Oleh : Farid E. Susanta
Merebaknya Virus Covid-19 yang kemudian ditetapkan sebagai bencana nasional non-alam, telah banyak mengubah berbagai sendi kehidupan manusia. Bahkan berbagai sektor kehidupan telah diporak-porandakan oleh kehadiran virus baru tersebut. Karena sedemikian seriusnya ancaman virus ini, maka langkah-langkah antisipasi untuk meminimalisir dan mencegah persebaran virus, berbagai Lembaga dan Kementerian harus menata ulang strateginya. Tak terkecuali, Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia dituntut untuk secara cerdas membuat terobosan pada lembaga-lembaga yang dinaunginya.
Salah satu komunitas yang dinilai rawan tersebut adalah tahanan dan Warga Binaan Pemasyarakatan (WBP) yang tersandung masalah di Lembaga Pemasayarakatan (Lapas), Lembaga Pembinaan Khusus Anak (LPKA) dan Rumah Tahanan Negara (Rutan). Problem klasik dari lembaga-lembaga ini adalah tertutup dan densitasnya yang sangat tinggi. Alhasil, dibijaksanailah kemudian dengan Peraturan Menteri Hukum dan HAM Nomor 10 tahun 2020, tentang Syarat Pemberian Asimilasi dan Hak Integrasi bagi Narapidana dan Anak Dalam Rangka Pencegahan Dan Penanggulangan Penyebaran Covid-19. Substansi Permenkumham ini adalah upaya penyelamatan terhadap narapidana dan anak yang berada dalam kungkungan jeruji besi.
Atas kebijakan ini, maka jalan panjang yang biasanya harus ditempuh seorang narapidana untuk berada di luar tembok penjara menjadi lebih mudah dan lempang. Kebijakan progeresif yang kemudian lebih dikenal dengan sebutan crash program memang lebih menyederhanakan persyaratan pembebasan narapidana. Ribuan tahanan dan napi ini seolah-olah mendapatkan durian runtuh. Hanya dalam hitungan hari, dari data nasional sekitar 40 ribu tahanan dan narapidana sudah dapat menghirup udara luar tembok.
Sebelum adanya kebijakan crash program, berdasarkan Permenkumham No. 3 tahun 2018, yang kemudian diubah dengan Permenkumham No. 18 tahun 2019, hal yang sangat urgen, program asimilasi dan integrasi narapidana dan Anak mensyaratkan adanya Penelitian Kemasyarakatan oleh Pembimbing Kemsyarakatan. Penelitian inilah yang menjadi pintu gerbang layak dan tidaknya seorang narapidana untuk dibaurkan kembali ke masyarakat. Dengan dihilangkan salah satu syarat tersebut, maka dengan berbekal ketentuan telah menjalani ½ (setengah) dan 2/3 (dua pertiga) masa pidana, seorang narapidana sudah dapat melenggang di luar tembok.
Dari sebelum pelaksanaan, terobosan ini sudah banyak menuai kritik. Bahkan ada yang mencurigai adanya permainan yang berbau politis terhadap empunya Permenkumham. Badai kritik, bahkan cemohan makin santer ketika hanya dalam hitungan hari, ada sejumlah narapidana yang langsung melakukan pengulangan tindak pidana. Massa bahkan sempat ketakutan atas bebasnya ribuan narapidana di tengah-tengah ekonomi yang tengah terpuruk gara-gara pandemi covid-19. Logika masyarakat terhadap maraknya kejahatan disebabkan karena adanya ribuan narapidana yang dibebaskan dengan syarat-syarat istimewa. Masyarakat tidak memperhitungkan, bahwa hingga hari ini, dari sekitar 40 ribu narapidana, yang melakukan tindak pidana tidak lebih 40 narapidana. Angka ini tidak signifikan bila dijadikan pembenaran bahwa narapidana yang dikeluarkan akan mudah melakukan kejahatan kembali.
Asumsi miring tentang status seseorang yang baru keluar dari balik penjara demikian tidak lepas dari stigma yang selama ini dibangun oleh masyarakat sendiri. Masyarakat menganggap bahwa penjara sebagai universitasnya para pelaku kejahatan untuk menjadi lebih pintar dalam melakukan kejahatan.
Stigma yang dilekatkan ini menjadi permanen dan mengarah kepada setiap narapidana, terutama yang terkait dengan kejahatan yang berlatar belakang ekonomi. Masyarakat sepertinya melupakan, atau bahkan tidak tahu, bila ada proses panjang sebelum narapidana menghirup udara segar. Berdasarkan PP. 99 tahun 2012, tentang Perubahan Kedua Atas Peraturan Pemerintah Nomor : 32 tahun 1999, tentang Syarat dan Tata Cara Pelaksanaan Hak Warga Binaan Pemasyarakatan, selain ada syarat waktu, berkelakuan baik, tdak sedang menjalani hukuman disiplin dll, harus ada rekomendasi dari Balai Pemasyarakatan (Bapas). Rekomendasi Bapas ini akan muncul melalui seorang petugas Bapas (Pembimbing Kemasyarakatan) yang melakukan proses panjang penelitian, hingga akhirnya menghasilkan Penelitian Kemasyarakatan (Litmas).
Secara panjang lebar Litmas ini akan memaparkan perkembangan perilaku hasil pembinaan narapidana selama menjalani pidana yang dituangkan dalam catatan harian, mingguan, bulanan dst. Selain catatan tersebut, riwayat tingkah laku narapidana, kondisi wali/penjamin, dan kondisi sosial-budaya masyarakat yang akan menerima, juga harus menjadi pertimbangan layak dan tidaknya seorang narapidana dibaurkan ke masyarakat melalui program asimilasi atau integrasi.
Hingga seorang narapidana sampai menjalani pembinaan tahap akhir ke masyarakat , harus melalui pembinaan tahap awal dan lanjutan terlebih dahulu. Pengalihan pembinaan dari satu tahap ke tahap berikutnya ditetapkan melalui sidang Tim Pengamat Pemasyarakatan berdasarkan data dari Pembina Pemasyarakatan, Pengaman Pemasyarakatan, Pembimbing Kemasyarakatan dan Wali Narapidana. Dalam setiap tahapan tersebutlah seorang narapidana diberikan pembinaan-pembinaan, baik berupa pembinaan kepribadian maupun kemandirian. Pemilihan bentuk dan model pembinaanpun telah terencana melalui Penelitian Kemasyarakatan yang dilakukan oleh petugas dari Balai Pemasyarakatan. Logika pembinaan, akan menghasilkan perubahan perilaku ke arah yang lebih baik, hingga akhirnya lahir insan baru yang memiliki kemandirian.
Tahapan-tahapan pembinaan inilah yang mungkin kurang dimengerti oleh masyarakat. Karena tidak mengerti inilah sehingga muncul anggapan bahwa penjara adalah tempat narapidana mengasah kemampuan kriminalnya. Alhasil, aksioma ini menjadi stigma yang dilekatkan pada narapidana yang terjun kembali ke masyarakat. Untuk itu, PR bagi Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia untuk senantiasa mensosialisasikan realitas pembinaan narapidana, sekaligus berupaya menggandeng setiap komponen masyarakat untuk dilibatkan dalam pembinaan maupun bimbingan mantan narapidana, termasuk kepada ribuan narapidana yang saat ini baru saja dibebaskan melalui Peraturan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Nomor 10 tahun 2020. Peran aktif masyarakat dapat dilibatkan dalam proses pengawasan, pembimbingan, penelitian, kontribusi dalam rehabilitasi maupun reintegrasi, serta melakukan pemantauan terhadap kinerja aparat penegak hukum.(*)
(*)Penulis adalah Pembimbing Kemasyarakatan Pada Bapas Kelas 1 Yogyakarta