Oleh: Dr. Mustari, M.Hum.*
Rendang Non-halal
Baru-baru ini jagad kuliner Indonesia dihebohkan dengan rendang berbahan baku daging babi atau Babiambo, Nasi Padang Babi. Pemiliknya dipolisikan lalu meminta maaf dan mengaku tidak ada niatan menyinggung siapa pun. Rendang memang fenomenal dan melekat dengan masakan Padang/Minang. Lauk yang wajib ada di setiap Rumah Makan Padang/Minang, ini berbahan dasar daging sapi, santan kelapa, dan rempah-rempah khas Minang, dimasak tidak cukup sejam atau dua jam. Rendang bahkan diakui sebagai kuliner ter-enak di dunia. Tidak heran, seorang Yups Audun Kvitland Røstad, pria asal Norwegia menciptakan lagu berjudul “Nasi Padang” dan sempat viral karena kecintaannya terhadap nasi padang.
Fenomena ini membuat siapa pun yang punya naluri bisnis kuliner memperhitungkan membuka usaha Rumah Makan Padang/Minang, sebagaimana yang dilakukan oleh Sergio, Pemilik Rumah Makan Babiambo. Di Yogyakarta, umpamanya, sangat mudah menemukan Rumah Makan Jodang (Jogja-Padang). Pemiliknya biasanya bukan orang Minang. Test-nya pun sudah disesuaikan dengan selera orang Yogya yang cenderung manis. Apakah orang Minang protes dengan fenomena Jodang itu? Tentu saja tidak. Siapa pun boleh membuka Rumah Makan Padang/Minang, termasuk penulis yang pernah memiliki Rumah Makan Padang “AMBO” di kawasan Sentra Gudeg di utara kampus UGM.
Begitulah domekratisnya orang Minang terhadap resep masakan warisan leluhurnya. Maka tidak heran, jika seorang Sergei berinovasi dengan rendang babi di kala pandemi. Sayang, ia lupa, bahwa di balik semua kuliner khas, ada budaya yang melekat padanya dan harus diperhitungkan, sebagaiamana Gudeg-Yogya, Coto-Makassar, Bipang-Ambawang, Bubur-Manado, Mie Ledir-Tanjungpinang, Tengkleng-Solo, dan sebagainya. Ada pakem budayanya yang harus dihormati. Orang Minang adalah penganut agama Islam yang menjunjung tinggi nilai-nilai Islam yang tergampar pada pepatahnya, “Adat Bandi Syara’, Syara’ Basandi Kitabullah”. Ini pakem yang mewarnai seluruh budaya dan aktivitas mereka, termasuk kulinernya. Meski ada beberapa kasus orang Minang yang murtad, tapi resikonya dia tidak diakui lagi sebagai komunitas Minang.
Kuliner Miang: Kuliner Halal
Sudah menjadi pedoman, bila anda bepergian ke kota manapun, jika sulit menemukan kuliner halal, maka carilah Rumah Makan Padang/Minang. Dijamin halal. Anda tidak perlu ragu karena rumusan itu sudah dari sononya dan anda tidak perlu lagi bertanya ke pemilik rumah makan. Begitulah pakemnya, Rendang = Kuliner Minang = Daging Sapi = Halal. Adakah rendang berbahan daging kambing, kerbau, bebek, ménthok, angsa, ayam? Tentu saja ada, tapi tidak pupuler dan orang Minang tidak akan protes karena semua daging tersebut halal adanya.
Berbeda jika rendang berbahan daging babi. Tidak hanya menyalahi pakem, tapi akan merusak rumusan di atas. Apa jadinya jika orang Minang diam terhadap fenomena babiambo ini? Maka rasa aman ketika memilih Rumah Makan Padang/Minang akan terusik. Apa lagi jika pemiliknya bukan orang Minang seperti rumah makan Jodang di Yogyakarta. Pemilik akan repot membuat promosi ulang bahwa rendangnya halal. Rumah Makan Padang/Minang tidak lagi sterill dari babi dan daging non-halal lainnya. Beruntung orang Minang cepat bereaksi dan kegaduhan itu diharapkan tidak berlanjut sehingga otentitas Rumah Makan Padang/Minang, terutama rendangnya, tetap terjaga = halal.
Perlu Pemahaman Budaya
Tidak diragukan, usaha kuliner Minang memang sangat menjanjikan kapan pun dan di mana pun. Ada seloroh di kalangan orang Minang, “Andainya ada orang di bulan, maka orang Minang duluan buka rumah makan di sana”. Untuk saat ini, tidak sulit menjumpai Rumah Makan Padang/Minang di mana pun. Itu memandakan bahwa kuliner Minang sudah menjadi selera global. Tetapi satu yang harus diingat sebelum terjun ke usaha ini, yaitu budaya yang melatar belakanginya. Orang Minang tetap akan mengawal resep rendangnya ini sampai kapan pun agar pakem budayanya tidak rusak. Ini bukan persoalan racikan rempah semata, tapi ini persoalan Jati Diri Kuiner Minang, dan ini bukan persoalan sara. Wallahu’alam. (*)
*Dr. Mustari, M.Hum. adalah mantan pemilik Rumah Makan “AMBO” dan dosen di Fakultas Adab dan Ilmu Budaya UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta.