YOGYAKARTA – Kebutuhan minyak bumi di Indonesia masih tinggi. Kendati ekplorasi sumber-sumber minyak baru hingga saat ini masih terus dilakukan, namun belum mampu menutup kebutuhan minyak dalam negeri.
“Indonesia telah menjadi net-importir minyak bumi selama 20 tahun terakhir. Kondisi tersebut terjadi akibat tingginya konsumsi minyak nasional yang tidak disertai dengan peningkatkan produksi minyak dalam negeri,” kata Dosen Teknik Geologi FT UGM, Salahuddin Husein, Ph.D., Sabtu (25/06/2022)
Salahuddin menjelaskan, eksplorasi minyak bumi terus dijalankan untuk menambah potensi cadangan migas dan membuka lapangan-lapangan migas baru, demikian juga ekploitasi pengangkatan migas dari lapangan-lapangan yang ada, namun kebutuhan dalam negeri saat ini sudah dua kali volume produksi migas nasional,
“Jadi belum mencukupi kebutuhan nasional,” ujarnya.
Ia mengungkapkan, laporan Tahunan Ditjen Migas ESDM 2019 mencatat cadangan minyak bumi per 1 Januari 2019 adalah sebesar 3.774,6 juta standar barel (MMSTB). Sekitar 68% dari cadangan tersebut telah terbukti, dan sisanya bersifat terduga. Dalam perkembangannya, data SKK Migas hingga 31 Desember 2021 mencatat jumlah cadangan terbukti minyak Indonesia tinggal 2.360 juta barel.
Salahuddin menjelaskan bahwa kemampuan produksi minyak bumi nasional sekitar 800 ribu barel per hari. Dengan cadangan terbukti di atas, diperkirakan hanya akan bertahan diambil hingga 8 tahun ke depan saja, hingga tahun 2029.
Untuk meningkatkan produksi minyak di Indonesia, Salahuddin mengatakan pemerintah perlu mengambil langkah strategis, salah satunya memikirkan cara untuk menarik investor. Misalnya dengan merancang insentif investasi yang menarik, mempermudah peraturan, dan memberikan kepastian terkait regulasi. Selain itu juga pemberian insentif pengembangan energi baru terbarukan (EBT) untuk mengurangi beban import minyak bumi.
Berikutnya, langkah strategis dari sisi teknologi dan geologi dengan efesiensi teknologi lapangan migas. Pengangkatan minyak dari batuan dalam tanah tidak bisa 100% terambil, biasanya menyisakan sebagian besar cairan minyak yang menempel di batuan, sehingga diperlukan pengembangan teknologi pengangkatan minyak yang efesien. Lalu, membuka studi-studi eksplorasi migas menjadi lebih terbuka salah satunya dengan melibatkan lebih banyak perguruan tinggi.
Tantangan pun sangat besar, Salahuddin menyebutkan hampir sebagian besar cadangan sulit untuk diambil.
“Cadangan yang ada terletak di tempat yang sulit dijangkau atau sangat dalam, rata-rata di lautan yang dalam, sehingga memerlukan dana besar dan teknologi tinggi,” terangnya.
Secara umum, lanjutnya, eksplorasi migas di Indonesia dikelompokkan menjadi kawasan Indonesia Barat (Kalimantan-Jawa-Sumatera) dan kawasan Indonesia Timur (Sulawesi, Maluku, Papua, Nusa Tenggara).
Di kawasan Indonesia Barat sifatnya telah jenuh eksplorasi dimana telah banyak eksplorasi namun hasilnya belum bisa menemukan cadangan raksasa kembali. Sedangkan di kawasan Indonesia Timur masih sangat terbuka potensi eksplorasinya.
Eksplorasi di kawasan wilayah tersebut masih sedikit, sehingga kini investasi eksplorasi migas diarahkan di Kawasan Indonesia Timur, terutama setelah penemuan potensi gas raksasa di Lapangan Abadi, lepas pantai Kabupaten Maluku Barat Daya.
Dari fakta dan data tersebut, Salahuddin menilai sulit bagi Indonesia untuk menutup kebutuhan minyak harian.
“Kita harus mampu menjaring 2 kali lipat jumlah modal dari yang ada saat ini, mengembangkan dan menerapkan teknologi yang 2 kali lebih efisien, serta penataan birokrasi dan regulasi yang 2 kali lebih ramah terhadap investasi eksplorasi migas,” tutup Salahuddin. (pr/kt1)
Redaktur: Faisal