Gunakan Referensi Kasus SDA Dalam Kasus KONI Jogja, Hakim Nilai JPU Kurang Etis

YOGYAKARTA – Sidang lanjutan kasus dugaan korupsi dana hibah KONI Kota Jogja tahun 2013, kembali digelar di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Yogyakarta, Kamis (24/03/2014). Dalam sidang dengan agenda tanggapan Jaksa Penuntut Umum (JPU) atas nota keberatan Terdakwa, Ketua Majelis Hakim, Barita Saragih SH sempat menegur JPU. Pasalnya, JPU menggunakan referensi kasus dugaan Korupsi Mantan Menteri Agama (Menag), Surya Dharma Ali (SDA) sebagai bahan bantahan atas nota keberatan terdakwa.

“Kasus Pak Surya Dharma Ali kan belum inkracht (berkekuatan hukum tetap, meski (sidang) masih berjalan. Jadi sebaiknya jangan dijadikan referensi. Itu kurang etis, baik secara hukum dan ilmiah. Kalau mau referensi terkait penghitungan kerugian Negara sebaiknya yang sudah inkracht,” tegur hakim yang dikenal tegas dalam memberi keputusan berdasarkan kebenaran hakiki ini.

JPU menggunakan referensi kasus dugaan korupsi mantan Menag era Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) terkait Panitia Penyelenggara Ibadah Haji (PPIH) Arab Saudi, dengan alasan karena dalam kasus tersebut, jaksa penyidik bisa menghitung kerugian Negara sendiri.

Selain itu, hakim juga mengkritisi tanggapan JPU terkait kesalahan redaksional. Diantaranya menyebutkan terdakwa sebagai tersangka. Selain itu, menyebutkan akronim yang salah ‘PDM’, karena yang benar ‘PDS’. Atas kesalahan tersebut, majelis hakim meminta jaksa meralat dan membubuhkan paraf pada lembar tanggapan atas nota keberatan terdakwa yang diberikan kepada majelis hakim, terdakwa, dan kuasa hukumnya, Hartanto, SH. M.Hum.

Dalam tanggapannya,  JPU juga membantah dakwaannya cacat formal atau mengandung kekeliruan beracara (error in procedure). JPU menegaskan telah membuat nota dakwaan secara cermat, jelas, dan lengkap dengan mengacu pada pasal 143 ayat (2) KUHAP tentang surat dakwaan dan pasal 156 ayat (1) KUHAP terkait surat dakwaan yang batal demi hukum.

“Sehingga apa yang disampaikan terdakwa dalam nota keberatan, tidak  perlu diranggapi,” ujar JPU Dwi Nurhatni.

Dalam simpulannya, JPU meminta majelis hakim menolak nota krberatan terdakwa.

Di akhir pembacaan tanggapan JPU, kuasa hukum terdakwa Sukamto, Hartanto, menyerahkan bukti-bukti penguat nota keberatan yang dibacakan sebelumnya. Diantaranya surat-surat panggilan kejaksaan negeri (Kejari) sejak Sukamto menjadi tersangka hingga menjadi terdakwa, dimana terdapat banyak kekeliruan di dalamnya. Bukti tersebut diterima majelis hakim.

Majelis hakim juga menanyakan apakah permintaan kuasa hukum agar hak-hak terdakwa bisa dipenuhi oleh JPU.

“Jadi apakah permintaan kuasa hukum agar terdakwa dipenuhi hak-haknya dapat dipenuhi oleh Jaksa?” Tanya Hakim Barita kepada JPU.

“Ya Kami menyanggupi yang mulia,” jawab JPU Dwi Nurhatni di muka persidangan.

Sebelum menutup sidang, ketua majelis hakim menjadwalkan akan memberikan putusan sela pada sidang selanjutnya yang akan kembali digelar sepekan ke depan.

Sekadar mengingatkan, sebelumnya JPU mendakwa, Sukamto melakukan tindak pidana korupsi dengan modus membuat proposal dana hibah dengan nilai Rp 900 juta. Namun dakwaan JPU tidak didasari dengan bukti hasil audit investigasi lembaga yang berwenang menghitung kerugian Negara yaitu BPKP atau BPK, sebagaimana disebutkan dalam nota keberatan terdakwa.(kt1)

Redaktur: Agung

 

 

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Powered by rasalogi.com