Terkait Kenaikan PBB Kota Yogyakarta, Walikota Dinilai Kurang Pertimbangan dalam Menetapkan Dasar Kenaikan NJOP

YOGYAKARTA – DPRD Kota Yogyakarta bersama Walikota Kota Yogyakarta Senin (02/03/2020) menggelar rapat konsultasi mensikapi kenaikan Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) Kota Yogyakarta. Rapat tersebut juga dihadiri oleh Kepala BPN Kota Yogyakarta dan jajaran.

Dalam rapat tersebut Anggota Komisi B DPRD Kota Yogyakarta, Antonius Fokki Ardiyanto S.IP mennyampaikan pendapat bahwa Walikota tidak memperhitungkan suasana kebatinan rakyat yang sedang meningkatkan kesejahteraannya, apalagi tarif PDAM juga naik,

“Kedua, proyeksi ekonomi yang melambat salah satu akibatnya adalah masalah virus covid 19 dimana Indonesia sudah terdampak dari persoalan itu,” katanya dalam keterangan tertulis yang diterima redaksi, Selasa (03/03/2020).

Menurut Fokki, berdasarkan keterangan Kepala BPN Kota Yogyakarta bahwa Zonai Nilai Tanah (ZNT) yang membuat adalah Kanwil BPN DIY dan digunakan sebagai dasar Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP). Hal itu dinilainya rancu,

“Pemkot menggunakan dasar ZNT ini untuk menaikkan NJOP sehingga berakibat kenaikkan luar biasa PBB tahun 2020 yang harus dibayarkan rakyat. Padahal UU hanya mengamanatkan bahwa dasar NJOP adalah dilihat dari nilai transaksi di wilayah tersebut, artinya kalau tidak ada transaksi maka NJOP dan PBB tidak naik. Ini yang menurut kami Walikota kurang pertimbangan dalam menerapkan rumusan PBB tahun 2020,” tandas Fokki yang juga sekaligus sebagai Wakil Ketua DPN Repdem salah satu sayap PDI Perjuangan.

Ia menjelaskan, bahwa ZNT Zona Nilai Tanah ditetapkan Tahun 2018, dan 2019 juga ada kenaikan PBB, tetapi tidak sebesar tahun ini sehingga masyarakat memahami. Disamping itu menurutnya ZNT ini sudah diakui oleh BPN dan Pemkot tidak memenuhi frasa keadilan sosial,

“Maka dalam hal ini, kami meminta  supaya PBB untuk tahun 2020 supaya dikembalikan lebih dulu ke SPPT 2019 dan BPN serta Pemkot menyelesaikan Peta Bidang lebih dahulu dalam penetapan PBB,” tandasnya.

Masih menurut Fokki, mekanisme keringanan yang menjadi jurus terakhir pemkot juga menurut kami belum jelas implementasinya di dataran tehnis seperti apa, misalnya asumsi naik 200% lalu keringanan maksimal 75% maka masih naik 125%. Untuk itu, kata dia, konsep keringanan ini tidak akan menyelesaikan masalah di lapangan malah mendidik rakyat untuk mengemis dan ini semakin menunjukkan watak pemerintah yang tidak berpihak kepada kepentingan rakyat,

“Mensikapi aspirasi aspirasi yang berkembang itu, maka ada beberapa rekomendasi yang disampaikan Ketua DPRD Danang Rudiyatmoko, kemarin.

Pertama, Komisi B dan Komisi A sesuai dengan ketugasan melakukan proses pengawasan dari pelaksanaan dasar hukum yang pasti dari penggunaan dasar ZNT sebagai landasan menaikkan NJOP yang berakibat kenaikan PBB ke Kanwil BPN DIY serta melakukan pengawasan terhadap mekanisme pengajuan keringanan PBB di Pemkot,” ujarnya.

Lemudian yang Kedua, kesemua proses pengawasan itu diberi batas waktu sampai bulan Juni 2020 dan apabila tidak ada kejelasan hukum tentang digunakannya ZNT sebagai dasar hukum menaikkan NJOP maka DPRD merekomendasikan Perwal tentang Kenaikan PBB dicabut.

Menanggapi rekomendasi DPRD Kota Yogyakarta, Fokki mengaku menghormati keputusan tersebut, Namun ia hanya menambahkan bahwa keputusan kenaikan PBB adalah keputusan politik walikota sesuai dengan kewenangannya,

“Dan kami juga sesuai dengan sumpah janji jabatan yaitu memperjuangkan kepentingan dan aspirasi konstituen sesuai per UU an juga menolak kenaikan PBB di Kota Yogyakarta Serta mempersilahkan bila masyarakat mau melakukan pembangkangan sipil dengan tidak membayar PBB atau melakukan class action terhadap keputusan walikota menaikkan PBB di Kota Yogyakarta,” pungkasnya. (pr/kt1)

Redaktur: Faisal

 

 

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Powered by rasalogi.com