Perlu Dibarengi 3 T, Jika Kasus Covid-19 Melonjak PTM di DIY Bakal Dievaluasi

YOGYAKARTA – Pembelajaran tatap muka (PTM) 100 persen sudah mulai diberlakukan di sekolah-sekolah di Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY). Namun demikian, Pemerintah Daerah (Pemda) DIY akan melakukan evaluasi, setelah ditemukannnya kasus di beberapa sekolah yang siswanya positif Covid-19. 

Salah satu kasus terbaru terjadi di SMA N 8 Yogyakarta. Dua siswanya positif terpapar Covid-19.

Kepala Disdikpora DIY Didik Wardaya mengatakan, akan segera melakukan evaluasi terkait adanya temuan kasus tersebut. Pemantauan penerapan prokes juga terus dilakukan oleh tim Disdikpora ke sekolah-sekolah. Sampai saat ini memang PTM SMA/SMK masih digelar 100%,

“Tetapi kami akan evaluasi,” katanya, Rabu (26/01/2022).

Didik menjelaskan, terungkapnya kasus Covid-19 di SMAN 8 Jogja berawal dari salah satu siswa kelas XII yang tidak masuk karena sakit, setelah dilakukan swab hasilnya positif.

Petugas kemudian melakukan pemeriksaan terhadap semua siswa dan guru dengan jumlah lebih dari 200 orang, hasilnya ada satu siswa dari kelas X yang positif.

Sedangkan ratusan lainnya baik siswa maupun guru hasil swabnya negatif Covid-19. Kondisi dua siswa tersebut sudah dalam keadaan sehat.

Sementara dua kelas dimana siswa yang terpapar belajar, tidak melaksanakan PTM selama lima hari.

“Kalau kelas lain hasil skrining tidak ada masalah, negatif semua,” ujarnya.

Di sisi lain, Ketua Pokja Genetik Fakultas Kedokteran, Kesehatan Masyarakat, dan Keperawatan (FKKMK) UGM, dr. Gunadi Ph.D., Sp.BA.,  mengatakan kegiatan Pembelajaran Tatap Muka (PTM) 100 persen harus diikuti dengan upaya  3T (testing, tracing, dan treatment) oleh pemerintah.

“Penyelenggaraan PTM 100% tentunya pemerintah dan stakeholder terkait sudah mempertimbangkannya, tetapi harus diikuti dengan 3T,” tuturnya.

Ia menegaskan langkah 3T sebaiknya dilakukan secara acak serta secara rutin. Dengan begitu diharapkan dapat memutus mata rantai penularan Covid-19 termasuk varian Omicron dengan kemampuan penyebaran lebih cepat daripada varian Delta.

“Karena gejala umumnya tidak berat, OTG, jadi tidak tahu apakah anak-anak dan guru membawa virus atau tidak sehingga dilakukan testing secara acak dan berkala. Jangan menunggu ada kluster atau positif baru ditracing ini terlambat,”paparnya.

Apabila tracing baru dilakukan saat muncul kluster di sekolah, lanjutnya, akan berpotensi menyebarkan virus secara lebih luas dalam keluarga dan menjadi kluster baru. Namun jika testing dapat dilakukan secara acak dan rutin akan menjadikan mitigasi Covid-19 lebih baik.

“Pendidikan tidak mungkin tidak berjalan. Kendati begitu, suatu kebijakan harus ada konsekuensi-konsekuensi yang harus dipenuhi pemerintah jangan sampai mengkorbankan kesehatan anak-anak itu sendiri,” jelasnya. (pr/kt1)

Redaktur: Faisal

 

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Powered by rasalogi.com