Baru-baru ini, masyarakat Indonesia cukup dikejutkan dengan kebijakan Tapera menjelang akhir Pemerintahan Jokowi. Tapera merupakan singkatan dari Tabungan Perumahan Rakyat. Kebijakan yaitu penyediaan perumahan yang dijalankan pemerintah yang juga merupakan lanjutan dari program Bapertarum (Badan Pertimbangan Tabungan Perumahan bagi Pegawai Negeri Sipil).
Skema Tapera adalah penyimpanan yang dilakukan oleh peserta secara periodik dalam jangka waktu tertentu yang hanya dapat dimanfaatkan untuk pembiayaan perumahan dan/atau dikembalikan berikut hasil pemupukannya setelah kepesertaan berakhir. Tapera dimaksudkan untuk:
- Kredit Renovasi Rumah (KRR) yaitu untuk memperbaiki rumah pertama.
- Kredit Bangun Rumah (KBR) yaitu untuk memiliki rumah pertama.
- Kredit Pemilikan Rumah (KPR) yaitu dengan tenor panjang hingga 30 tahun dan suku bunga tetap di bawah suku bunga pasar.
Sekilas kebijakan Tapera baik untuk rakyat agar memiliki rumah yang layak. Namun Tapera justru menimbulkan kontroversi di kalangan politisi, aktivis, kritikus, akadimisi, maupun masyarakat pada umumnya. Mengapa kontroversi? Karena kebijakan Tapera dipaksanakan yang justru berpontensi melanggar hukum bahkan Hak Asasi Manusia (HAM).
Tapera, sebuah program yang memaksa pekerja untuk menabung sebesar 3 persen dari gaji, upah, atau pendapatan, bisa melanggar HAM. Disebutkan dalam Pasal 28H Undang-Undang Dasar Negara Republik IndonesiaTahun 1945 bahwa setiap orang mempunyai hak untuk hidup sejahtera, mempunyai tempat tinggal, dan memperoleh pelayanan kesehatan, serta mendapat Jaminan Sosial. Mestinya sudah menjadi tanggung jawab pemerintah untuk mengupayakan seluruh warga memiliki tempat tinggal, bukan dengan memaksa masyarakat memotong gajinya untuk menabung.
Kebijakan kewajiban Tapera akan berdampak signifikan terhadap masyarakat. Tapera dapat menekan psikologis dan emosional masyarakat. Sebab, dengan “dipaksa” memotong penghasilannya 3 persen, secara psikologis akan merasakan kerugian materi yang sukup signifikan.
Pemerintah perlu membatalkan program Tapera. Adalah hak setiap warga negara memiliki tempat tinggal karena dijamin Konstitusi, bukan dengan cara memotong penghasilan masyarakat, apalagi di saat situasi ekonomi yang semakin sulit. Sebaliknya, yang dibutuhkan masyarakat adalah tambahan pendapatan, bukan malah dipotong.
Jadi sekali lagi, Tapera merupakan sebuah kebijakan yang berpotensi HAM. Sebaiknya pemerintah membatalkan kebijakan Tapera. Menyediakan tempat tinggal warga, bukan dengan cara memotong penghasilan.
*Dikutip dari berbagai sumber.
*Tri Agung Saputra adalah Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Pancasakti Tegal.