Oleh: Sri Akhadiyanti,S.Pd
Indonesia bahkan dunia saat ini baru di goncang oleh musibah Covid-19 yang sudah berjalan hampir 10 bulan namun belum ada tanda-tanda akan berakhir. Walaupun pemerintah sudah menerapkan New Normal namun bukan berarti wabah itu sudah berakhir, bahkan angkanya semakin melejit, semakin banyak korban berjatuhan. Di tengah-tengah pandemi Covid-19 ternyata tidak membuat takut anak-anak dibawah umur untuk tidak melakukan perbuatan pidana khususnya klitih yang beberapa waktu sebelumnya sempat marak di Yogyakarta, bahkan sampai ada korban yang meninggal dunia atau mengalami luka parah.
Istilah klitih sebenarnya pada awalnya berasal dari bahasa Jawa yang berarti keluyuran atau keluar malam untuk sekedar mencari makan atau nongkrong-nongkrong. Namun seiring berjalannya waktu kemudian istilah klitih menjadi viral dengan adanya beberapa kejadian pengeroyokan oleh sekelompok anak muda yang memakan korban, akhirnya muncullah istilah klitih. Sehingga istilah klitih ini identik dengan aktivitas dari seseorang atau sekelompok anak muda (gank) yang melakukan kegiatan yang menjurus ke hal atau tindakan kurang baik, yang biasanya berputar-putar mencari mangsa di jalan dengan cara konvoi menggunakan sepeda motor dengan membawa senjata tajam dan melukai orang lain. Biasanya anak-anak ini melukai orang lain tanpa sebab, atau mereka sengaja memancing keributan lalu terjadilah pembacokan.
Lalu bagaimana penanganan terhadap kasus klitih di tengah pandemi Covid-19, karena ada beberapa anjuran dari pemerintah yang harus menerapkan social distancing maupun physicaly distancing? bagaimana peran petugas Pembimbing Kemasyarakatan dalam hal ini?
Mungkin masyarakat banyak yang belum tahu siapa Pembimbing Kemasyarakatan atau yang biasa disebut PK kenapa ikut berperan dalam penanganan kasus klitih oleh anak dibawah umur. Pembimbing Kemasyarakatan adalah pejabat fungsional penegak hukum yang bertugas melaksanakan Penelitian Kemasyarakatan atau biasa disebut dengan Litmas, pembimbingan, pengawasan dan pendampingan terhadap anak di dalam dan di luar proses peradilan pidana. Jadi Pembimbing Kemasyarakatan itu adalah bagian dari unsur Aparat Penegak Hukum dari Kementerian Hukum Dan Hak Asasi Manusia, seperti kalau dari kepolisian adalah Penyidik, dari kejaksaan adalah Penuntut Umum, dan dari Pengadilan adalah Hakim. Dari ke empat unsur tersebut dalam menangani kasus anak dibawah umur yang berhadapan dengan hukum mempunyai kedudukan yang sederajat dengan tugas dan fungsi masing-masing, demikian juga dalam penanganan kasus klitih di tengah pandemi Covid-19.
Setelah tahu siapa Pembimbing Kemasyarakatan, lalu bagaimana peran Pembimbing Kemasyarakatan dalam penanganan kasus klitih di tengah pandemi Covid-19 khususnya di Yogyakarta. Walaupun ada pandemi Covid-19 petugas PK tetap menjalankan tugas fungsinya sebagaimana yang telah dibebankan di pundaknya. Apalagi PK sebagai garda terdepan dalam penanganan kasus anak yang berhadapan dengan hukum karena ada di setiap proses baik pra adjudikasi, adjudikasi maupun post adjudikasi. Apabila ada laporan kasus klitih dari penyidik walapun dalam masa pandemi Covid-19 namun PK tetap menjalankan tugas untuk melakukan pendampingan penyidikan. Seharusnya tugas ini bisa dilaksanakan secara daring, namun saat ini penyidik tetap meminta PK untuk melakukan pendampingan langsung tidak melalui daring, dan PK tetap melakukan tugas tersebut.
Setelah PK selesai melaksanakan tugas pendampingan penyidikan lalu PK bertugas membuatkan laporan Penelitian Kemasyarakatan yang akan digunakan sebagai kelengkapan berkas perkara klien. Untuk kasus klitih karena kebanyakan anak-anak membawa senjata tajam, sehingga permasalahannya tidak bisa diselesaikan melalui jalur Diversi, karena ancaman pidana untuk perbuatan pidana yang melanggar Undang Undang darurat adalah 7 tahun ke atas, sementara syarat untuk bisa diversi adalah ancaman pidana di bawah 7 tahun. Sehingga penyelesaian untuk kasus klitih tetap melalui proses persidangan, apalagi korbannya sampai menderita luka berat atau bahkan meninggal dunia.
PK dalam membuat laporan Penelitian Kemasyarakatan akan bertugas meneliti dan melakukan wawancara terhadap anak pelaku, orang tua anak pelaku, pihak korban, pihak sekolah, dan masyarakat maupun pemerintah setempat dimana anak pelaku tinggal. Berhubung saat ini baru pandemi Covid-19 maka pengambilan data bisa dilakukan secara on line melalui video call, maupun langsung ke sumber data dengan tetap menjaga protokoler kesehatan, hal ini untuk membatasi penyebaran virus Covid-19. Setelah data terkumpul semua maka akan dirangkum menjadi satu menjadi sebuah laporan Litmas yang kemudian akan di kirim ke penyidik untuk melengkapi berkas perkara anak pelaku. Setelah berkas anak lengkap maka penyidik akan melimpahkan perkara anak ke proses selanjutnya yaitu ke kejaksaan, dan PK berperan mendampingi saat pelimpahan berkas perkara dari kepolisian ke Kejaksaan, dan membuat laporan pendampingan.
Kemudian setelah berkas diserahkan dan turun penetapan dari pengadilan, maka anak akan menjalani proses persidangan. Dalam masa wabah Covid-19 persidangan anak dilakukan secara daring, namun demikian PK tetap harus mendampingi langsung terhadap anak pelaku, dan bisa juga mengikuti persidangan secara daring. Seperti kasus yang terjadi di wilayah Kepolisian Resrt kota(Polresta) Yogyakarta, dengan korban yang mengalami luka parah di pergelangan tangan, dan karena posisi anak dititipkan di Balai Perlindungan dan Rehabilitas Sosial Remaja(BPRSR) sehingga pada saat persidangan PK mendampingi anak di BPRSR.
Penulis mengalami sendiri mengikuti acara persidangan yang berjalan cukup alot, pada saat pemeriksaan saksi berjalan selama 5 jam, dan dalam waktu itu PK harus tetap mendampingi anak untuk memberikan rasa aman pada anak pelaku, sehingga anak pelaku tidak ada rasa ketakutan pada saat persidangan dan bisa memberikan fakta-fakta yang sebenarnya yang telah dilakukannya. Pada saat pendampingan persidangan PK akan menyampaikan rekomendasi hasil penelitian kemasyarakatannya, yang akan dipergunakan sebagai bahan pertimbangan hakim dalam memutuskan sanksi pidana yang tepat bagi anak pelaku, dan apabila Hakim tidak mempertimbangkan hasil Litmas yang dibuat oleh PK maka permasalahan anak tersebut bisa bebas demi hukum. PK juga harus membuat laporan hasil persidangan setiap kali melakukan pendampingan pada saat persidangan.
Setelah anak pelaku menjalani serangkaian persidangan, maka anak pelaku akan menerima putusan hakim, dan PK masih harus tetap bertugas mengawasi maupun membimbing anak pelaku, tergantung dari bunyi putusan hakim yang dijatuhkan pada anak pelaku. Sampai anak pelaku selesai menjalani putusan hakim, maka peran dan tugas Pembimbing Kemasyarakatan baru dikatakan selesai, dan pembimbingan anak selanjutnya diserahkan sepenuhnya kepada orang tua anak pelaku.(*)
(*) Penulis adalah Pembimbing Kemasyarakatan Muda yang bertugas di Balai Pemasyarakatan Kelas I Yogyakarta.