Ilustrasi makan bergizi gratis
JOGJAKARTANEWS.COM, Yogyakarta – Rangkaian kasus keracunan massal yang menimpa peserta program Makan Bergizi Gratis (MBG) di sejumlah daerah menguak sisi lain dari ambisi besar pemerintah menyediakan makanan untuk anak sekolah. Pusat Kedokteran Tropis (PKT) Universitas Gadjah Mada (UGM) menilai, pola produksi yang berlebihan dan lemahnya pengawasan lapangan menjadi titik rawan yang menjelma bumerang bagi program unggulan Presiden Prabowo Subianto itu.
Direktur PKT UGM, Dr. dr. Citra Indriani, MPH, menyebut pelaksanaan MBG melalui Satuan Pelayanan Pemenuhan Gizi (SPPG) telah menembus batas kapasitas aman produksi pangan. “Skala produksi harian sangat besar, bahkan setara atau melebihi katering industri. Dalam situasi seperti ini, setiap celah kecil dalam proses bisa berakibat fatal,” ujarnya, Senin (6/10).
PKT UGM menemukan sejumlah kejanggalan dari hasil investigasi di lapangan. Prinsip Hazard Analysis and Critical Control Points (HACCP) — standar internasional keamanan pangan — belum diterapkan secara memadai. Pengawasan minim, pengetahuan pelaksana terbatas, dan pengelolaan waktu distribusi kerap tidak terkendali.
“Durasi antara memasak hingga makanan dikonsumsi sering lebih dari empat jam. Beberapa menu kurang matang, sementara penyimpanan dan pengemasan ulang dilakukan tanpa pemanasan,” kata Citra. “Kondisi seperti ini sangat ideal bagi pertumbuhan bakteri penyebab keracunan.”
Dalam laporan PKT UGM, sistem produksi massal SPPG disebut “melampaui nalar kapasitas pengawasan”. Proses penyediaan bahan baku hingga distribusi ke sekolah berjalan cepat, tapi tak diimbangi manajemen risiko yang memadai. “Ada kesenjangan besar antara niat mulia program dan kesiapan teknis di lapangan,” ujar Citra.
PKT merekomendasikan evaluasi total pada struktur pengelolaan MBG. Mulai dari standarisasi fasilitas dan kapasitas dapur produksi, asesmen kelayakan massal, hingga penerapan SOP berbasis HACCP di setiap tahap. Setiap petugas juga disarankan memiliki Sertifikat Laik Higiene Sanitasi (SLHS) dan pelatihan keamanan pangan yang berkelanjutan.
PKT menegaskan, pengawasan lintas sektor tak bisa lagi bersifat administratif. Kontrol harus berbasis risiko dan dilakukan periodik, dengan keterlibatan dinas kesehatan, pendidikan, hingga pemerintah daerah.
“Program bergizi tak boleh berujung bencana. Kolaborasi semua pihak menjadi kunci agar anak-anak memperoleh manfaat gizi tanpa menjadi korban kelalaian sistem,” tutur Citra.
Lonjakan kasus keracunan MBG, bagi UGM, adalah peringatan dini. Tanpa koreksi menyeluruh, program yang seharusnya menyehatkan justru bisa berubah menjadi proyek berisiko tinggi — mengancam kepercayaan publik dan keselamatan generasi muda.
FULL