rakyat di Kulonprogo dengan mudahnya diganti. Rakyat digusur hanya untuk kepentingan bandara YIA. Belum lagi, kasus Watu Kodok dan kasus PKL Gondomanan dimana kekuatan feodal mengambil untung dari peristiwa itu,
“Keberpihakan yang tidak jelas dari kekuatan feodal ketika ada konflik agraria di wilayah DIY, contoh kasus Pengok, Beteng dan Gowongan serta penggusuran PKL Pasar Kembang dimana dalam konteks tersebut permasalahan tersebut juga belum jelas penyelesainnya. Maka bicara marhaenisme harus berani bicara feodalisme karena feodalisme pasti beririsan dengan kapitalisme,” katanya dalam keterangan tertulis yang diterima redaksi, Selasa (07/01/2020).
Anggota DPRD Kota Yogyakarta Fraksi PDI Perjuangan ini juga mencermati adanya Peraturan Gubernur (Pergub) yang meminta kembali tanah-tanah kas desa yang dulu sudah diberikan oleh Sri Sultan Hamengkubowono IX untuk kembali dijadikan Sultan Ground (SG). Menurut hipotesis Fokki, maka ini terjadi penumpukan kembali alat produksi kepada satu tangan yang berpotensi memiskinkan kaum marhaen di desa,
“Karena ini niat baik dari Sri Sultan HB IX untuk membagi alat produksi kepada rakyat melalui pamong desa sehingga rakyat bisa sejahtera dan sekarang diminta kembali,” ujar Fokki yang juga Ketua ISRI Kota Yogyakarta.
Selain itu, kata dia, bukan rahasia umum bahwa tanah tanah yang diklaim sebagai SG/PAG (Paku Alam Ground) yang digunakan untuk lembaga pendidikan, kesehatan atau sosial dimintai sewa dan bagi yang berpotesi bisnis maka diminta hak pengelolaan,
“Contohnya adanya “monopoli” pengelolaan parkir yang berkaitan dengan SG/PAG. Ini menurut teori marhaenisme adalah pemiskinan terselubung,” tandasnya.
Lebih lanjut Fokki menilai UUK DIY yang salah satu implikasinya adalah adanya Dana Keistimewaan (Danais) sudah ada sejak tahun 2013 ternyata tingkat kesenjangan ekonomi dan tingkat kemiskinan di DIY masih lebar dan tinggi,
“Artinya Danais yang milyardan rupiah ternyata sejak 2013-2019 belum bisa menjawab persoalan kemiskinan dan kesenjangan ekonomi. Apakah danais akan sama dengan dana otsus Papua dan Aceh yang juga belum menjawab persoalan kesejahteraan? Sejarah yang akan menjawab,” tukasnya.
Adanya Perda yang dipaksakan dengan Pergub untuk penambahan nomenklatur kecamatan menjadi kemantren (kota) dan kapenawon (kabupaten) kedepannya juga akan semakin menambah ruwet tatanan pemerintahan, karena adanya dualisme atasan camat sebagai camat maka atasannya walikota/bupati, camat sebagai mantri/penawu atasannya adalah gubernur,
“Dan ketika ruwet maka pengawasan menjadi tidak jelas dan berpotensi KKN. Sebagaimana adagium kekuasaan yang tidak terkontrol maka pasti korupsi. Korupsi adalah pemiskinan rakyat,” pungkas Fokki.
Sekadar informasi, Peringatan HUT KBM ke 20 diisi dengan acara tumpengan dan sarasehan membahas Tata Ruang Pemerintah dengan menghadirkan pemateri tunggal, Pakar Tata Ruang dari UGM, Ir Gunung Rajiman M.Sc. (rd1)
Redaktur: Faisal