Pemerintah Diminta Libatkan Organisasi Penyandang Disabilitas dalam Pengambilan Kebijakan Pembangunan

YOGYAKARTA – Koalisi Disabilitas Untuk Pembangunan Inklusif yaitu Organisasi Harapan Nusantara (OHANA) Indonesia dan Himpunan Wanita Disabilitas Indonesia (HWDI), menilai pemerintah pusat maupun pemerintah daerah belum memiliki inisiatif untuk melibatkan Organisasi Penyandang Disabilita (OPD) dalam perencanaan, pelaksanaan, pemantauan dan evaluasi atas program-program pembangunan.

Pendiri dan Senior Adviser Disabilitas OHANA Indonesia, Risnawati Utami mengatakan Perpres No. 59 Tahun 2017 Pasal 3 tidak menyebutkan secara spesifik keterlibatan serta pelibatan penyandang disabilitas dan OPD oleh pemerintah maupun pemerintah daerah. Sedangkan menurutnya, klausul keterlibatan dan pelibatan penyandang disabilitas dan OPD dalam suatu kebijakan, terlebih kebijakan yang menjadi dasar pembangunan sangat penting karena beberapa hal,

“Seperti jumlah penyandang disabilitas yang cenderung meningkat, karena berbagai faktor seperti kecelakaan, sakit, bencana alam dan akibat-akibat lainnya,” katanya dalam konferensi Pers dan Buka Bersama di Hotel East Parc Yogyakarta, Rabu 15/05/2019 petang.

Risnawati  mengungkapkan, jumlah OPD yang cukup besar.  OHANA yang merupakan Anggota Kelompok Kerja Goal 10 dan 11 dan HWDI  sebagai Anggota Kelompok Kerja Goal 5, belum cukup dikatakan sebagai representasi dari OPD di Indonesia. Sebab, tercatat ada  200 OPD pada tahun 2006 dan mengalami perkembangan yang cukup signifikan di berbagai daerah. Data penyandang disabilitas di Indonesia. Susenas 2018 : 12 persen. Riskesdas 2018 (Riset kesehatan dasar) : 22 persen (Data di terbaru di TNP2K Disabilitas 2018). Berarti dari total 265 juta jiwa (Data Bappenas 2018), ada 58,3 juta jiwa penduduk Indonesia yang merupakan penyandang disabilitas. 

Ia menjelaskan, Potensi diri yang beranekaragam berdasar pada bakat dan kemampuannya masing-masing, kata dia, sesungguhnya sebagai investasi dalam pembangunan nasional.  Menurutnya, perinsip dasar dalam pembangunan inklusi disabilitas adalah berbasis pada pelaksanaan CRPD, sebagai pedoman dasar untuk menjunjung tinggi hak-hak kemanusiaan penyandang disabilitas. Prinsip dasar tersebut menurutnya diejawantahkan dengan membentuk kebijakan afirmatif, menyediakan akomodasi yang layak sebagai dukungan personal penyandang disabilitas dan melibatkan secara partisipasi aktif terhadap penyandang disabilitas ditiap-tiap proses pembangunan nasional dan daerah,

“UU No. 19 Tahun 2011 Tentang Ratifikasi CRPD yaitu perjanjian HAM internasional yang mendukung dan memastikan terjaminnya penghormatan, perlindungan dan pemenuhan hak-hak penyandang disabilitas dalam pembangunan di segala bidang, UUD 1945 Amandemen dan UU No. 8 Tahun 2016 merupakan dasar kebijakan dalam melaksanakan pembangunan inklusif disabilitas,” katanya dalam kegiatan bertajuk “Jalan Terjal Pembangunan Inklusif: Ubah Paradigma Lama!” tersebut.

Ditandaskannya, equality atau prinsip kesetaraan yang hakikatnya dikehendaki oleh tiap-tiap individu (termasuk penyandang disabilitas) dan wajib dipenuhi oleh pemegang kekuasaan untuk mewujudkan kesetaraan tersebut. Equity atau  perinsip keadilan yang wajib diwujudkan dalam konteks kesetaraan capaian pembangunan, menurutnya berbasis pada hak-hak asasi manusia dan hak-hak konstitusional.

Atas dasar beberapa pertimbangan tersebut, ia menekankan bahwa penyandang disabilitas dan OPD memiliki potensi besar dalam berkontribusi terhadap percepatan pembangunan, baik secara kuantitas maupun kualitas,

“Oleh karena itu, sebagai bagian dari masyarakat sipil OPD berhak mendapatkan posisi tawar yang strategis dan prioritas dalam mewujudkan pelaksanaan TPB. Artinya pemerintah harus merubah secara total peradigma lama terhadap penyandang disabilitas. Karena tanpa merubah paradigma, penyandang disabilitas dan OPD akan selalu dianggap sebagai beban pembangunan,” tandasnya.

Pusat Kajian dan Advokasi Inklusi (PUSKADIN) Lampung, Abdullah Fikri  yang hadir dalam acara menambahkan, barlanjut dari pertimbangan-pertimbangan dan pentingnya perubahan paradigma terhadap penyandang disabilitas dan OPD, maka sangat diperlukan beberapa rekomendasi, kepada pemerintah, antara lain Pencabutan Kebijakan lama yang tidak berperspektif pada CRPD dan UU Penyandang Disabilitas. Sehingga diharuskan pengesahan segera kebijakan turunan UU Penyandang Disabilitas (8 RPP dan 2 Perpres) demi tercapainya harmonisasi kebijakan.

Kemudian, perlu tersedianya data terpilah berdasarkan disabilitas, gender, usia yang merefleksikan tingkat capaian akses program pembangunan bagi penyandang disabilitas dan kelompok rentan lainnya sehingga akan memudahkan identifikasi siapa dan dimana penyandang disabilitas berada baik yang tinggal di desa dan kota bahkan di pulau terpencil, perbatasan, terdepan dan pulau terluar,

“Ada langkah – langkah affirmasi penganggaran pembangunan inklusi di semua Kementerian/Lembaga untuk mewujudkan pembangunan inklusif, aksesibel dan berkeadilan sosial bagi seluruh masyarakat Indonesia, sehingga akan lahirnya regulasi tentang pedoman penganggaran pembangunan yang berperspektif penyandang disabilitas dan kelompok rentan lainnya dari tingkat nasional hingga daerah,” imbuhnya.

Selain itu, Abdullah juga meminta pemerintah memastikan pemerataan program – program pembangunan inklusi yang menjangkau seluruh penyandang disabilitas dan kelompok rentan lainnya diberbagai daerah termasuk diwilayah perbatasan, pulau terluar, terdepan dan terpencil,

“Supaya semua kelompok masyarakat rentan termasuk penyandang disabilitas bisa menikmati manfaat program – program pembangunan baik secara quantitas dan qualitas (perwujudan aksesibilitas fisik dan non fisik antara lain infrastruktur, sarana dan prasarana publik serta kualitas pelayanan kesehatan, transportasi, kmunikasi, serta pelayanan publik lainnya,” tandasnya.

Pemerintah juga diminta membuat regulasi yang menjadi komitmen pemerintah pusat dan daerah tentang mekanisme monitoring dan evaluasi pembangunan yang partisipatif, inklusif dan aksesibel agar dapat dipastikan monitoring dan evaluasi dari OPD yang diadopsi oleh pemerintah pusat maupun daerah sebagai wujud kontribusi aktif, terutama penyandang disabilitas dan organisasi yang mewakilinya dalam mekanisme monitoring dan evaluasi TPB dari tingkat desa, kabupaten/kota sampai dengan nasional,

“Pemerintah memastikan adanya tindakan-tindakan dan program – program pembangunan yang selaras dan sejalan implementasi dengan CRPD dan pelibatan organisasi penyandang disabilitas secara penuh baik jangka pendek dan jangka Panjang,” pintanya.

“Pelaksanaan rekomendasi-rekomendasi tersebut harus didukung dengan pelibatan penyandang disabilitas dan OPD dengan didukung penyediaan aksesibilitas dan akomodasi yang layak untuk memastikan partisipasi penuh mereka demi menghilangkan paradigma lama pemerintah terhadap para penyandang disabilitas,” pungkas Abdullah. (kt1)

Redaktur: Faisal

 

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Powered by rasalogi.com