Oleh: Muhammad Fachrul Hudallah*
Oknum merupakan kata yang sering disebut ketika anggota dalam instansi, organisasi, komunitas, dan lain-lain sedang tersandung masalah. Kata ‘oknum’ dijadikan sebagai tameng untuk menyembunyikan kebusukan perilaku yang sudah mengakar dan menjalar dalam kelembagaan.
Belakangan ini, kata ‘oknum’ sering muncul di media sosial karena maraknya kasus. Dari mulai oknum dosen, oknum kepolisian, oknum ustadz, dan masih banyak lagi.
Kata oknum tidak seharusnya muncul di mata publik. Kebiasaan ketika menang di puji dan di kasih penghargaan, ketika kalah tidak di anggap dan ditelantarkan menjadi hal yang biasa di Indonesia.
Munculnya kasus seperti pencabulan, penembakan, dan lain-lain merupakan watak manusia Indonesia yang lemah karakter. Mereka memuaskan dirinya sendiri atau dikelabuhi orang lain tanpa mempertimbangkan prinsip, kehormatan, dan masa depan orang lain. Mereka bertindak semaunya dan terbiasa menggunakan kata ‘oknum’ untuk disalahkan.
Bersikap dan berperilaku feodal menjadi watak mayoritas manusia Indonesia. Kalau berkuasa, ingin menginjak-injak serta kalau tidak berkuasa, merintih-rintih ketika diinjak. Misalnya adalah oknum ustadz yang mencabuli santriwati. Mereka berperilaku sok menjadi pemimpin yang hanya mementingkan libido tanpa menggunakan logika dan etika yang bagus.
Mochtar Lubis menguliti karakter manusia Indonesia melalui ceramahnya tanggal 06 April 1977 di Taman Ismail Marzuki. Jika di analisis dengan baik, ternyata relevan dengan dunia kontemporer. Kata-kata buah jatuh tidak jauh dari pohonnya adalah kalimat yang tidak berlebihan.
Karakter lempar batu sembunyi tangan atau yang dikatakan ABS (Asal Bapak Senang) melalui metode kemunafikan atau hipokrit juga terjadi. Misalnya ketika anggota kepolisian di Polda Jateng melakukan represifitas terhadap mahasiswa yang sedang demo, maka atasannya akan mengatakan yang melakukan itu adalah ‘oknum’. Namun, jika ada salah satu yang berprestasi, dipujinya setengah mati. Mayoritas manusia Indonesia adalah gila hormat, senang dipuji dan menghukum, menjerit ketika disakiti.
Maka dari itu, lembaga, instansi, organisasi, komunitas, atau lain sebagainya jangan terbiasa membawa kata ‘oknum’ dalam menyalahkan orang lain. Ketika dikeluarkan kata tersebut, tandanya lembaga tidak memiliki tanggung jawab dan tidak mau mengevaluasi. Kata ‘oknum’ di Indonesia merupakan lima huruf yang basi untuk diucapkan dan menjadi apologi para pimpinan.
*Penulis adalah founder literasi jalanan kudus