Sayuti Asyathri Kritik Penceramah Penyebar Pesimisme dalam Berbangsa

JAKARTA – Salah satu tokoh pendiri Partai Amanat Nasional (PAN), Sayuti Asyathri menilai ada peran yang sangat besar kaum penceramah yang bukan pejuang dalam melanggengkan problematika kebangsaan yang dihadapi saat ini.

Menurut mantan Ketua Partai Demokrasi Kebangsaan (PDK) ini, ada perbedaan mendasar antara cendekiawan (intelektual) dengan pengamat atau antara pejuang dan penceramah yang bukan pejuang.

“Para cendekiawan dan pejuang selalu memulai dengan kegelisahan atas masalah yang dihadapi, selalu bertanya bagaimana agar masalah yang dihadapi bisa dipecahkan. Sedangkan penceramah justru sebaliknya, kebahagiaannya cukup hanya menyampaikan masalah dan membebani orang dengan masalah. Ia selalu menggambarkan betapa besarnya masalah dan betapa terbatasnya kemampuan kita dalam mengatasi masalah. Akhirnya, tidak ada upaya sedikitpun untuk mencari jalan keluar,” tutur Sayuti kepada jogjakartanews.com di Jakarta, Jumat (01/08/2014).

Mantan wakil ketua komisi II DPR RI periode 2004-2009 ini menjelaskan, cinta pada kemanusiaan membuat cendekiawan dan pejuang selalu merasa tersayat dan merintih, terhuyung dan diguncang kegelisahan melihat kenyataan rakyat yang penuh kegetiran.

“Maka mereka selalu bertanya dan menggugat diri sendiri maupun kekuasaan, bagaimana agar masalah dan bencana itu bisa diatasi, kenapa tidak segera diatasi, dan berapa besar pengorbanan yang harus diberikan untuk mengatasinya. Mereka dengan bangga serta sungguh-sungguh akan menempuh berbagai jalan yang berbahaya atau penuh resiko untuk cita-cita dan cinta mereka,” tukas mantan Wakil Ketua Umum Korps Alumni Himpunan Mahasiswa Islam (KAHMI) Jaya periode 1993-1997.

Sementara penceramah bukan pejuang, kata Sayuti, bahkan terkadang yang digambarkan hanya pesimisme.

“Selalu bahwa memang manusia sudah begitu, memang sejak dulu sudah begitu, makanya cukup dengan jaga hati kita, bersihkan hati kita, karena masalah tidak akan bisa diatasi, sembari melengkapi penjelasan dan apologi mereka dengan ayat dan dalil, sembari melengkapi penjelasan dan apologi mereka dengan ayat dan dalil yang berujung pada pesimisme dan ketidakpastian,” ungkap mantan wakil Sekjen ILUNI UI 2000-2004.

Ironisnya, kata dia, semakin tidak ada jalan keluar, semakin besar berita-berita tentang ancaman dari sini dan situ, dari ini dan itu, justeru seolah membuat semakin tinggi ilmu si penceramah di mata pendengarnya.

Bahkan, imbuh Sayuti, apa yang disampaikan penceramah terkadang hanya untuk menyenangkan atau membela pemimpin yang senang dengan tiadanya prestasi dan inovasi, menyenangkan pemimpin yang senang dengan tidak adanya solusi dan implementasi, pemimpin yang terbuai dengan stablitas dalam kemunduran.

“Peranan kaum penceramah bukan pejuang ini sangat besar dalam menyumbangkan keadaan tidak terselesaikannya masalah kebangsaan yang kita hadapi. Karena bagi para penindas mereka adalah pilihan terbaik untuk melanggengkan kebuntuan dan kejumudan. Melanggengkan keraguan dan ketidakpastian,” tukas alumni LEMHANNAS KSA X, 2002.

Lebih lanjut dipaparkan Sayuti, model berpikir seperti penceramah bukan pejuang ini, menyebabkan semua landasan teori dan keilmuan akan berada dalam pangakuan ketidakjelasan dan ketidakpastian. Masa depan peradaban dan ilmu pengetahuanpun kehilangan jati dirinya yang sejati, yakni fungsi kemanusiaan dan pengabdian.

“Maka marilah kita mulai hari hari sesudah Ramadhan ini dengan membuat peta permasalahan yang dihadapi bangsa ini secara jelas, dan sekaligus kita dengan bangga bisa katakan bahwa tidak perlu kawatir atas besarnya masalah yang dihadapi, karena kita juga punya berbagai alternatif jalan keluar untuk itu. Semoga,” pungkasnya. (ded)

Redaktur: Rudi F

 

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Powered by rasalogi.com