Mencari Makna Positif di Balik Artis Kontroversial, Adakah?

Oleh: Naomi Fin 

Ketika mengintip status Sosial Media (Sosmed) artis, kerap kita melihat sesuatu yang bisa diramaikan. Pendek kata ada saja yang bisa dijadikan bahan ‘gunjingan’ netizen. Kontroversi, sensasi dan hal-hal yang sebenarnya biasa dan wajar  bagi artis, namun menjadi selalu menarik. Seperti misalnya, belum lama ramai artis  Nikita Mirzani (Nikmir) kepada netizen  yang sempat viral baru-baru ini berujung petisi #BoikotNikitaMirzani. Soal boikot memboikot artis memang selalu heboh di Sosial Media (Sosmed). Segala sesuatu yang kontroversial menjadi viral seakan menjadi cermin tradisi bersosmed di negeri +62 (Indonesia) ini.

Nikmir bukan artis pertama yang menuai kecaman netizen. Hanya sikapnya saja yang mungkin berbeda. Artis yang dikenal sensasional karena kerap membuat aksi kontroversial ini justru mengaku happy. Ia tambah menantang netizen agar mereka beramai-ramai menandatangi petisi #BoikotNikitaMirzani di berbagai platform Sosmed. Nikmir seolah tanpa beban ketika dicerca haters, sebagaimana dengan entengnya ia ‘Nyap-nyap’ ke netizen.

Tentunya Nikmir tak bodoh. Setidaknya Ia nampaknya memahami betul bagaimana supaya tetap eksis sebagai artis. Barangkali Nikmir mengamini anggapan bahwa kontroversi lebih bisa menyedot perhatian netizen ketimbang prestasi. Sarkastis lebih menarik ketimbang simpatik.

Mungkin tak sedikit yang menuding Nikmir menghalalkan segala cara agar tenar. Ada juga yang menganggap Nikmir tidak beradab dan seterusnya. Tapi ada juga yang mendukung Nikmir karena ia berani tampil apa adanya, bebas merdeka.

Ya, alam demokrasi memang membuka keran bagi pencari kebebasan berekspresi. Sosmed menambah kokohnya demokrasi yang dimaknai sebagai kebebasan tersebut. Norma-norma sosial tak lagi menjadi hambatan. Berkata-kata tanpa standar etika yang berlaku di dunia nyata menjadi sesuatu yang wajar, bahkan harus, jika ingin viral di dunia maya. Hal itulah yang mungkin mengilhami setiap ucapan dan tindakan Nikmir.

Sebagai publik figur, Nikmir jelas bukan pengguna Sosmed biasa. Dia adalah influenzer. Suka tak suka dengan segala kontroversinya, Nikmir punya banyak folowers. Ia tetap menjadi artis papan atas yang tak mudah tergerus dengan artis-artis pendatang baru. Tak heran jika dengan berbagai pengalamannya di dunai entertaiment, Nikmir tak gentar menghadapi caci maki netizen yang dia bilang “miskin” itu.

Kata-kata “miskin” memang kedengarannya melecehkan, merendahkan, atau penghinaan. Sebab netizen itu jamak. Di dunia nyata, mereka juga bagian dari masyarakat umum. Ada yang kaya, bahkan mungkin jika dinilai dari kepemilikan harta, jauh lebih kaya dari Nikmir. Namun, jika ingin berbaik sangka, bisa jadi Nikmir mungkin menggunakan kata-kata miskin arahnya bukan ke harta, namun miskin kesadaran.

Ada lagi. Nikmir juga memaki netizen dengan “Anjing”. Nama binatang itu selama ini kadung oleh sebagian besar masyarakat dianggap kata-kata kotor jika ducapkan kepada orang lain. Itu kan kalau di dunia nyata, guys!. Kalau di dunia Sosmed mengatakan “anjing”, “anjrit”, “anjay”, atau apalah itu menjadi pantas-pantas saja. Betul?!

Ya, itu bagian dari praktik biasa atas kepercayaan bahwa kalau ingin viral ya  harus kontroversial.  Semakin banyak komentar netizen, entah baik atau buruk, bagi Nikmir enggak ngefek, malah menguntungkan. Semakin banyak respons semakin banjir iklan dan endors. So, buat apa Nikmir takut dengan celoteh netizen?

Ketika Nikmir sesumbar, “Orang kaya aja gue lawan, apalagi elo netizen miskin!”. Lagi-lagi bagi yang Baper akan bilang, “Sombong amat!”. Sombong gimana? Kan Nikmir bilang dia akan ngomong apa adanya tanpa gimmick, tanpa tedeng aling-aling. Bukankah netizen memang kaya dengan kata-kata yang dianggap tak senonoh di dunia nyata? Di dunia maya mana ada bedanya netizen kaya dan netizen miskin. Yang kaya kata-kata tak sopan dan miskin etika itu sama saja bukan?

Lagian, kalau dipikir-pikir, sekaya apapun netizen kalau tidak punya karya dan menjadi penikmat doang, ya sama aja pemboros quota internet. Kata banyak orang bijak, pemborosan sama saja membuka jalan menuju kemiskinan. Betul?!

O iya. Perlu di jelaskan di sini bahwa karya Somed juga jangan disetarakan karya-karya yang selama ini dipahami awam. Karya sosmed lebih simpel wujudnya,  yaitu postingan apapun yang menjadikannya viral. Prestasi atas karya sosmed ya viral itu. Mutu tidak mutu, itu tak lagi penting.

Memanglah tidak sepenuhnya keliru jika ada yang melabeli Nikmir dan artis-artis yang kerap mengumbar kata-kata kasar di sosmed, tidak mencerminkan manusia Indonesia yang berbudaya. Tapi zaman telah berubah. Kemajuan teknologi semakin jauh melesat melampau angan-angan masa kecil kaum aging (tua). Manusia Indonesia atau bahkan manusia di bumi sudah hidup di dua alam dalam waktu bersamaan. Satu sisi menjadi masyarakat, di sisi lainnya menjadi netizen. Nikmir nampaknya sudah sangat memahami hal itu, juga para artis, selebgram, dan youtuber beken lainnya.

Mereka boleh jadi hanya mengikuti ‘pasar’ supaya tetap bisa untung dan banyak cuan. Dan perlu diingat, ‘pasar’ itu pasti diatur pemiliknya. Siapa pemiliknya? anak anak juga tahu jika pasar itu punya negara, dan negara yang mengatur adalah pemerintah. Kalau tanya pemerintah itu siapa? Silakan googling saja.

Makna dari  kata-kata tergantung siapa yang mencerna. Banyak filsuf atau para ulama min auliyaillah yang majdzub menyampaikan kata-kata tak lazim. Bukan hanya ucapan, tapi juga tindakan yang menerjang norma sosial. Misalnya, bertelanjang dada di forum pengajian dan sebagainya (silakan googling saja siapa saja belaiau). Namun, bagi yang bisa memaknai kata-kata dan tindakan nyleneh dari para filsuf dan ulama majdzub, pasti akan berpandangan lain. Biasanya orang-orang alim akan menyampaikan narasi yang penuh kebaikan dari ucapan dan tindakan ulama majdzub. Wal hasil, ummat justru tambah takzim kepada ulama majdzub tersebut, meski tidak meniru kata-kata dan tindakannya.

Nah, sudah barang tentu karena Nikmir bukan Filsuf, apalagi ulama atau wali majdzub, maka seharusnya ada netizen yang bisa menterjemahkan kata-kata dan tidakannya yang ganjil menjadi positif. Ya, siapa saja.

Salah seorang sastrawan dan ulama besar, Gus Mus (KH. Mustofa Bisri) pernah mengatakan sebuah pesan yang sangat sejuk jika diresapi dalam qalbu. Pernyataan Gus Mus ini cukup masyur dan kerap dijadikan quote,

“Orang itu kan macam-macam tabiatnya. Ada yang kasar, ada yang lembut. Ada yang sopan, ada yang tidak. Kita sendiri memang harus berusaha menjadi orang yang lembut dan sopan, tapi kan tidak harus membenci mereka yang belum bisa bersikap begitu.”

Nikmir memang tak perlu dibela atau dibenci, namun perlu disikapi dengan cara yang lebih cerdas dan bijak. Meminjam kata-kata yang dipopulerkan Cak Lontong, “Mikir!” (*)

*Penulis adalah pembelajar di Komunitas penulis Kata Mata Pena Jogja.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Powered by rasalogi.com