YOGYAKARTA – Undang-Undang (UU) RI No. 1/2023 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) dan UU RI Nomor. 22/2022 tentang Pemasyarakatan yang belum lama ini disahkan, telah merubah wajah hukum pidana dan pemasyarakatan di Indonesia. Peran Pembimbing Kemasyarakatan (PK) di Balai Pemasyarakatan (Bapas) menjadi titik sentral dalam kedua UU tersebut.
Wakil Menteri Hukum dan HAM (Wamenkumham), Prof. Dr. Edward Omar Sharif Hiariej mengungkapkan, meskipun pidana penjara masih menjadi pidana pokok didalam UU KUHP yang baru, namun bukan lagi menjadi yang utama.
Wamenkumham yang juga akrab disapa Prof Eddy Hiariej ini menjelaskan, KUHP yang baru berorientasi kepada keadilan korektif, keadilan restorative, dan keadilan rehabilitative. Pelaku tindak pidana, kata dia, tidak hanya mendapat koreksi dari negara dengan diberi sanksi, tetapi juga harus diperbaiki dan direhabilitasi.
“Nah, di sinilah yang disebut reintegrasi sosial, dimana Pembimbing Kemasyarakatan Bapas memegang peranan penting untuk melakukan pembimbingan , sehingga dia (terpidana) bisa diterima kembali, tidak mengulangi perbuatan pidananya dan bermanfaat bagi masyarakat. Demikian juga dengan korban tidak nya dipulihkan tapi juga diperbaiki. Ituah mengapa tugas Bapas itu menjadi Sentra dalam undang-undang ini,” ungkapnya saat menjadi keynote speaker dalam Konsultasi Teknik (Konstek) Nasional Peningkatan Kapasitas PK & APK dalam implementasi UU RI No. 1/2023 & UU RI No. 22/2022, Jumat (20/01/2023) di Aula Lapas Wirogunan, Kota Yogyakarta.
Dalam acara yang dilaksanakan Ikatan Pembimbing Kemasyarakatan Indonesia (Ipkemindo) Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) tersebut, Eddy Hiariej menyebutkan KUHP yang baru tidak lagi berorientasi pada keadilan retributive, yang menggunakan hukum pidana sebagai sarana “balas dendam”, sehingga pelaku pidana harus dimasukkan ke dalam dalam penjara.
Ia menjabarkan, KUHP baru mengedepankan reintegrasi sosial. Menurutnya terdapat alternatif modifikasi pidana, dimana jika pertama kalinya seseorang itu melakukan pidana dan vonis tidak lebih dari 5 tahun, maka hakim harus menjatuhkan pidana pengawasan. Apabila vonis pidananya tidak labih dari 3 tahun, maka hakim menjatuhkan pidana kerja sosial.
Eddy Hiariej menyebutkan, dalam pasal 53 juga dikatakan bahwa hakim wajib menerapkan menjatuhkan pidana yang lebih ringan dari penjara. Selain ada pidana pelapasan, kata dia, ada pidana kerja sosial dan pidana denda.
“Pengawasan itu tugasnya Bapas bukan Lapas (Lembaga Pemasyarakatan), juga pidana kerja sosial. Berarti UU no 22 tahun 2022 ini sejalan dengan UU nomor 1 tahun 2023, yang mana bertujuan antara lain adalah untuk mengurangi over kapasitas di dalam Lapas” jelasnya.
Dalam kesempatan tersebut Eddy Hiariej juga mengingatkan tugas terberat dari PK di Bapas ke depan setidaknya ada 3 hal. Pertama, kata dia, harus membimbing sedemikian rupa, supaya klien atau warga binaan kembali ke masyarakat. Kemudian, yang kedua adalah supaya klien tidak lagi mengulangi perbuatan pidananya.
“Yang ketiga, yang tidak kalah berat adalah setelah kembali dan diterima masyarakat, klien menjadi orang yang bermanfaat bagi masyarakat,” tandasnya.
Direktur Bimkernas dan Pengentasan Anak Ditjen Pemasyarakatan (Dir Bimkemas PA Dirjenpas), Pujo Harinto yang juga menjadi salah satu narasumber dalam Konstek Nasional tersebut menambahkan, KUHP yang baru mengakomodir restorative justice, dimana tidak semua berakhir di penjara.
“Prinsip ultimum premidium harus diutamakan, maka PK itu berperan sejak awal. Yang diutamakan adalah pemulihan bukan pemenjaraan. Harapannya kita sekarang sudah bersinergi dengan amanat undang-undang yang baru agar lebih efektif. Tujuan akhirnya salah satunya penjara tidak lagi over kapasitas,” tukasnya.
Pujo juga menekankan, karena amanhnya berubah, maka tugas semakin berat ke depan, sehingga perlu menyiapkan sarana dan prasarananya. Selain itu, kapasitas PK harus terus ditingkatkan, salah satunya dengan kegiatan Konstek Nasional. Ia mengapresiasi Divisi Pemasyarakatan (Divpas) Kantor Wilayah (Kanwil) Kemenkumham DIY dan Ipkemindo DIY yang telah melaksanakan Konstek Nasional.
“Konstek Nasional yang diselenggakan Divpas dan Ipkemindo Jogja (DIY) ini menjadi yang pertama. Luar biasa,” ucapnya.
Hal senada diungkapkan Kepala Divisi Pemasyarakatan (Kadivpas) Kanwil Kemenkumham DIY, Gusti Ayu Putu Suwardani. Ia menuturkan, Konstek Nasional adalah kegiatan pertama Ipkemindo DIY tahun 2023 yang patut diapresiasi.
“Yogyakarta yang pertama melaksanakan sosialisasi implementasi UU KUHP dan UU pemasyarakatan yang baru melalui kegiatan Konstek Nasional ini. Acara ini penting karena nantinya tugas dan fungsi atau peran PK ada di garda terdepan, sehingga ini yang harus dipersiapkan, khususnya di Jogja (DIY). Kita berharap Jogja bisa menjadi pilot project untuk diikuti daerah lain, dimana Lapas isinya di bawah kapasitas. Kita berharap ini bisa kita implementasikan secara bertahap,” harapnya.
Sementara itu, Ketua Ipkemindo DIY, Sri Hadiyanti mengatakan Konstek Nasional bertujuan untuk meningkatkan kapasitas PK yang menjadi garda terdepan pelaksanaan UU KUHP dan UU Pemasyarakatan yang baru.
“Harapannya setelah acara ini, kami para Pembimbing Kemasyarakatan semakin memahami implementasi dari KUHP dan Undang-Undang tentang Pemasyarakatan yang baru ini, karena PK memiliki peran penting sebagai garda terdepan dalam pelaksanaan kedua undang-undang ini,”harapnya.
Selain menghadirkan Wamenkumham dan Dir Bimkemas PA Dirjenpas, juga menghadirkan Ketua DPP Ipkemindo, Junaedi yang juga seorang Pembimbing Kemasyarakatan Ahli Utama sebagai narasumber.
Acara Konstek yang dibuka oleh Kepala Kanwil Kemenkumham DIY, Agung Reksono Seto ini diikuti oleh PK dan Asisten Pembimbing Kemasyarakatan (APK) yang bertugas di Bapas Kelas I Yogyakarta, Bapas Kelas II Wonosari, dan Bapas di wilayah Jawa Tengah. Acara yang dikemas secara hibryd atau perpaduan luring dan daring ini ini juga diikuti PK dan APK dari daerah lain di seluruh Indonesia. (rd1)
Redaktur: Ja’faruddin AS