Permasalahan Korupsi, Kolusi dan Nepotisme di Daerah Serta Strategi Penanggulangannya

Purwantoro Agung Sulistyo
Purwantoro Agung Sulistyo. Foto: Doc.pribadi.

Oleh : Purwantoro Agung Sulistyo, S.E, M.H*

Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme (KKN) di Indonesia bukan lagi merupakan sebuah fenomena, melainkan sudah merupakan fakta     yang terkenal di mana-mana. Kini, setelah rezim otoriter Orde Baru tumbang, tampak jelas bahwa praktik KKN selama ini terbukti telah menjadi tradisi dan budaya yang keberadaannya meluas, berurat akar dan menggurita dalam masyarakat  serta sistem birokrasi Indonesia, mulai dari pusat hingga lapisan kekuasaan yang paling bawah.

Pada era pemerintahan transisi  di bawah Presiden BJ Habibie, istilah KKN diresmikan menjadi istilah hukum dengan diundangkannya Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1999 tanggal 19 Mei 1999 tentang ” Penyelenggara Negara yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme”. Didalam Bab I Ketentuan Umum, Pasal 1 Undang- Undang tersebut, pengertian dari masing-masing istilah dimaksud dapat  diketahui berikut ini:

  1. Korupsi adalah tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam ketentuan peraturan perundang- undangan yang mengatur tentang tindak pidana korupsi.
  2. Kolusi adalah permufakatan atau kerja sama secara melawan hukum antar Penyelenggara Negara atau antara Penyelenggara Negara dan pihak lain yang merugikan orang lain, masyarakat, dan atau Negara.
  3. Nepotisme adalah setiap perbuatan penyelenggara Negara secara melawan hokum yang menguntungkan kepentingan keluarganya dan atau kroninya di atas kepentingan masyarakat, bangsa, dan negara.

Untuk dapat mewujudkan good governance sebagaimana dituntut oleh masyarakat, salah satu unsur penting yang harus terpenuhi adalah adanya transparansi atau keterbukaan dan akuntabilitas dalam berbagai aktifitas, baik aktifitas  sosial, politik maupun ekonomi. Dengan kata lain, semakin tinggi tingkat transparansi dan akuntabilitas maka seharusnya semakin rendah pula kemungkinan terjadinya KKN.

Dalam pengertian yuridis, pengertian korupsi tidak hanya terbatas kepada perbuatan yang memenuhi rumusan delik dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, tetapi meliputi juga perbuatan-perbuatan yang memenuhi rumusan delik, yang merugikan masyarakat atau orang perseorangan. Oleh karena itu, rumusannya dapat dikelompokkan  sebagai berikut :

  1. Kelompok delik yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian Negara;
  2. Kelompok delik penyuapan, baik aktif (yang menyuap) maupun pasif (yang di suap);
  3. Kelompok delik penggelapan;
  4. Kelompok delik pemerasan dalam jabatan (knevelarij, extortion);
  5. Kelompok delik yang berkaitan dengan pemborongan, leveransir dan rekanan.

Faktor Penyebab Korupsi di daerah

Faktor penyebab korupsi yang paling signifikan di daerah adalah faktor politik dan kekuasaan, dalam arti bahwa korupsi di daerah paling banyak dilakukan oleh para pemegang   kekuasaan (eksekutif maupun legislatif) yang menyalahgunakan kekuasaan dan kewenangan yang dimilikinya untuk mendapatkan  keuntungan pribadi maupun untuk  kepentingan kelompok dan golongannya. Faktor yang kedua adalah nepotisme.

Masih kentalnya semangat nepotisme, baik di sektor publik maupun swasta, di daerah-daerah terutama dalam penempatan posisi yang strategis tidak jarang kemudian menimbulkan penyalahgunaan kewe- nangan, terutama yang bersangkut paut dengan keuangan negara. Faktor yang ketiga adalah ekonomi.

Analisis rendahnya gaji sebagai sebab korupsi adalah sebuah apologi yang tepat. Bila hal ini disosialisasikan secara luas, banyak orang akan mendapatkan bahan bakar untuk kendaraan apologinya. Artinya, akan banyak orang berpikir bahwa korupsi adalah sebuah pintu darurat selama pemerintah belum mampu menjamin kesejahteraan mereka. Padahal rendahnya gaji sebagai sebab korupsi adalah sesuatu yang masih bisa diperdebatkan.

Faktor yang terakhir adalah faktor pengawasan. Lemahnya fungsi pengawasan yang dilakukan oleh lembaga-lembaga, seperti BPKP maupun Bawasda terhadap penggunaan keuangan negara oleh pejabat-pejabat publik (eksekutif maupun legislatif) merupakan salah satu faktor penting yang turut menumbuh-suburkan budaya korupsi di daerah-daerah. Fungsi kontrol yang semestinya dijalankan oleh lembaga legislatif pun pada kenyataannya   seringkali tidak efektif, yang  disebabkan karena lembaga legislatif itu sendiri pun seringkali terlibat dalam penyimpangan dan penyalahgunaan keuangan Negara yang dilakukan oleh eksekutif.

Strategi Penanggulangan Korupsi, Kolusi dan Nepotisme

Proses penegakan hukum oleh aparat penegak hukum (polisi, jaksa dan hakim), khususnya berkenaan dengan perkara korupsi di daerah-daerah  dapat dikatakan telah mengalami kemajuan yang cukup signifikan dibandingkan dengan tahun-tahun sebelumnya. Namun, pengungkapan kasus korupsi, kolusi dan nepotisme ini seringkali tidak diimbangi dengan penanganan yang serius, sehingga dalam proses peradilannya penanganan kasus-kasus tersebut sering kali tidak memenuhi rasa keadilan masyarakat.

“Ketidakseriusan” ini sesungguhnya tidak dapat dilepaskan dari dua hal, yaitu: besarnya intervensi politik dan kekuasaan, dan relatif lemahnya moral dan  integritas aparat penegak hukum.

Untuk mengatasi permasalahan  tersebut, setidak-tidaknya ada dua strategi yang dapat diterapkan untuk mengurangi intensitas korupsi  didaerah, yaitu :

  1. Memutus serta merampingkan (streamlining) jaringan proses birokrasi yang bernuansa primordial di kalangan penentu kebijakan, baik itu yang berada di lembaga eksekutif, legislatif maupun yudikatif, sehingga tata kerja dan penempatan pejabat pada jabatan atau posisi-posisi tertentu benar-benar dapat dilaksanakan secara akuntabel dan profesional serta dilaksanakan dengan pertimbangan profesio- nalisme dan integritas moral yang tinggi;
  2. Menerapkan sanksi pidana yang maksimal secara tegas, adil dan konsekuen tanpa ada diskriminasi bagi para pelaku korupsi, kolusi dan nepotisme dalam arti bahwa prinsip-prinsip negara hukum benar-benar harus diterapkan secara tegas dan konsekuen, terutama prinsip equality before the law;
  3. Para penentu kebijakan, baik di bidang pemerintahan maupun di bidang penegakan hukum harus memiliki kesamaan visi, profesionalisme, komitmen, tanggungjawab dan integritas moral yang tinggi dalam menyelesaikan kasus-kasus korupsi.

Dalam kerangka pembenahan substansi hukum, Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 berikut perubahan UU No. 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi masih memerlukan beberapa revisi sesuai dengan sifat dinamis dari tindak pidana korupsi tersebut.   Pembenahan budaya hukum merupakan aspek signifikan yang melihat bagaimana masyarakat menganggap ketentuan-ketentuan  sebagai civic minded (berpihak pada kepentingan masyarakat) sehingga masyarakat akan selalu taat dan sadar akan pentingnya hukum sebagai suatu regulasi umum.

Hal ini terkait erat dengan persoalan etika dan moral masyarakat serta pejabat penegak hukum dalam menyikapi KKN. Masalah rendahnya moral dan budaya   hukum inilah yang sangat penting dalam pembangunan hukum Indo nesia, khususnya dalam kerangka pemberantasan korupsi..

Terhadap hal ini, kiranya pemerintah dapat mengkampanyekan pemberantasan korupsi dengan cara memasukkan ajaran-ajaran tentang moral dan etika ke dalam sistem pendidikan nasional serta mendorong dan memobilisasi murid-murid di sekolah-sekolah untuk menciptakan suatu iklim sosial sedemikian rupa dimana di dalamnya korupsi menjadi suatu hal buruk yang tidak dapat diterima. Dalam hal ini sekolah dijadikan sebagai ujung tombak yang diharapkan dapat menjangkau sejumlah besar anak.

Merangkai kata untuk perubahan memang mudah. Namun, melaksanakan rangkaian kata dalam bentuk gerakan terkadang teramat sulit. Dibutuhkan kecerdasan dan keberanian untuk mendobrak dan merobohkan pilar-pilar korupsi yang menjadi penghambat utama lambatnya pembangunan ekonomi nan paripurna di Indonesia.

Korupsi yang telah terlalu lama menjadi wabah yang tidak pernah kunjung selesai, karena pembunuhan terhadap wabah tersebut tidak pernah tepat sasaran ibarat” yang sakit kepala, kok yang diobati tangan”. Pemberantasan korupsi, kolusi, dan nepotisme seakan hanya menjadi komoditas politik, bahan retorika ampuh menarik   simpati. Oleh sebab itu dibutuhkan kecerdasan masyarakat sipil untuk mengawasi dan membuat keputusan politik mencegah makin mewabahnya penyakit kotor korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN) di Indonesia. (*)

 

*Penulis adalah Pembimbing Kemasyarakatan Muda yang bertugas di Balai Pemasyarakatan Kelas I Yogyakarta.

58 / 100

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Powered by rasalogi.com