Terpidana Pengguna Ganja: Dilemma Efek Jera dan Pelanggaran HAM

Oleh : Farid E. Susanta

Masih teringat jelas di dalam pikiran kita kasus kriminalisasi Fidelis Arie Sudewarto, seorang PNS yang dipenjarakan karena menggunakan cannabis sebagai obat sakit istrinya. Kini ia telah menghirup udara segar. Namun, pasca perbuatannya menanam ganja dikasuskan, dirinya tak dapat lagi melakukan pengobatan kepada istrinya yang mengidap penyakit Syringomyelia.

Ganja, sampai hari ini masih menjadi narkotika golongan pertama. Pengertian golongan pertama berarti, ia masuk  jenis narkotika yang  paling berbahaya. Ini berimplikasi pada, ganja tidak dapat digunakan untuk keperluan apapun, entah biji, daun, ataupun ekstraksinya. Mengutip dari pernyataan  Badan Narkotika Nasional (BNN) di salah satu acara televisi 6 bulan lalu, ganja akan berakibat halusinogen, yang turunannya kemungkinan besar akan mengakibatkan tindak kekerasan, kecelakaan karena efek dari penurunan konsentrasi, dsb.

Di lain fakta, marak pemberitaan bahwa mayoritas penghuni Lembaga Pemasyarakatan (Lapas) adalah narapidana narkoba. Hal itu belum dipisahkan antara pengguna dan pengedar. Surya Anta, seorang mantan tahanan Nurani karena dijerat kasus makar, sempat membongkar bagaimana praktek pengedaran narkotika dilakukan secara terang-terangan. Tentu ini menjadi dilemma khusus aparatur hukum negara kita, mengenai kebijakan apa yang tepat dalam menghadapi kasus narkoba hari ini. Tentu, problematika ini telah menjadi diskursus panjang. Informasi yang disebarkan oleh Surya Anta hanyalah tip of the iceburg. Lalu bagaimana seharusnya pengamat hukum melihat realita ini?

Di lain sisi, sempat ramai perbincangan berkaitan dengan keputusan Menteri Pertanian, Syahrul Hasyim Limpo yang menerbitkan Keputusan Menteri Pertanian (Kepmentan) Nomor 104/KPTS/HK.140/M/2/2020 tentang Komoditas Binaan Kementan. Di dalamnya ada tanaman ganja yang menjadi komoditas tanaman binaan. Namun, hal itu telah dicabut karena dianggap bertentangan dengan UU Narkotika Tahun 2009.

Saya akan melihat secara spesifik berkaitan dengan problematika bagaimana menghadapi kasus pengguna ganja secara illegal, secara spesifik bukan untuk digunakan untuk kepentingan negatif. Namun, berkaitan dengan kepentingan medis.

Memang, pengguna ganja masih menjadi kasus yang paling banyak terjadi. Dari 3,6 juta orang yang kedapatan menggunakan narkotika pada tahun 2019, pengguna ganja menyumbang angka 63%. Salah dalam merespon realita tersebut, justru akan membuat rezim hukum di Indonesia menjadi rezim ‘penjaraisasi’. Dalam arti, dikit-dikit yang berhubungan dengan ganja, akan dijerat dengan pasal-pasal dalam UU Narkotika.

Di negara-negara luar, tanaman ganja untuk kepentingan medis sudah dilakukan lebih dulu oleh Belanda, Kanada, Amerika Serikat. Tetangga kita, Malaysia dan Thailand menyusul setelahnya. Tentu, kondisi budaya, psikologi masyarakat, dan politik selalu mempengaruhi bagaimana produk hukum diciptakan.

Di Indonesia, kita menghadapi budaya yang sangat kompleks. Di tataran politik, Indonesia menghadapi iklim koruptif dari hulu ke hilir. Ini tidak terlepas dari bagaimana iklim tersebut diciptakan dan dipupuk dari rezim ke rezim.  Rezim Suharto, meskipun  sudah diturunkan namun iklim koruptif masih subur di berbagai lini. Berkaitan khusus dengan ganja, ini terlihat bagaimana suap, kriminalisasi dan pemerasan menjamur. Sudah menjadi rahasia umum di lingkungan aparatur hukum negara bagaimana kasus ganja menjadi lahan basah bagi mereka. Ini berdampak buruk bagi orang-orang seperti Fidelis.

Selain rezim koruptif, iklim budaya Indonesia yang konservatif juga berdampak pada penyelesaian masalah ganja. Narasi seperti ‘ganja haram’ akhirnya menjadi narasi dominan di dalam lingkungan kita. Alhasil stigma negatif yang cenderung memukul rata fungsi ganja, mengaburkan kepentingan menggali pengetahuan akan guna ganja untuk kepentingan medis. Alhasil dua aspek tersebut menjadi symbiosis mutualisme yang akhirnya mempersulit tanaman ganja disikapi dalam kacamata alternatif. Ditambah lagi, penelitian-penelitian ilmiah sangat minim dilakukan. Alhasil distribusi ilmu pengetahuan yang ilmiah kepada masyarakat pun tersendat.

Lalu apa yang harus dilakukan? Pertama, untuk ranah hukum nampaknya Indonesia harus segera merubah cara merespon pengguna ganja. Ia tidak dapat dipukul rata dan terus menerus kriminalisasi. Indonesia harus merespon problem ini dengan cara cepat nan tepat. Pertama, mengedepankan dekriminalisasi adalah salah satu langkah awal. Namun tak juga memukul rata pengguna ganja dengan jalan rehabilitasi. Penegak hukum di Indonesia harus jeli melihat untuk apa ganja itu dipakai oleh seseorang.

Jika ada kecenderungan dipakai untuk hal negatif dalam jumlah banyak, tentu meja hijau dapat ditempuh. Namun, jika pemakaiannya dalam jumlah sedikit, rehabilitasi yang benar dalam aspek penyembuhan ketergantungan psikis dan fisik justru menjadi solusi utama. Bukan cerita baru, narasi “seorang pengguna ganja, akan menjadi pengedar setelah keluar dari lapas” adalah realita objektif hari ini. Itu diperkuat pengalaman Surya Anta bagaimana melihat praktek jual beli narkotika di rumah tahanan (rutan) Salemba ibaratkan jual beli kacang rebus. Inilah yang penulis sebut lahan basah bagi para pekerja rutan dan pengedar.

Jika penggunannya untuk kepentingan medis namun tidak dalam pengawasan seperti kasus Fidelis, bukan kriminalisasi ataupun rehabilitasi yang dilakukan. Namun menggandeng ia sebagai partner penelitian ilmiah.

Cara merespon kasus terakhir ini juga bagian dari upaya peningkatan penelitian ilmiah menyoal ganja dipakai secara positif. Setelah itu barulah pendidikan bagi masyarakat (dampak negatif dan positif ganja) dapat dilakukan. Tanpa edukasi kepada masyarakat, stigma-stigma negatif tanpa landasan yang ilmiah akan terus menjamur di masyarakat kita.

Upaya tersebut merupakan cara yang penulis lihat sistematis. Ia bisa meminimalisir pelanggaran HAM pengguna ganja yang dilakukan oleh negara (pemerasan). Selain itu, ia akan menyelamatkan nama baik mantan pengguna dalam jumlah kecil ataupun siapa saja yang menggunakan ganja untuk kepentingan medis. Kita tahu, label penjahat yang disematkan oleh masyarakat kepada orang-orang yang sudah keluar dari lapas merupakan dampak lanjutan dari praktek kriminalisasi. Tentu, butuh niat baik para petinggi negara dalam merespon problem kompleks ini. Penulis percaya, niat baik akan menghasilkan pula hard policy yang baik bagi masyarakat. Semoga !(*)

(*)Penulis Alumni Antropologi UGM  JFT PK Kemenkumham /Bapas Yogyakarta

                                                           

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Powered by rasalogi.com