Goresan Kisah Perempuan Difabel Tangguh di Balik Batik Samparan

Trimah saat membatik dengan kakinya.
Trimah pencipta batik samparan saat membatik dengan kakinya. Foto: Livi

ADALAH sebuah keniscayaan, jika garis nasib dan takdir setiap manusia berbeda. Ada yang terlahir dengan kesempurnaan fisik, akan tetapi juga ada yang kurang lengkap atau difabel. Sebagaimana galibnya manusia, semuanya memiliki cita dan asa untuk melakoni hidup yang terbaik. Meski ada yang terlahir sebagai difabel, tapi bukan berarti ia tidak memiliki karunia yang menjadikannya sebagai insan istimewa. Salah satu diantaranya adalah Trimah, Warga Jalan Gabus 8, Madangan, Minomartani, Sleman yang telah menunjukkan karya dan produktifitas luar biasa dengan menciptakan batik samparan.

Perempuan 32 tahun ini sejak lahir tidak memiliki tangan, sehingga dalam beraktifitas sehari-hari, ia hanya mengandalkan kedua kakinya. Namun, penyandang difabel tuba daksa ini memiliki keterampilan membatik dengan menggunakan kedua kakinya.

Trimah mengisahkan, meski tidak memiliki tubuh yang sempurna, ia bertekad untuk terus bekerja demi keluarganya. Terlebih, saat ini ia telah dikaruniai seorang anak laki-laki yang masih berusia 2,5 tahun. layaknya seorang ibu yang selalu menjadi pahlawan bagi sang anak.

Lantaran keterbatasan fisik dan jeratan ekonomi keluarga, selepas lulus Sekolah Menengah Atas (SMA) tahun 2010, ia sempat frustasi untuk mencari pekerjaan. Sebab, ia tidak menemukan perusahaan atau instansi yang memberi kesempatan bagi kalangan difabel untuk bekerja. Namun, Semangatnya tak begitu saja pupus. Keterbatasan fisik tak lantas menghalanginya untuk berdikari. Meski tidak diterima bekerja di perusahaan atau instansi, ia bertekad untuk berwirausaha.

Awalnya ia sempat menekuni keterampilan menjahit. Namun, pekerjaan itu dirasa tidak cocok. Hingga pada akhirnya, Trimah benar-benar menemukan bakat terpendamnya, yaitu membatik. Ia semakin bersemangat mengasah kemampuannya dalam membatik, setelah ibundanya mendukung.

“Karena tidak bisa bekerja di perusahaan-perusahaan. Jadi jalan satu-satunya ya dengan meningkatkan keterampilan mandiri seperti membatik ini,” tuturnya, belum lama ini.

Trimah memang dekat dan sangat menghormati sang Ibu. Menurutnya peran ibunya sangat besar untuk membantu menemukan dan membentuk mentalnya yang kuat dalam menjalani kehidupan. Trimah mulai menekuni membatik selepas lulus sekolah.

Tentu saja, awal-awal membatik, tidak mulus. Untuk membuat pola dengan cating di atas kain berlapis malam dengan kaki bukanlah hal yang mudah. Ia membutuhkan waktu satu bulan hanya untuk sebuah pola, padahal bagi pembatik lainnya yang punya kelengkapan fisik paling lama hanya sepekan.

Dimasa permulaan itu, hasil karyanya belum benar-benar bisa menopang ekonomi keluarga. Namun bersama suami dan anaknya, Trimah tetap berjuang. Proses memang tak pernah mengkhianati hasil. Hari demi hari, kemampuan membatiknya semakin meningkat. Jari kakinya semakin lihai dalam menggerakkan canting (alat khusus membatik) dari atas wajan kecil ke kain berlapis malam melukiskan motif batik yang indah. Sejak 2014 ia sudah memproduksi batik karyanya untuk dijual dan mulai diterima pasar.

Motif batik yang diciptakan Trimah lebih kepada kontemporer, seperti lukisan abstrak atau surealis dan bahkan tak beraturan. Namun justru pola tanpa mengacu pakem tertentu inilah yang membuat batik ciptaan Trimah menjadi khas. Batik yang dinamakan sebagai Batik Samparan inilah yang kemudian membawa Trimah kepada kesuksesan sebagai pembatik difabel.

“Boleh dikatakan ya saya menjadi satu-satunya pencetus Samparan di kota Yogyakarta,” ucap perempuan kelahiran kota Magelang, 15 April 1990 ini.

Trimah menjelaskan, ia menyebut batiknya sebagai batik samparan bukan karena asal menamai. Namun kata samparan yang merupakan Bahasa jawa halus (kromo inggil) ini memiliki makna filosofis.

“Samparan itu kan bahasa Jawanya disampar atau disingkirkan pakai kaki, nah itu menggambarkan seorang difabel yang notabene faktanya masih dipandang sebelah mata oleh sebagian besar masyarakat umum,” terangnya.

Namun demikian, Trimah berharap, batik samparan dikenal dan dibeli bukan karena dibuat oleh kaum difabel. Ia ingin menunjukkan karyanya memang benar-benar khas dan layak disejajarkan dengan batik-batik yang sudah memiliki nama besar di Yogyakarta, Solo dan Pekalongan.

“Bukan hanya soal penyandang difabelnya melainkan ada sebuah karya yang dihasilkan dari motif Samparan ini,” harapnya.

Batik Samparan bagi trimah juga menjadi persembahan untuk keluarga dan para penyandang difabilitas. Batik samparan juga diharapkan sebagai motifasi sekaligus inspirasi bagi kaum difabel agar tetap percaya diri dan tak pernah patah arang dalam meraih asa dan cita-citanya.

Trimah menyadari para orang tua difabel kebanyakan cukup kesulitan dalam memberikan fasilitas ataupun ruang perlindungan dalam menjalani roda kehidupan bagi anak-anaknya. Ia mendorong sahabat-sahabat sesama penyandang difabilitas untuk mengoptimalkan potensi diri dan memanfaatkan fasilitas yang ada semaksimal mungkin. Selain itu, ia juga meminta kepada pemerintah dan masyarakat agar tidak lagi memandang sebelah mata kalangan difabel

“Mohon kesetaraan terhadap kaum difabel harus dijaga dengan baik karena di balik itu semua ada hikmah yang mendalam,” pesan Trimah.

Jerih payahnya trimah dalam mengembangkan batik samparan membuahkan hasil yang manis. Batik karyanya banyak diminati masyarakat, bahkan dari kalangan pesohor dan pejabat pemerintahan. Setiap kali Trimah mengikuti pameran, selalu dibanjiri pengunjung yang penasaran dengan batik samparan.

Sudah barang tentu dengan kulitas eksklusif itu, harga batik samparan bersaing untuk kalangan menengah atas. Trimah membandrol harga Rp 800 ribu untuk tiap lembar kain batik produksinya yang berukuran sekitar 200×115 sentimeter.

Peminat batik samparan juga tak hanya di dalam negeri, namun juga ada yang dari luar negeri, diantaranya Jepang dan Jerman. Pembeli Luar negeri kebanyakan tahu batik samparan Trimah dari akun media sosialnya.

Kendati kini banyak pesanan, namun Trimah mengaku tidak bisa memenuhi semuanya. Sebab, ia hanya bisa memproduksi batik samparan dalam jumlah terbatas, karena terkendala waktu.

Selama ini Trimah paling banyak hanya mampu membuat enam lembar batik dalam sebulan, tapi tak jarang hanya dua lembar saja. Ia juga hanya membuat satu motif untuk dua hingga tiga lembar batik.

Ia bahkan sempat setahun total berhenti membatik karena kehadiran buah hatinya yang terlahir prematur dan bertepatan dengan awal pandemi Covid-19. Bagi Trimah yang penyayang anak sejak sebelum nenikah, putranya saat ini adalah prioritas untuk dirawat dan diperhatikan.

“Dulu waktu melahirkan kan kebetulan anak saya prematur, dan waktu itu masa-masa awal Covid, jadi saya total momong (merawat) anak,” kenangnya. (rd1)

Redaktur: Ja’faruddin AS

 

59 / 100

Respon (2)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Powered by rasalogi.com