Menuju Indonesia Bermartabat dengan Rekonsiliasi Batin

SELAIN dikenal sebagai Negara terbesar dan berpenduduk Terbanyak di Asia Tenggara, Indonesia juga dikenal dengan keramahan Masyarakatnya yang sangat santun. Keberadaan Indonesia di tingkat Asia bahkan Dunia, menjadikan Indonesia memiliki nilai tersendiri dalam kancah perpolitikan Dunia.

Mengapa tidak? Indonesia yang sangat majemuk dengan dinamika tapal batas wilayah cenderung selesai dengan Mediasi dan Diplomasi. Bahkan “Klaim” wilayah Indonesia oleh beberapa Negera Tetangga selalu ditanggapi dengan santun oleh Negara Pancasila ini.

Sila kedua yakni “Kemanusiaan yang adil dan Beradab”, menyimpan sebuah nilai kesantunan yang sangat tinggi serta membuat Indonesia terus kokoh dalam berdaulat ditengah kemajemukan yang sangat besar tidak hanya sesama masyarakat Indonesia namun juga dengan masyarakat Internasional. Pendidikan toleransi dan tenggang rasa Warga Indonesia menjadi identitas khas Bangsa Indonesia sejak sebelum merdeka sampai pasca kemerdekaan.

Menelisik Perjalanan Indonesia paska kemerdekaan. Berbagai konflik etnik, daerah dan lainnya di Indonesia seperti Aceh, Poso dan Papua hampir seluruh konflik tersebut di Indonesia selesai dengan diplomasi dan komunikasi. Meski menyimpan sedikit sisa konflik, diyakini kedepan semua dapat terselesaikan dengan komunikasi selanjutnya.

69 tahun kemerdekaan Indonesia, dapat kita lihat bersama bahwa kesantunan dan toleransi dalam berbhineka kini bukan semakin dewasa, namun luntur oleh masa atau sebaliknya. Penghargaan antar etnik dan realigien nampaknya semakin “kanak kanak” dan sangat tidak bertoleransi. Salah satu kalimat yang dikutip secara general dari Mantan presiden ketiga Indonesia, BJ Habibie ” Nampaknya pasca Reformasi, Pancasila tidak lagi menjadi bagian dari Indonesia. Padahal dalam kesadaran Pancasila telah mengikat kita semua dalam satu kepentingan yang besar ditengah kemajemukan dan perbedaan…”.

Paparan tersebut menyisakan wacana bahwa Indonesia tampaknya mulai terkikis atas karakter oleh arus Global yang sangat kuat. Pasca saat demikian pun, nilai toleransi dalam berkehidupan di Indonesia menjadi sangat kerdil. Perlu ditegaskan bahwa karakter ini bukan warisan namun pergesaran atas nilai Keindonesiaan yang memudar.

Menuju kepemimpinan Indonesia baru dengan Presiden baru, Wakil Presiden baru, Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia, Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia dan tentunya Kabinet Baru Indonesia menyisakan tugas atas harapan berbangsa dan bernegara secara ideal dengan nilai keIndonesian yang kuat.

Pergeseran nilai yang terjadi atas pendidikan Fragmatis yang lahir “entah darimana” menjadikan warisan masa depan jika hari ini tidak dapat di benahi secara berkala sejak hari ini. Pendidikan budi pekerti dan pancasila di Indonesia seharusnya menjadi prioritas anak Bangsa. Sebaliknya, saat ini tuntutan yang tidak subtantif atas pendidikan Indonesia membuat Indonesia bergeser dari nilai bhineka ke nilai yang bersifat individualistik.

Dalam menuju Indonesia yang bermarthabat, tentunya kepentingan general haruslah menjadi prioritas dalam berbangsa. Hendaknya kepentingan kelompok dan lainnya seperti partai dan organisasi, menjadi urutan kesekian setelah prioritas kepentingan rakyat yang general utnuk diselesaikan. Bukankah setiap organisasi dan partai berperan mendistribusikan kader terbaiknya untuk bangsa ini!

Budaya politik Indonesia yang telah bergeser dari kesantunan menjadi ketidaksantunan diyakini dapat diubah kembali. Karakter toleransi yang masih tersisa, kiranya dapat menjadi langkah awal dalam membangun Indonesia yang bermathabat. Kedepan Indonesia tentu akan dapat menjadi Negara percontohan dalam berkarakter, hal ini terlatih dari pendidikan budaya ditengah etnik yang beragam yang ada di Indonesia.

Indonesia semestinya menjadi Negara percontohan toleransi bagi Dunia masa depan. Dibutuhkan komitmen yang kuat yang didasari keinginan membangun ummat secara general oleh para pemimpin kedepan. Perbedaan yang ada di Indonesia seperti perbedaan agama dan etnik hendaknya menjadi persatuan yang didasari toleransi dalam bernegara tanpa diskriminai yang berujung pada anarki.

Intoleransi di Indonesia sesuangguhnya menciptakan budaya baru dan karakter baru yakni ekstrimis. Hal ini tentunya akan merusak tatanan bernegara dan menuju Indonesia yang hanya akan “tinggal nama”. Demokrasi yang dianggap titipan asing akan menjadi ruang yang sangat “aman” bagi tumbuhnya ekstrimis di Indonesia. Tentu ini bukan cita cita bangsa Indonesia.

Rekonsiliaisi Bathin sebagai ruang kompromi demi kepentingan general dapat menjadi “dalang” pemersatu bangsa yang telah tercerai oleh arus global. Globalisasi tentunya diharapkan menjadikan Indonesia terus bersemangat menjaga Identitas keIndonesian demi bangunnya Indonesia yang bermarthabat. Dengan demikian Indonesia kedepan akan lebih cepat tumbuh dan menjadi Negara Maju pada masa mendatang.

Keprihatinan haruslah tumpuh dari kalangan para pemimpin Indonesia dengan melihat Indonesia masa lalu dan masa kini. Kelumpuhan budaya yang terus merasuk dalam diri anak bangsa menjadikan Indonesia kehilangan identitas bangsa. Realita bahwa sangat sedikit anak bangsa yang kini mengenal “apa pancasila dan ada berapa serta apa-apa saja isinya”.

Oleh beberapa riset di tahun lalupun, disebutkan bahwa sangat sedikit putra putri Indonesia yang paham akan pancasila. Sebagai Negara berkembang, saat inilah Indonesia sebagai Negara berpenduduk terbesar di Asia Tenggara “berlari kencang” dalam membangun Bangsa. Kepemimpinan Presiden Terpilih nanti diharapkan mampu memajukan Bangsa yang beridentitas dan toleransi meskipun keduanya merupakan 2 hal yang “membelakangi”.

Rekonsiliasi bathin merupakan langkah awal yang berniat membangun Negeri Garuda ini ditengah-tengah cita cita revolusi mental Anak Bangsa oleh Presiden terpilih saat ini.(*)

Penulis: Ichsan, Wakil Sekretaris Jendral PBHMI Bidang Otonomi daerah dan Ketahanan Nasional 2013-2015

 

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Powered by rasalogi.com