Oleh : Mahardika Danu Saputra, S.H, M.A.P.
Pornograsi diartikan sebagai suatu gambar, sketsa, ilustrasi, foto, tulisan, suara, bunyi, gambar bergerak, animasi, kartun, percakapan, gerak tubuh, atau bentuk pesan lainnya melalui berbagai bentuk media komunikasi dan/atau pertunjukan dimuka umum yang memuat kecabulan atau eksploitasi seksual yang melanggar norma kesusilaan dalam masyarakat.[1] Saat ini ketentuan normatif terkait dengan pornografi telah diatur didalam Undang-Undang Nomor 44 Tahun 2008 tentang Pornografi. Tujuan dilakukan pengaturan terkait dengan pornografi yakni sebagai upaya untuk menjaga moral, etika dan akhlak masyarakat, menghormati dan melindungi harkat dan martabat kemanusiaan, memberikan perlindungan hukum bagi anak dan perempuan serta memberikan kepastian hukum atas tindakan yang dicela dalam pornografi.[2]
Menurut ketentuan Pasal 4 ayat (1) Undang-Undang Nomor 44 Tahun 2008 tentang Pornografi, telah disebutkan bahwa setiap orang dilarang memproduksi, membuat, memperbanyak, menggandakan, menyebarluaskan, menyiarkan, mengimpor, mengekspor, menawarkan, memperjualbelikan, menyewakan, atau menyediakan pornografi yang secara eksplisit memuat hal sebagai berikut :
- Persenggamaan termasuk persenggamaan yang menyimpang;
- Kekerasan seksual;
- Masturbasi atau onani;
- Ketelanjangan atau tampilan yang mengesankan ketelanjangan;
- Alat kelamin; atau
- pornografi anak.
Lantas dimana batas tubuh yang dimaksud dengan menampilkan ketelanjangan atau tampilan yang mengesankan ketelanjangan ?. Terhadap pertanyaan tersebut kemudian dapat merujuk kepada ketentuan penjelasan dalam Pasal 4 ayat (1) huruf d Undang-Undang Nomor 44 Tahun 2008 tentang Pornografi yang pada pokoknya menjelaskan bahwa yang dimaksud dengan “mengesankan ketelanjangan” adalah suatu kondisi yang menggunakan penutup tubuh, tetapi masih menampakan alat kelamin secara eksplisit (gamblang).
Kemudian bagaimana dengan pihak-pihak yang meminjamkan, mengunduh, mendengarkan, mempertontonkan menyimpan dan/atau memiliki produk pronografi, apakah merupakan perbuatan yang dicela dan memiliki sanksi pidana ?. Agar dapat menjawab pertanyaan tersebut, maka dapat merujuk kepada ketentuan Pasal 5 Undang-Undang Nomor 44 Tahun 2008 tentang Pornografi yang berbunyi “Setiap orang dilarang meminjamkan atau mengunduh pornografi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1)”. dan ketentuan Pasal 6 Undang-Undang Nomor 44 Tahun 2008 tentang Pornografi yang berbunyi “Setiap orang dilarang memperdengarkan, mempertontonkan, memanfaatkan, memiliki, atau menyimpan produk pornografi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1), kecuali yang diberi kewenangan oleh peraturan perundang-undangan”.
Kemudian yang dimaksud dengan “diberi kewenangan oleh peraturan perundang-undangan” misalnya lembaga yang diberi kewenangan menyensor film, lembaga yang mengawasi penyiaran, lembaga penegak hukum, lembaga pelayanan kesehatan atau terapi kesehatan seksual, dan lembaga pendidikan. Lembaga pendidikan tersebut termasuk pula perpustakaan, laboratorium, dan sarana pendidikan lainnya.[3]
Terhadap sanksi bagi pelaku yang meminjamkan atau mengunduh pornografi diatur dan diancam dengan ketentuan Pasal 31 Undang-Undang Nomor 44 Tahun 2008 tentang Pornografi yang berbunyi “Setiap orang yang meminjamkan atau mengunduh pornografi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 dipidana dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp2.000.000.000,00 (dua miliar rupiah)”. Kemudian sanksi terhadap seseorang yang memiliki dan/atau menyimpan produk pornografi diatur dan diancam dengan ketentuan Pasal 32 Undang-Undang Nomor 44 Tahun 2008 tentang Pornografi yang berbunyi “Setiap orang yang memperdengarkan, mempertontonkan, memanfaatkan, memiliki, atau menyimpan produk pornografi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 dipidana dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp2.000.000.000,00 (dua miliar rupiah)”.
Segala bentuk transmisi terhadap pornografi adalah dilarang dalam hukum positif termasuk dalam hal ini tindakan mentransmisikan muatan pornografi melalui dokumen elektronik. Larangan tersebut sebagaimana diatur dalam ketentuan Pasal 27 ayat (1) Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik menyebutkan bahwa “setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang memiliki muatan yang melanggar kesusilaan”. Terhadap pelanggaran norma tersebut maka dapat dikenakan sanksi pidana sebagaiaman diatur dan diancam dalam Pasal 45 ayat (1) Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik yang berbunyi “Setiap Orang yang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/ atau membuat dapat diaksesnya Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang memiliki muatan yang melanggar kesusilaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun dan/ atau denda paling banyak Rp 1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah)”.Bahkan dapat diperberat sepertiga dari pidana pokok apabila tindakan kesusilaan atau eksploitasi seksual tersebut dilakukan terhadap anak.[4]
Maka dari itu dapat ditarik kesimpulan terhadap penjabaran diatas dengan mengingat ketentuan Pasal 31 dan Pasal 32 Undang-Undang Nomor 44 Tahun 2008 tentang Pornografi Jo. Pasal 45 ayat 1 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik, maka terhadap setiap orang yang memperdengarkan, mempertontonkan, memanfaatkan, memiliki, atau menyimpan produk pornografi dapat disanksi pidana.(*)
(*)Penulis adalah Pembimbing Kemasyarakatan Pertama pada Bapas Kelas I Yogyakarta
[1] Lihat Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 44 Tahun 2008 tentang Pornografi
[2] Lihat Pasal 3 Undang-Undang Nomor 44 Tahun 2008 tentang Pornografi
[3] Lihat ketentuan penjelasan Pasal 6 Undang-Undang Nomor 44 Tahun 2008 tentang Pornografi
[4] Lihat Pasal 52 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik