Budaya  

Prajurit Jogja Dipowinatan Juara di Festival Bregada Rakyat DIY

YOGYAKARTA – Bregada Prajurit Jogja Dipowinatan meraih juara pertama dalam Festival Bregada Rakyat DIY ke – 7 Tahun 2020 yang digelar Minggu (29/11/2020) di Taman Budaya Yogyakarta .

Dewan juri yang terdiri dari KPH. Notonegoro dari Kasultanan Yogyakarta, BPH. Kusumo Bimantoro dari Kadipaten Pakualaman, pekerja seni Bambang Paningron, penggiat seni tradisi Bugiswanto dan wartawan senior Wawan Isnawan menetapkan lima penyaji terbaik  dari 20 kelompok peserta se DIY yang mengikuti Festival.

Lima kelompok tersebut adalah Bregada Prajurit Jogja Dipowinatan dengan nilai 1962, disusul Bregada Puspo Arum Trihanggo Gamping (1870), Bregada Wiro Tomo Mayangan Trihanggo Gamping (1850), Bregada Prawiro Yudho Karangjati Jetis Tamantirto (1847) dan Bregada Kyai Ronggah Kronggahan Sleman (1837).

Kriteria penilaian meliputi tata baris, tata busana, tata musik, penjiwaan dan kesesuaian berprotokol kesehatan.

Usai pengumuman juara hadiah uang pembinaan langsung diserahkan oleh Kepala Bidang Pemeliharaan dan Pengembangan Adat, Tradisi, Lembaga Budaya dan Seni Dinas Kebudayaan DIY Eni Lestari Rahayu kepada para penyaji terbaik. Masing-masing berhak mendapatkan hadiah uang pembinaan sebesar 10 jt, 8 jt, 7 jt, 6 jt dan 5 jt. 

Eni Lestari Rahayu berharap penyelenggaraan festival dapat memberikan dorongan motivasi terhadap para penggiat seni keprajuritan rakyat. Sehingga eksistensi bregada sebagai seni keprajuritan rakyat makin mewarnai keistimewaan DIY.

“Bagi kelompok bregada yang belum mendapatkan gelar dimohon tidak berkecil hati namun justru terlecut untuk makin menyempurnakan diri,” katanya dalam keterangan pers yang diterima redaksi, Senin (30/11/2020). 

Sedangkan dewan juri KPH. Notonegoro berpesan agar para pelaku bregada rakyat memperhatikan kerapihan dan detail-detail asesoris penggunaan busana keprajuritan. 

“Seni keprajuritan rakyat harus tampil besus atau enak dipandang dan enak di hati. Salah satunya saya amati bahwa lipatan kain sapit urang yang dipakai para masih belum trep. Juga celana panji masih banyak yang ukurannya terlalu panjang dibawah lutut,” ujar suami dari GKR. Hayu ini.

Sementara BPH. Kusumo Bimantoro mengatakan keserasian dan kekompakan tata lampah bregada rakyat perlu terus ditingkatkan. Bregada rakyat berbeda dengan kelompok pleton inti baris berbaris, ia lebih sebagai seni berjalan yang melangkah berdasar irama hati yang diiringi gending keprajuritan yang khas. 

Putra sulung KGPAA. Paku Alam X ini juga memberikan masukan agar para pelaku bregada perlu mengetahui perbedaan antara lampah rikat dengan lampah macak. Lampah rikat adalah cara berjalan cepat. Sementara lampah macak merupakan cara berjalan penghormatan. Menurutnya bregada rakyat lebih tepat memakai lampah rikat.

Catatan tambahan menarik  juga disampaikan Bambang Paningron. Menurutnya aspek tata musik atau ungel-ungelan memiliki peran sangat signifikan. Gending bukanlah sekedar pelengkap atau sesuatu yang hanya disisipkan semata. Sebab gending bregada adalah justru elemen yang pertama kali menarik perhatian orang. Oleh karena itu dirinya berpesan agar gending bregada dikreasi semenarik mungkin agar menambah daya pikat saat tampil di tengah khalayak luas.

Ketua panitia Festival Bregada Rakyat Widihasto Wasana Putra meminta para penggiat seni keprajuritan untuk terus rutin berlatih mengasah kekompakan kelompok. Dirinya melihat sebagian besar hanya berlatih saat menghadapi event lomba,

“Esensi seni keprajuritan justru terletak pada saat warga masyarakat dari berbagai latar belakang usia dan profesi berlatih bersama sebagai sarana mempererat kohesi sosial,” pungkasnya.  (pr/kt1)

Redaktur: Faisal

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Powered by rasalogi.com