Abraham Samad: Pelemahan KPK Bisa Datang dari Proses Seleksi Capim

YOGYAKARTA – Mantan Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Dr. Abraham Samad mengatakan, seleksi Calon Pimpinan (Capim) KPK periode 2019-2023 menuai protes sejak masa pendaftaran.

Menurutnya, pelemahan terhadap KPK saat ini semakin jelas. Pelemahan, kata dia, bisa bersumber dari dalam dan luar KPK, termasuk dari Panitia Seleksi (Pansel) Capim KPK,

“Salah satu cara untuk melemahkan KPK adalah memasukkan orang yang tidak punya integritas untuk memimpin KPK,” ujarnya saat menjadi narasumber dalam Diskusi Panel di Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta, Selasa (10/09/2019).

Abraham menyerukan agar masyarakat turut mengawal proses seleksi capim KPK agar calon-calon yang tidak kredibel tidak diloloskan sebagai pemimpin KPK. Seperti diketahui, Pansel Capim KPK telah resmi menyerahkan 10 nama yang telah disaring kepada presiden,

“Kalau capim tidak dikawal, pelemahan KPK bisa datang dari proses ini,” tandasnya.

KPK menurutnya membutuhkan figur pemimpin yang mampu memberikan perlindungan hukum secara luas untuk insan-insan KPK. Selain itu, kata dia, pemimpin KPK juga harus memiliki semangat untuk berjuang,

“Bukan sekadar mencari pekerjaan dan pada akhirnya hanya menjalankan pekerjaan secara rutin,” tukasnya.

JIka capim yang dipilih bermasalah dan tidak memiliki integritas, ia meragukan apakah pemimpin tersebut mampu memberikan perlindungan yang diperlukan untuk upaya pemberantasan korupsi,

“Alih-alih memberi perlindungan, pemimpin yang demikian justru akan memberangus KPK. KPK berbeda dengan lembaga lain. Di lembaga lain, orang-orang di dalamnya adalah orang yang melakukan rutinitas pekerjaan, tapi di KPK ada unsur perjuangan,” katanya.

Abraham menilai, seleksi capim KPK dianggap menjadi hal yang krusial untuk mendapat perhatian bukan hanya dari orang-orang KPK sendiri, melainkan juga masyarakat, khususnya semua orang yang peduli terhadap pemberantasan korupsi,

“Kita semua punya tanggung jawab morel. Kalau ini tidak dapat perhatian, jangan harap agenda pemberantasan korupsi berjalan,” tegasnya.

Selain itu, Abraham juga menyoroti Rancangan Undang-Undang (RUU) KPK yang menuai kontroversi karena dianggap melemahkan KPK. Salah satu usulan yang ia kritik adalah pembentukan Dewan Pengawas yang disebut berfungsi untuk memastikan bahwa tidak ada penyalahgunaan kuasa atau abuse of power oleh KPK, misalnya dalam hal penyadapan.

“Dewan Pengawas bagi KPK tidak diperlukan karena KPK sendiri telah memiliki mekanisme yang jelas untuk menghindari penyalahgunaan wewenang. Dewan Pengawas itu seperti makhluk yang diturunkan dari luar angkasa, tiba-tiba datang dan tiba-tiba mengatur sok sebagai pengawas yang bersih, padahal tidak tentu juga,” tegasnya.

Dalam kesempatan yang sama, Peneliti Pusat Kajian Antikorupsi (PUKAT) UGM, Dr. Zaenal Arifin Mochtar, S.H., LL.M menilai fungsi pengawasan sudah ada dan sudah dijalankan di dalam KPK sehingga tidak perlu ada dewan khusus.

Keberadaan Dewan Pengawas menurutnya justru memunculkan potensi pelemahan KPK.

“Dewan pengawas yang memilih DPR. Alih-alih mengawasi KPK malah bisa jadi domestifikasi, penjinakan KPK. Usulan ini tidak masuk akal,” ucapnya.

Ia pun mengajak para mahasiswa serta masyarakat untuk turut menyuarakan tuntutan agar RUU yang berpotensi melemahkan KPK ini tidak disahkan oleh presiden.

“Saatnya kita urun rembug, turun bersama, kirim tagihan kepada Presiden. Presiden punya janji memperkuat KPK untuk pemberantasan korupsi, saya harap janji itu diingat,” pungkasnya dalam Diskusi Panel  bertema”Mengawal Integritas Pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang merupakan rangkaian Festival Konstitusi dan Antikorupsi 2019. (kt1)

Redaktur: Faisal

 

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Powered by rasalogi.com