Potret Masyarakat Halu, Latah dan Entahlah

Oleh: Muhammad Hamzah*

Setiap kali ngopi di angkringan langganan depan kantor, hampir ada kalimat bernada galau dari para pengunjung. Seperti galibnya di tempat makan kelas bawah ini, obrolan ngalor-ngidul menjadi bonus suguhan. Isinya tentu gagasan dalam otak masing-masing yang tumpah ruah tanpa referensi ilmiah.

Ada yang mereka-reka sebabnya dari sesuatu yang digalaukan, melempar ide sebagai jalan keluar dari kegalauan. Ada yang nampak serius, ada juga yang ‘serius’ melucu. Kadang ‘garing’ (lelucon yang enggak lucu), ada juga yang ‘membagongkan’ (membingungkan). Lagi, tak sedikit pula yang ‘halu’ (berkhayal).

Ada debat kusir, debat ojol dan debat debat lain tanpa moderator dengan topik yang tak epic sama sekali.

Namanya obrolan ngalor-ngidul, ya pastinya tanpa arah. Itu tentunya enggak penting. Tapi anehnya, banyak disukai masyarakat di sini. Ya, barangkali mungkin termasuk saya yang menikmati obrolan itu sebagai hiburan.

Di saat yang sama, di WhatsApp group, juga berseliweran kalimat dan kata kata yang ujungnya sama: Kegalauan. Tentu diksi dan narasi antara angkringan dan kelas WAG para lulusan sarja jelas beda jauh.

Dunia maya memang bukan dunia nyata. Namun apapun kata-kata dan rupa tayangan di dalamnya setidaknya mencerminkan keberadaan dunia nyata.

Obrolan di angkringan dengan obrolan di WAG dan berbagai platform sosial media, nampaknya memang sebelas-duabelas. Semua mendadak ‘politisi’, ujug-ujug ‘agamawan’, kritikus dan ‘kementhus’ (songong, enggak punya ilmu dan kapasitas tapi ngomongin sesuatu yang bukan keahliannya).

Ilmu ‘gathuk’ (menghubung-hubungkan biar pas), nampaknya tak sepenuhnya salah. Seolah semua ruang (baik nyata maupun maya) disesaki dengan orang-orang yang halu, latah, dan entahlah.

Yang jelas andai tak halu dan latah, mestinya tak menumpuk masalah.

Semakin banyak alim ulama, orang pintar, para pemikir, seharusnya semakin banyak solusi sedikit masalah. Semakin banyak yang politisi seharusnya semakin tertata dan ada sejahtera yang merata di negeri ini.

“Yang dibutuhkan bukan kata-katanya, dab! tapi mutiaranya. Hidup tak semudah kata motivator dan seindah ucapan para pendakwah,” kata pengemudi Ojol sembari melahap nasi kucing.

“Kalau cuma nambah masalah mending jangan ngomong politik, jangan ngomong agama, stand up aja malah bisa bikin kita ceria dan tertawa,” sambung kuli bangunan di samping saya sambil menyeruput kopi jos. (*)

_Yogyakarta, 7 Januari 2022_

*Penulis adalah penggiat Forum Muda Lintas Iman Yogyakarta

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Powered by rasalogi.com