Bayangan Merah Diantara Kesenyapan -Misteri Bangku Mbah Kunto Bagian 12

Cerita Bersambung Oleh: Al Ghifari*

MALAM benar-benar terasa hening. Tak ada suara apapun. Bahkan, deru angin gunung yang semula tiada henti, mendadak lenyap. Nelson juga terlelap tanpa suara, seperti orang mati. Aku tak ingin lagi mereka-reka ada misteri apa lagi di gunung ini.

Meski aku sendiri belum sepenuhnya merasa tenang, namun dengan Nelson yang sudah terlelap, aku sedikit lega. Entah mengapa diantara kesunyian justru aku seperti melihat berbagai hal yang sebelumnya mungkin terlupa. Sudah barang tentu bukan karena aku mengidap penyakit yang membuat lupa ingatan.

Tak ada riwayat amnesia, demensia, dan alzheimer. Peristiwa-peristiwa dalam hidup yang kuanggap membuatku merasa sedih, sakit hati, dan dendam memang ingin aku lupakan. Dulu, suatu ketika aku memang pergi ke psikolog, ketika merasa depresi.

Waktu itu aku benar-benar ingin mengakhiri hidup, lantaran berbagai kegagalan dan apa yang ku harapkan justru pada kenyataannya menjadi sebaliknya. Aku dating ke psikolog karena aku tak puas setelah meminta nasihat para orang-orang bijak yang sepertinya dekat dengan tuhan. Itu pikirku.

Tapi semua nasihat dan anjurannya bukan solusi bagiku. Mereka hanya meminta ikhlas, sabar, dan berserah diri kepada Tuhan.

“Mas Jay, cobaan hidupmu memang tak ringan. Tapi jika Mas Jay berhasil melewatinya, maka Mas Jay akan menjadi orang yang hebat.” Itulah kata-kata yang bagiku sangat tidak jujur.

Kenapa tidak jujur? Ya, karena jelas itu sama saja gambling. Jika aku bisa melewati segala yang mereka sebut ujian berat, aku akan menjadi orang yang hebat. Tapi masalahnya, mereka tak mau terus terang mengatakan jika ternyata jika aku tidak bisa melewatinya adalah sesuatu yang wajar. Sebab, mereka mengakui cobaan hidupku begitu berat.

Aku percaya, Tuhan tidak akan memberikan cobaan diluar kemampuan hamba-Nya. Tapi aku tak begitu saja percaya tafsiran para orang-orang yang di mata kebanyakan orang dianggap “manusia suci” itu.

Nyatanya banyak orang yang bunuh diri karena tak kuat menanggung beban hidup. Ada orang yang mati karena tak mampu mengobati sakitnya. Mereka ditakdirkan seperti itu justru mungkin bukti maha pengasihnya Tuhan. Kalau masih diberi hidup, betapa lebih menderitanya lagi mereka dan orang-orang di sekelilingnya. Entahlah, hanya Tuhan yang tahu.

Mungkin untuk mereka gampang, karena hidup mereka sudah terpenuhi. Di dunia mereka sudah mendapatkan kemuliaan. Hidupnya juga sejahtera dan bahagia dengan berbagai fasilitas yang diberikan oleh umatnya.

Di mata masyarakat mereka dianggap berilmu sehingga menjadi rujukan, meski kata-kata andalan untuk memberikan solusi pada mereka yang dirundung susah hanya, “Sabarlah dan berserah dirilah pada Tuhan”.

Terkadang ketika memainkan logika para orang mulia itu memang mengena. Misalnya, ketika sekarang aku tengah susah dalam banyak hal, orang-orang yang dulu selalu ku bantu saat bermasalah, tak satupun yang membantu. Padahal, mereka sekarang nampak sudah berkecukupan, mampu dan mapan. Bahkan, banyak yang ketika ku hubungi justru memblokir nomorku. Ketika aku ceritakan hal itu kepada orang bijak, jawabannya sungguh masuk di akal.

“Kalau orang yang dahulu susah dan selalu merepotkan mas Jay sekarang sukses, mampu dan mapan, justru harus disyukuri. Bayangkan kalau mereka masih susah, betapa susahnya Mas Jay dengan kondisi yang sekarang ini membantu mereka. Saya tahu Mas Jay orangnya suka membantu dan tidak tegaan,” ucapnya.

“Itu justru bukti Tuhan maha adil. Kalau sekarang Mas Jay susah dan mereka menutup mata, mungkin Tuhan sedang menunjukkan betapa  mas Jay itu orang kuat dalam kondisi apapun dan tak ingin mengganggu mereka yang sudah lama susah dan tengah enak-enaknya menikmati keberhasilannya sekarang,” sambungnya.

Nampaknya kata-kata yang meluncur dari bibir orang yang konon berilmu itu memang begitu sejuk dan menyejukkan. Tapi kenyataan tak bisa dipungkiri. Betapa sedih dan dongkolnya hati ini. Itulah kenapa dulu aku sempat meragukan keberadaan Tuhan.

Semakin dalam merenungkan masa lalu, aku semakin tenggelam dalam kegelapan malam di gunung ini.

Tak setitikpun cahaya tersisa, karena lampu portable yang semula masih remang-remang menyinari tenda sudah padam karena baterainya habis. Aku tak lagi melihat wajah Nelson. Aku tak bisa melihat apa-apa selain hitam yang pekat.

Namun tiba-tiba, ketika aku mencoba menyalakan rokok dengan korek gas, aku melihat sekelebat cahaya merah menggumpal dari luar mengarah ke tenda. Itu seperti sinar infra merah, namun nyalanya begitu terang. Sinar itu menembus kain tenda dan  menusuk mataku. Reflek aku menutup mata dan sekejap kemudian aku benar-benar tak bisa bergerak. Aku seperti membeku dan tak bisa merasakan apapun. (bersambung)

 

 

 

 

51 / 100

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Powered by rasalogi.com