Harta Bersama menurut Hukum Perkawinan di Indonesia

Oleh: Nelly Puspita Ayu*

Pembagian harta bersama kerap menjadi persoalan ketika perkawinan putus. Biasanya dalam setiap perkawinan masing-masing pihak dari suami atau istri mempunyai harta yang dibawa dan diperoleh sebelum mereka melakukan perkawinan. Setelahnya mereka mempunyai harta yang diperoleh selama perkawinan.

Suami-istri yang telah melakukan perkawinan ketika memperoleh harta disebut dengan harta bersama, kecuali harta yang diperoleh dari warisan atau hadiah/hibah khususnya dari orang tua.     Suami maupun istri mempunyai hak untuk mempergunakan harta bersama yang telah diperolehnya tersebut, selagi untuk kepentingan rumah tangganya tentunya dengan persetujuan kedua belah pihak.

Berbeda dengan harta bawaan yang keduanya mempunyai hak untuk mempergunakannya tanpa harus ada persetujuan dari keduanya atau masing-masing berhak menguasainya sepanjang para pihak tidak menentukan lain. Hal ini diatur dalam pasal 35. Apabila terjadi perceraian, maka harta bersama diselesaikan menurut Hukum Islam bagi suami istri yang beragama Islam dan menurut Kitab Undang-undang Hukum Perdata bagi suami istri non-Islam.

Secara etimologi harta artinya adalah  barang-barang seperti uang  yang menjadi kekayaan. Sedangkan secara terminology harta adalah sesuatu yang dapat dikuasai dan diambil manfaatnya secara lazim. Harta bersama yaitu harta yang dipergunakan (dimanfaatkan) bersama-sama, atau “Harta Gono Gini”. Pencaharian bersama suami istri atau yang kemudian disebut harta bersama atau harta gono gini ialah harta kekayaan yang dihasilkan bersama oleh suami istri selama mereka diikat oleh tali perkawinan. Hal ini diatur  dalam pasal 35 Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.

Sebenarnya istilah harta bersama berasal dari hukum adat yang pada pokoknya sama di seluruh wilayah Indonesia. Harta yang terdapat selama perkawinan menjadi harta bersama.      Penyebutan istilah harta bersama dalam keluarga atau gono-gini secara inplisit memang tidak dijumpai dalam al-Qur’an atau al-Hadits. Sebab istilah ini berasal dari hukum adat (‘urf) pada masyarakat yang mengenal pencampuran harta kekayaan dalam keluarga. Salah satunya adalah masyarakat Indonesia.

Berawal dari hukum adat inilah kemudian permasalahan harta bersama diadopsi di Indonesia menjadi hukum positif. Hal ini sebagai upaya unifikasi hukum untuk mengatasi konflik yang mungkin muncul di tengah masyarakat. Bisa jadi di negara lain, khususnya di negara-negara Islam atau yang mayoritas penduduknya beragama Islam selain Indonesia, tidak ditemukan model harta bersama dalam perkawinan.

Disebutkan dalam Pasal 1 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan bahwa “Perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dan seorang wanita sebagai suami istri, dengan tujuan untuk membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal, berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”. Dari pasal tersebut tersimpul adanya asas bahwa antara suami istri terdapat ikatan yang sangat erat, yang meliputi tidak hanya ikatan lahir tetapi meliputi ikatan jiwa, batin atau ikatan rohani. Menurut asasnya suami istri bersatu baik dalam segi material maupun dalam segi spiritual.

Tentng  harta benda dalam perkawinan, diatur dalam Pasal 35, 36 dan 37 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, yaitu: Pasal 35 bahwa 1) harta benda yang diperoleh selama perkawinan menjadi harta bersama; dan 2) harta bawaan masing-masing suami dan istri dan harta benda yang diperoleh masing-masing sebagai hadiah atau warisan adalah di bawah penguasaan masing-masing sepanjang para pihak tidak menentukan lain. Pasal 36: 1) mengenai harta bersama, suami istri dapat bertindak atas persetujuan kedua belah pihak; dan 2) mengenai harta bawaan masing-masing, suami dan istri mempunyai hak sepenuhnya untuk melakukan perbuatan hukum mengenai harta bendanya.

Dapat ditegaskan bahwa pada dasarnya dalam sebuah keluarga setidaknya terdapat dua jenis harta yaitu: Pertama, harta pribadi dan harta bawaan.  Termasuk kategori ini adalah harta yang telah dimiliki oleh suami atau istri sebelum mereka melangsungkan pernikahan dan harta yang diperoleh masing-masing suami istri sebagai hadiah, atau warisan. Secara hukum suami atau istri mempunyai otoritas penuh untukmenggunakannya tanpa harus ada persetujuan pihak lain dalam penggunaannya (pasal 36 ayat 2), boleh juga harta bawaan dari masing-masing suami istri digabungkan menjadi harta bersama atau harta perkawinan (pasal 35 ayat 2).

Kedua, harta bersama atau harta gono gini. Termasuk dalam kategori ini adalah harta yang diperoleh suami istri sepanjang keduanya terikat oleh perkawinan, baik yang mengusahakan harta tersebut hanya suami saja, istri saja atau diusahakan oleh keduanya. Ketentuan di atas tidak menyebutkan dari mana dan dari siapa harta tersebut berasal. Penggunaan harta bersama harus ada persetujuan antara kedua belah pihak suami dan istri. Selanjutnya dalam pasal 37 di sebutkan bahwa: “apabila perkawinan putus karena perceraian, harta bersama diatur menurut hukumnya masing-masing”. Maksud hukumnya masing-masing adalah hukum agama, hukum adat atau hukum-hukum yang lain.

Harta kekayaan dalam perkawinan diatur dalam Kompilasi Hukum Islam, Bab XIII Pasal 85, 86, 87, 88, 89, 90, 91, 92, 93, 94, 95, 96 dan 97 tentang Harta Kekayaan dalam Perkawinan.      Pasal 85 menyebutkan bahwa “Adanya harta bersama dalam perkawinan itu tidak menutup kemungkinan adanya harta milik masing- masing suami atau istri. Pasal 86 (1) menyatakan bahwa pada dasarnya tidak ada percampuran antara harta suami dan harta istri karena perkawinan, sementara pasal 86 (2) mengatur bahwa harta istri tetap menjadi hak istri dan dikuasai sepenuhnya olehnya, demikian juga harta suami tetap menjadi hak suami dan dikuasai sepenuhnya olehnya. Pasal 87 (1) mengatur bahwa harta bawaan dari masing-masing suami atau istri dan harta yang diperoleh masing-masing sebagai hadiah atau warisan adalah dibawah penguasaan masing-masing sepanjang para pihak tidak menentukan lain dalam perjanjian perkawinan.

Sedangkan pasal 87 (2) menyatakan bahwa suami dan istri mempunyai hak sepenuhnya untuk melakukan perbuatan hukum atas harta masing-masing berupa hibah, hadiah, sadaqah atau lainnya. Pasal 88 menjelaskan bahwa apabila terjadi perselisihan antara suami istri tentang harta bersama, maka penyelesaian perselisihan itu diajukan kepada Pengadilan Agama. Pasal 89 menyatakan bahwa suami bertanggung jawab menjaga harta bersama, harta istri maupun hartanya sendiri, sementara Pasal 90 menyatakan bahwa istri turut bertaggung jawab menjaga herta bersama, maupun harta suami yang ada padanya.

Pasal 91 terdiri dari empat ayat: (1) harta bersama sebagaimana tersebut dalam pasal 85 di atas dapat berupa benda berwujud atau benda tidak berwujud, (2) harta bersama yang berwujud dapat meliputi benda tidak bergerak, benda bergerak dan surat-surat berharga, (3) harta bersama yang tidak berwujud dapat berupa hak dan kewajiban, dan (4) harta bersama dapat dijadikan sebagai barang jaminan oleh salah satu pihak atas penunjukan pihak lain. Pasal 92 menyatakan bahwa suami istri tanpa persetujuan pihak lain tidak di perbolehkan menjual atau memindahkan harta bersama.

Pasal 93 terdiri dari 4 ayat: (1) pertanggung jawaban hutang suami atau istri dibebankan kepada hartanya masing-masing; (2) pertanggungjawaban terhadap hutang yang dilakukan untuk kepentingan keluarga, dibebankan kepada harta bersama, (3) bila harta bersama tidak mencukupi, dibebankan kepada harta suami, (4) bila harta suami tidak ada atau tidak mencukupi maka dibebankan kepada harta istri.

Pasal 94 terdiri ari 2 ayat: (1) harta bersama perkawinan seorang suami yang mempunyai istri lebih dari seorang masing-masing terpisah dan berdiri sendiri; (2) pemilikan harta bersama dari perkawinan seorang suami yang mempunyai istri lebih dari seorang sebagaimana tersebut dalam ayat (1), dihitung pada saat berlangsungnya akad perkawinan yang kedua, ketiga atau yang keempat.

Pasal 95 terdiri dari 2 ayat: (1) dengan tidak mengurangi ketentuan pasal 24 ayat 2 huruf c Peraturan Pemerintah No. 9 Tahun 1975 dan Pasal 136 ayat (2), suami atau sitri dapat meminta Pengadilan Agama untuk meletakkan sita jaminan atas harta bersama tanpa adanya permohonan gugatan cerai, apabila salah satu melakukan perbuatan yang merugikan dan membahayakan harta bersama seperti judi, mabuk, boros dan sebagainya. (2) selama masa sita dapat dilakukan penjualan atas harta bersama untuk kepentingan keluarga dengan izin Pengadilan Agama.

Pasal 96 terdiri dari 2 ayat: (1) apabila terjadi cerai mati, maka separoh harta bersama menjadi hak pasangan yang hidup lebih lama; (2) pembagian harta bersama bagi seorang suami atau istri yang istri atau suaminya hilang harus di tangguhkan sampai adanya kepastian matinya yang hakiki atau matinya secara hukum atas dasar putusan Pengadilan Agama. Pasal 97 mengatur bahwa janda atau duda cerai hidup masing-masing berhak seperdua dari harta bersama sepanjang tidak ditentukan lain dalam perjanjian perkawinan.

Sebenarnya dalam hukum Islam tidak disebutkan secara spesifik tentang istilah harta bersama (gono-gini) dalam keluarga. Namun kemudian para pakar hukum Islam di Indonesia menganalogikan harta bersama kepada syirkah. Jika terjadi sengketa dalam pembagian harta bersama hukum Islam menawarkan solusi perdamaian dan musyawarah kekeluargaan untuk mencari jalan keluar yang saling menguntungkan dan penuh keridhaan, sedangkan dalam perundang-undangan yang berlaku di Indonesia, harta bersama dibagi dua antara suami dan istri pasca perceraian.

(*)

*Nelly Puspita Ayu adalah Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Pancasakti Tegal

44 / 100

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Powered by rasalogi.com