Pengulangan Tindak Pidana ABH dan Gagalnya Diversi Berharap Asa Restorative Justice bagi Anak Berhadapan Dengan Hukum

Oleh : Dra. Endang Budiningsih

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 2012, tentang Sistem Peradilan Pidana Anak yang lahir pada tahun 2012, diberlakukan sejak 31 Juli 2014 menggantikan UU Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak. Undang-undang ini digadang-gadang dapat menyelesaikan berbagai permasalahan Anak yang Berhadapan dengan Hukum (ABH) yang belum bisa dituntaskan oleh undang- undang sebelumnya.  Hal baru dalam undang-undang ini mengatur tentang penyelesaian kasus-kasus anak melalui pendekatan restorative justice dan diversi. Keduanya adalah istilah yang sebelumnya jarang, bahkan tidak banyak digagas oleh para aparat hukum.

Hingga 6 (enam) tahun berjalannya SPPA, berbagai kemajuan telah tercapai, di antaranya makin sedikitnya kasus anak-anak yang dibawa ke proses peradilan dan berkurangnya jumlah anak-anak yang menjalani vonis di balik jeruji besi. Catat saja hasil penelitian di Bapas sampai dengan saat ini ada Litmas PN sejumlah 120 dan Diversi sebanyak 65. Dari 65 Litmas yang dibuat oleh Pembimbing Kemasyarakatan Balai Pemasyarakatan Kelas I Yogyakarta direkomendasikan diversi hampir 90 persen berhasil sehingga anak-anak berhadapan hukum tersebut dikembalikan ke orang tua atau diserahkan ke Kementerian Sosial.  Melihat fenomena ini, sepintas penyelesaian kasus anak melalui diversi telah berhasil. Sandungan keberhasilan penyelesaian kasus anak melalui diversi, meskipun  angkanya cukup kecil, muncul manakala anak-anak yang telah didiversi tersebut melakukan pelanggaram hukum kembali.

Dalam rentang waktu tahun 2020 kemarin, tindak pidana anak masih cukup tinggi, mayoritas adalah tindak pidana kekerasan fisik baik dengan menggunakan senjata tajam maupun tidak. Miris memang. Anak-anak yang seharusnya bersenjatakan pensil atau bolpoin malah membawa parang, pedang, clurit bahkan air soft gun. Keadaan seperti ini sempat menimbulkan keprihatinan banyak kalangan karena mengingat predikat Yogyakarta sebagai ikon budaya dan pelajar.

Anak-anak yang akrab disebut “klitihih” seringkali melakukan tindak pidana tersebut tanpa ada sebab yang pasti. Mereka hanya sekedar berkelompok, berkonvoi sepeda motor membawa senjata tajam dan melukai orang yang hanya disebabkan masalah sepele seperti beradu pandang ketika berpapasan.  Telah banyak jatuh korban akibat dari tindak pidana ini. Kerugian tidak hanya materi, terkadang korban luka bahkan meninggal dunia. Kenyamanan dan keamanan publik terganggu dan menimbulkan kecemasan massal. Wargapun menjadi geram sehingga ketika ada pelaku “klithih” tertangkap kemudian berusaha menghakimi sendiri. Warganetpun menghujat dengan beragam kata yang menjurus kasar bahkan sadis.

Upaya hukum yang dilakukan adalah memproses Anak yang Berhadapan dengan Hukum (ABH), melalui persidangan maupun penyelesaian melalui proses diversi. Namun pada kenyataannya, tindak pidana anak khususnya kekerasan fisik terus berulang bahkan dengan pelaku yang sama (mengulang), hal ini mengindikasikan proses diversi yang melibatkan peran masyarakat dan pihak terkait belum dapat mewujudkan keadilan restoratif. Keadilan Restoratif adalah penyelesaian perkara tindak pidana dengan melibatkan pelaku, korban, keluarga pelaku/korban, dan pihak lain yang terkait untuk bersama-sama mencari penyelesaian yang adil dengan menekankan pemulihan kembali pada keadaan semula, dan bukan pembalasan.

Pendekatan Restorative Justice merupakan  suatu upaya pemulihan hubungan dan penebusan kesalahan yang ingin dilakukan oleh pelaku tindak pidana terhadap korban tindak pidana tersebut (upaya perdamaian) di luar pengadilan dengan maksud dan tujuan agar permasalahan hukum yang timbul akibat terjadinya perbuatan pidana tersebut dapat diselesaikan dengan baik dengan tercapainya persetujuan dan kesepakatan di antara para pihak. Di dalam prosesnya, diversi melibatkan peran masyarakat untuk mewujudkan keadilan restoratif.  

Dengan demikian peran serta masyarakat dalam proses diversi untuk mewujudkan keadilan restoratif sangat strategis, untuk menghindarkan anak dari pengulangan tindak pidana sehingga terwujud Yogyakarta sebagai daerah yang layak anak.(*)

(*) Penulis adalah Pembimbing Kemasyarakatan Bapas Kelas I Yogyakarta

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Powered by rasalogi.com