Tak Jarang Napi Narkoba Mengaku Jadi Korban Pelanggaran HAM, Psikolog Sarankan Perlu Lebih Dikaji Kebenarannya

YOGYAKARTA – Narkotika dan obat-obatan terlarang (Narkoba) bisa menimbulkan efek buruk secara psikologis bagi para penggunanya. Bahkan, hal itu bisa mendorong yang semula hanya pengguna kemudian bisa terjerumus untuk menjadi pengedar Narkoba,

“Narkoba tentu saja berdampak secara psikologis terhadap penggunanya, sehingga menjadi kurang menjaga moralitas dan kurang beretika. Misalnya, karena sudah kecanduan kemudian tak punya uang untuk membeli narkoba, lalu menggadaikan barang, lama-lama mencuri. Kalau mencuri masih kurang lalu menjadi pengedar,”  kata pakar Psikologi Universitas Proklamasi (UP 45) Yogyakarta, Drs. Indra Wahyudi, M.Si,  kepada jogjakartanews.com, Senin (22/11/2021) siang.

Dampak psikologis dari mengkonsumsi Narkoba diantaranya bisa berupa gangguan persepsi, daya pikir dan emosi sehingga tidak mengenal konsep diri atau melihat potensi positif dirinya. Oleh karenanya tak jarang ada Kasus Warga Binaan Pemasyarakatan (WBP) atau Nara Pidana (Napi) membuat keributan di dalam Lembaga Pemasyarakatan (Lapas). Bahkan, ada yang sampai memutarbalikkan fakta dan justru melapor sebagai korban pelanggaran Hak Asasi Manusai (HAM) oleh petugas Lapas,

“Mereka memutar balikkan fakta bisa jadi bukan karena persoalan personal mereka, tapi persoalan kelompok pengedar itu. Makanya harus dikaji lebih dalam kasus seperti itu. Harus dibedakan, kalau penyalahguna murni mestinya direhabilitasi. Kalau pengguna sekaligus pengedar, ya harus ditindak tegas untuk membuat efek jera,” jelas pengajar tetap Mata Kuliah Patologi dan Rehabilitasi  Sosial pada Fakultas Psikologi UP 45 ini.

Indra menjelaskan, modus peredaran narkoba sangat rumit. Menurutnya, bisa jadi perilaku-perilaku yang kurang wajar para WBP yang tersandung kasus narkoba juga karena berkaitan dengan jaringan pengedar di luar Lapas. Para pecandu maupun pengedar memiliki hubungan emosional antar sesamanya, sehingga ada semacam solidaritas untuk saling melindungi,

“Saya sering mendengar ketika pengedar masuk ke Lapas oleh jaringannya dilarang ‘bernyayi’ (membuka jaringan). Kemudian ketika keluar akan dipestakan. Itu yang sering terjadi. Memutar balikkan fakta itu perlu digali lebih mendalam apakah itu dalam konteks pengedaran narkoba apa bukan? Ada kemungkinan yang di dalam Lapas justru dimanfaatkan sebagai pengedar juga. Diantara sesama pengedar biasanya ada semacam sumpah setia, bahkan perilaku setia untuk saling melindungi,” katanya.

Namun demikian, ia juga menandaskan, perlu ada investigasi dan dibuktikan jika ada narapidana yang melapor tidak diperlakukan manusiawi oleh petugas Lapas,

“Kalau terbukti, ya petugas sipir tersebut harus ditindak tegas. Tapi kalau tidak terbukti maka perlu pembinaan lebih kepada narapidana kasus Narkoba tersebut,” imbuh Indra.

Di sisi lain Indra juga menilai perlu tindakan sistemik yang lebih luas lagi dalam memberantas peredaran Narkoba, terutama di dalam Lapas. Ia menyayangkan karena selama ini penegak hukum tidak melibatkan Kementrian Komunikasi dan Informatika (Kemenkominfo). Padahal, kata Indra, Kemenkominfo berpotensi besar bisa melacak aktivitas para pengguna, pengedar, hingga gembong atau bandar besar Narkoba,

“Harusnya Kemenkominfo dilibatkan. Sudah terbukti misalnya orang yang terpapar Covid-19 saja bisa terlacak, kasus hate speech, pencemaran nama baik dan sebagainya bisa terlacak. Ketika para gembong termasuk pengedar dari penjara bisa dikontrol alat komunikasinya, maka bisa terlacak jaringannya kemana saja, sehingga bisa dilakukan penggrebegan,” ujarnya.

Indra juga beranggapan, dalam hal kontrol alat komunikasi maupun perangkat Teknologi Informasi yang melibatkan Kemenkominfo, tidak bisa serta merta disebut sebagai tindakan melanggar HAM terhadap narapidana. Sebab, tindakan para pengedar Narkoba justru sudah tidak berperi kemanusiaan, karena banyak generasi muda yang menjadi korban Narkoba,

“Kalau kemudian ada yang menggugat pelanggaran HAM kan bisa saja dibalik. HAM itu kan ada pasal-pasalnya. Para pengedar Narkoba itu lebih jahat daripada misalnya pelanggar HAM dari narapidana Politik dan sebagainya. Jadi perlu cara pandang yang baru pada pengelolaan Kemenkumham di Lapas, ataupun Kepolisian. Kemenkominfo perlu dilibatkan agar bisa melacak gembongnya atau bandar besarnya. Kalau bandarnya sudah tertangkap, bila perlu dihukum mati, maka setidaknya akan memutus peredaran satu jaringan besar,” tukasnya.

Indra juga mengapresiasi Program Lapas Bersih Narkoba (Lapas Bersinar) yang dicetuskan Badan Narkotika Nasional Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta (BNNP-DIY) dan Kantor Wilayah Kementrian Hukum dan HAM (Kanwil Kemenkumham) DIY. Menurutnya, hal itu menjadi angin segar terhadap pemberantasan Narkoba, termasuk membersihkan petugas Lapas yang memberikan fasilitas lebih kepada narapidana tertentu, sehingga justru bisa memperlancar peredaran Narkoba dari dalam penjara,

“Karena ini sudah banyak kasus ada diskriminasi Napi yang punya uang dikasih fasilitas lebih. Biasanya ia akan menyepelekan petugas Lapas yang bisa disuap. Misalnya agar bisa menggunakan fasilitas HP dan sebagainya. Nah mudah-mudahan program Bersinar bisa membersihkan semua itu. Makanya ini saya berharap Kemenkominfo juga dilibatkan, juga psikolog, unsur masyarakat, selain dari BNN, Kepolisian, TNI dan stakeholder terkait lainnya,” harapnya.

Indra juga mengaku siap jika nantinya dilibatkan dalam program Bersinar. Ia selama ini juga concern dalam mengembangkan konsep parenting sebagai pembentukan imunitas generasi muda terhadap perbuatan buruk yang membahayakan diri sendiri, masyarakat, bangsa dan negara. Konsep tersebut mengaplikasikan cara mengedukasi anak sejak dini agar tidak terjerumus narkoba saat dewasa nanti.

Dijelaskan Indra, banyak faktor kenapa seseorang terjerumus ke dalam lembah hitam narkoba dan perbuatan melawan hukum lainnya. Antara lain karena ada kesalahan didikan dalam keluarga. Ia menjabarkan ada tiga type keluarga, yaitu otoritatif atau demokratis, kemudian otoriter, dan permisif,

“Yang berpeluang kenapa anak terjerumus Narkoba adalah yang otoriter dan permisif. Orang tua demokratis memang memberikan otoritas, namun terkontrol. Otoritas atau kepercayaan itu membuat terbinanya hubungan dan komunikasi yang baik antara anak dengan orang tua. Misalnya, kalau ada teman yang berbuat buruk, anak cerita ke orang tua, sehingga orang tua bisa mengarahkan dan anak menerima,” terang Indra.

Dengan konsep parenting atau pendidikan orang tua yang baik, maka anak akan lebih bisa bersikap asertif, sehingga berani menolak pengaruh-pengaruh buruk dari lingkungan atau komunitas terdekat, bahkan mau menghindarinya.

“Saya punya konsep parenting, karena imunitas terhadap perilaku negatif, termasuk pengaruh Narkoba perlu dibangun sejak dini, bahkan sejak bayi. Kami siap bersinergi dengan semua stake holder terkait penanganan psikologis, termasuk bagi para pengguna atau penyalahguna Narkoba,” pungkasnya. (rd2)

Redaktur: Ja’faruddin

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Powered by rasalogi.com