Oleh: M.Faisal
Prinsip ekonomi yang paling dipahami awam adalah dimana banyak permintaan maka harga barang bakal merangkak naik. Misalnya jelang bulan Puasa Ramadhan, harga kebutuhan pokok seperti minyak goreng, telur, tempe, dan bumbu-bumbu dapur bandrolnya meroket.
Jelang Ramadhan kali ini, yang dimana-mana jadi keluhan para ‘emak-emak’ adalah harga Minyak Goreng (Migor), telur dan sekawanannya yang terus melonjak.
Tentu saja harga-harga kebutuhan pokok yang membumbung menjadi keluhan. Jangankan naik hingga ribuan rupiah, naik seratus rupiahpun terasa berat. Bahwa benar kasus Covid-19 melandai, tapi apakah otomatis ekonomi membaik dan daya beli meningkat? tentu tidak.
Pemerintah sah-sah saja klaim bahwa angka kemiskinan cenderung menurun. Atau ada yang bilang masa pandemi justru ekonominya tambah membaik pada sektor tertentu. Tapi realitas tidak bisa dipungkiri bahwa sejatinya lebih banyak yang terpuruk ketimbang bangkit di masa Pandemi.
Kenaikan harga minyak goreng menjadi bukti nyata rakyat banyak yang masih ‘kembang-kempis’ ekonominya kendati pandemi konon akan segera menjadi endemi. Tidak keliru tentunya kebijakan pemerintah melalui menteri terkait menentukan harga eceran tertinggi (HET) Migor. Tapi, ketika masih dirasa masih terlalu tinggi lantaran daya beli memang rendah, maka tetap masalah.
Dan lagi, persoalan kenaikan harga Migor tidak bisa ditutupi dengan kontroversi penundaan Pemilu (perpanjangan jabatan Presiden), isu MotoGP, atau isu mega proyek pindah Ibu Kota Negara. Justru isu-isu itu semakin melengkapi bukan saling menutupi.
Semua itu menunjukkan bahwa kebijakan pemerintah sulit dicerna akal masyarakat yang nyaris ‘sekarat’ ekonominya. Misalnya ada kebijakan di masa pandemi kesehatan dan keselamatan rakyat diutamakan, diberlakukan PSBB dan PPKM. Tapi giliran momen politik PILKADA atau PEMILU dipaksakan tetap jalan, ini yang terbaru, Motor GP tetap dihelat. Anehnya, event akbar itu dikatakan salah satu implementasi pemerintah yang lagi fokus untuk pemulihan ekonomi. Di sisi lain anggaran negara yang super besar digelontorkan untuk mega proyek pembangunan Ibu Kota Negara Baru di Kalimantan.
Sebenarnya mau Ibu Kota dimanapun tak soal bagi rakyat. Tapi yang mendesak diperlukan saat ini adalah kepastian kondisi kembali normal. Semua kebutuhan bisa terbeli ringan. Mereka yang kena PHK kembali bekerja, mereka yang terpaksa hutang bank bisa mencicil dan melunasi. Mereka yang 2 tahun lebih tidak produktif menjadi produktif lagi. Mereka yang 2 tahun lebih terpaksa menjadi pemalas (dan benar-benar malas karena tidak menemukan jalan untuk bangkit dari keterpurukan) menjadi kembali berdaya.
Ya, sebagian rakyat biasa, tentu banyak yang nampak tidak peduli dengan isu-isu yang berbau politik praktis. Orang-orang pintar yang demen dengan teori konspirasi bahkan ada yang berpikir semua itu tujuannya pengalihan isu yang besar. Biar rakyat lemah, takut dan ujungnya mudah dikendalikan.
Rakyat kecil tentu kebanyakan lebih fokus bagaimana bertahan dalam himpitan ekonomi. Tapi jangan salah. Mereka mungkin tidak paham, tapi cukup tahu karena merasakan, namun hanya bisa menyimpan kecewa yang tak terucap. Tentu ada yang bilang kalau penulis “sok tahu”. Biarlah. Cemoohan itu sudah menjadi konsekuensi bagi siapapun yang mencoba berpikir beda atas suatu kebijakan pemerintah. Meski tidak sepenuhnya menyalahkan pemerintah kalau berbeda tetap saja ada yang menuding menyalahkan.
Kelas rakyat biasa seperti ibu-ibu rumah tangga tentu tidak ada kapasitas untuk mengkritik dan menyudutkan pemerintah. Rakyat kecil hanya mengeluhkan sesuatu yang wajar dan lazim-lazim saja. Tidak mungkin ada ekses politik yang membahayakan jabatan Lurah, Bupati, Gubernur, Menteri, apalagi Presiden. Ya, kecuali digoreng oleh para Politikus. Untuk menggoreng, tentu mereka tak perlu pikir-pikir tentang harga minyak goreng. (*)
*Penulis adalah penggiat Forum Muda Lintas Iman Yogyakarta (FORMULIYO) dan pembelajar di komunitas penulis Kata Mata Pena Jogja.