SEBAGAI warga negara dan sebagai orang tua, tentunya kita menghendaki pendidikan yang layak, murah bahkan gratis, akan tetapi hal ini tentunya jauh dari harapan, dan hanya beberapa gelitir saja yang dapat merasakan pendidikan gratis melalui program-program pendidikan yang diluncurkan oleh pemerintah, seperti KIP, PIP, dan lain sebgainya.
Akan tetapi bagi mereka yang tidak mendapatkan program dan dengan situasi keuangan/pendapatan yang minim tentunya masih merasakan beratnya beban pendidikan untuk putra-putrinya, meskipun telah ada bantuan operasinal sekolah (BOS), namun kenyataannya orang tua masih mengeluarkan biaya tambahan yang lumayan menguras tenaga dan pikiran untuk memenuhinya.
Banyak cara dilakukan oleh penyelenggara pendidikan untuk menggali sumber dana dari para wali murid, dengan dalih tertentu melalui komite sekolah sebagai corongnya. Dari sumbangan komite, kenang-kenangan, dan sumbangan lainnya, hingga study tour dan program lainnya yang menjadi lahan empuk untuk mengumpulkan pundi-pundi oknum penyelenggara pendidikan dan minimalnya memberikan kesempatan berwisata para guru dengan gratis.
Bila dirasakan saat ini lembaga pendidikan telah berubah fungsinya menjadi perusahaan produksi dengan produknya berupa lulusan/siswa dengan dilengkapi ijasahnya, dan mengesampingkan tujuan dari pendidikan itu sendiri, dimana tujuan pendidikan dapat dipahami sebagai memanusiakan manusia.
Menyadari hal tersebut tentu perlu bersama-sama kita refleksi, apakah ini yang namanya mencerdaskan kehidupan bangsa ?, atau sebaliknya ini merupakan pembodohan mengatasnakan pendidikan ?. atau jangan-jangan pendidikan kita telah berubah menjadi kapitalis berbalut akademis ?.
Bila merujuk dalam pembukaan Undang-Undang Dasar Republik Indonesia 1945 yang sangat jelas dan terang, tertuang pada alinea terakhir yang menyatakan bahwa “…untuk membentuk suatu Pemerintah Negara Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia, dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia, yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial….”
Di sana sangat jelas tertulis “mencerdaskan kehidupan bangsa”, artinya Negara sangat paham dan mengerti bahwa pendidikan menjadi hal pokok dalam pembentukan suatu pemerintahan atau Negara, sehingga sudah sangat wajar jika Negara dalam hal ini pemerintah mengalokasikan dana pendidikan yang lumayan besar untuk terciptanya kecerdasan masyarakatnya.
Besaran anggaran pendidikan yang sudah ada tentunya akan dapat menjadikan pendidikan di bangsa ini menjadi lebih baik lagi, manakala anggaran tersebut tepat sasaran dan tidak habis hanya untuk anggaran belanja pegawainya saja. Secara umum pemerintah melalui APBN 2023 ini mengalokasikan anggaran pendidikan Rp. 612,2 triliun naik 5,8% dari anggaran tahun sebelumnya. Ini membuktikan bahwa pemerintah sangat peduli tentang laju dan berkembangnya sektor pendidikan.
Tulisan ini dibuat terdorong oleh situasi di lapangan yang menunjukkan sangat jauh antara cita-cita dengan realita. Diakui atau tidak masih banyak orang tua yang merasakan mahalnya biaya pendidikan, pemerintah telah mengalokasikan Bantuan Operasional Sekolah (BOS) dan Bantuan Operasional Penyelenggaraan (BOP).
Namun kenyataan di lapangan alih-alih menyatakan bahwa Bantuan Operasional Sekolah (BOS) yang minim dan dirasakan kurang, lembaga pendidikan melalui Komite Sekolah menetapkan sumbangan komite (atau apapun namanya) yang besarannya bisa mencapai jutaan bahkan puluhan juta rupiah setiap tahunnya.
Mirisnya para orang tua terobsesi dengan penggiringan opini “semakin mahal pendidikan maka pendidikan akan semakin berkualitas,” hal tersebut nampaknya menjadikan cuci otak bagi orang tua yang hendak menyekolahkan anak-anaknya, sehingga mereka secara tidak sadar meskipun beban semakin berat seakan-akan menyetujui perlakukan tersebut.
Fenomena tersebut dapat kita jumpai tidak hanya terjadi pada lembaga pendidikan swasta bahkan lembaga pendidikan negeripun ada yang dengan berani menerapkan pungutan-pungutan dengan dalih sumbangan pengembangan ataupun sebutan-sebutan lainnya. Miris memang, tapi itulah kenyataannya, lantas kapan kita bisa mengenyam pendidikan murah bahkan gratis di negeri ini ?(*)
*Penulis adalah Founder Rumah Baca Purnama, Anggota KAHMI Kabupaten Banjarnegara, Jawa Tengah
Betul pak. Tergantung bagaimana stakeholder di setiap sekolah mampu mengelola anggran pendidikan dengan musyawarah antara komite dan sekolah. Untuk sekarang dengan adanya kurikulum merdeka justru dapat menjembatani otonomi sekolah.
Mantap Pak Barakallah
Mantap Pak