Hadapi Pandemic Flu Spanyol Seabad Silam, Yogyakarta Calm Down Tapi Gumregah

Oleh: Nurti Kumala* 

Seabad silam, Pandemik 1918 atau wabah Flu Spanyol melanda dunia. Selama Maret 1918 sampai Juni 1920  lebih  Diperkirakan 50 sampai 100 juta orang di seluruh dunia meninggal akibat makhluk yang dalam bahasa medis disebut Virus Influenza Tipe A subtipe H1N1. Di Indonesia yang waktu itu bernama Hindia Belanda (masih jajahan Belanda), diperkirakan korban sekitar 1-1,5 juta. Saat itu, Yogyakarta masih berstatus negara sendiri, era Sri Sultan Hamengku Buwono VII.

Saat Pandemik terjadi, Ngayugyokarto Hadiningrat dalam masa transisi menuju modernisasi. Banyak sekolah didirikan. Sri Sultan Hamengku Buwono VII juga menyekolahkan anak-anak beliau sampai perguruan tinggi, bahkan hingga mengirim mereka ke Negeri Belanda.

Pada masa darurat dunia Flu Spanyol seusai redanya Perang Dunia I tersebut, justru seni tari mulai keluar dari tembok keraton. Beliau mendukung putra-putranya untuk mendirikan sekolah tari gaya Yogyakarta, Krido Bekso Wiromo. Sekolah ini tidak hanya diperuntukkan bagi warga lingkungan keraton semata. Siapapun yang berminat belajar tari gaya Yogyakarta, dipersilakan untuk datang dan mendaftarkan diri di Dalem Tejokusuman.

Bentuk dukungan Sri Sultan Hamengku Buwono VII tidak berhenti di sini. Beliau juga mendorong tumbuh kembangnya pentas tari dan wayang, sehingga semenjak akhir 1918, dimasa pandemic Flu Spanyol, pentas semacam itu semakin marak. Di saat negara-negara di dunia menerapkan protokol pencegahan pandemic dengan menjaga jarak (social distancing), Yogyakarta justru Gumregah, bersemangat untuk bangkit menyesuaikan dengan modernitas.

Pendidikan dan pola pikir terbuka yang ditanamkan kepada anak-anak Sri Sultan Hamengku Buwono VII, menghasilkan tidak hanya sekolah tari. Pada masa itu pula banyak berdiri organisasi-organisasi massa. Pangeran Suryodiningrat, putra beliau, memprakarsai berdirinya organisasi petani Pakempalan Kawulo Ngayogyakarta.

Muhammadiyah, yang juga lahir dari lingkungan keraton pada masa pemerintahannya juga semakin berkembang. Sang Pendiri, Raden Ngabei Ngabdul Darwis atau Kyai Haji Ahmad Dahlan adalah abdi dalem keraton golongan pengulon yang disekolahkan ke Arab Saudi oleh Sri Sultan Hamengku Buwono VII. Organisasi yang menitikberatkan pada amal usaha dan pendidikan ini segera berkembang pesat keluar wilayah Kauman, tempat organisasi ini bermula.

Ketika memasuki tahun 1918, maka gerakan Muhammadiyah mulai melebarkan sayapnya. Ranting-ranting (Groep atau Gerombolan) mulai bermunculan. Tiap-tiap ranting ataugroep tumbuh menjadi sekolahan-sekolahan Muhammadiyah. Maka kekurangan tenaga muballigh dan guru agama yang sangat terasa di Muhammadiyah. Di tengah dunia seperti mengalami paranoid dan menutup diri, pada tahun 1919 Muhammadiyah mendirikan Siswo Projo yang merupakan organisasi persatuan pelajar Muhammadiyah di Madrasah Mu’allimin Muhammadiyah Yogyakarta.

Sri Sultan Hamengku Buwono VII mempunyai visi jauh ke depan, dengan memberi ruang kepada aktivis-aktivis organisasi politik cikal bakal negara Indonesia. Bangunan Loji Mataram miliknya, terletak di Jl. Malioboro (kini gedung DPRD DIY), yang sebelumnya dipinjamkan kepada organisasi Budi Utomo untuk menyelenggarakan kongres pertama, semasa Pandemik Flu Spanyol juga masih digunakan sebagai tempat berkumpulnya para aktivis.

Sikap terbuka Sri Sultan Hamengku Buwono VII juga turut dirasakan oleh umat Islam pada masanya. Beliau mempersilahkan perayaan hari-hari besar keagamaan sesuai dengan kalender Hijriah, namun untuk upacara Garebeg tetap berdasarkan kalender Sultan Agungan, termasuk pada masa Pandemic Flu Spanyol tahun 1918 hingga 1920.

Saat pandemic Flu Spanyol, tidak ada literatur sejarah yang menyebutkan secara spesifik berapa korban Flu Spanyol di Nagari Ngayugyokarto Hadiningrat. Namun sejarah mencatat tahun 1918-1920, Yogyakarta tetap Calm Down namun tetap Gumregah.

Terlepas apakah Pandemic Covid-19 (Corona) yang melanda dunia hari ini sama atau tidak dalam konteks kajian medis, namun yang jelas baik Flu Spanyol maupun Corona adalah sama-sama Pandemik.

Jika menengok sejarah, ada persamaan antara kebijakan Sri Sultan Hamengku Buwono VII dan Sri Sultan Hamengku Buwono X saat ini ketika menyikapi pandemik. Kedua raja beda generasi tersebut sama-sama ‘ngemong’ rakyatnya, tidak menakut-nakuti dan tetap menanamkan rasa semangat dan optimisme kepada rakyatnya.

Disaat semua gubernur di Indonesia Ramai Lock Down sebagai respons atas merebaknya Corona, Gubernur sekaligus Raja Kraton Yogyakarta Sri Sultan Hamengku Buwono X justru menyatakan Calm Down. Disaat banyak daerah lain memberlakukan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB), Sri Sultan Hamengku Buwono X tidak mengajukan PSBB hingga saat ini. Faktanya, Yogyakarta meskipun dikatakan masuk zona merah, relatif jumlah korban tidak sebanyak DKI dan Jawa Timur dan tingkat kesembuhan positif Corona cukup tinggi.

Berdasarkan update data 24 mei 2020 pada laman resmi Pemda DIY, dari jumlah penderita positif Corona, 123 orang positif sembuh dan 8 orang postif meninggal dunia. Lalu masihkan perlu PSBB? Masihkan Corona dianggap virus yang mematikan dan sangat berbahaya? Jika penyebarannya cepat sehingga dihebohkan, apakah flu biasa juga tidak cepat menular kepada orang yang imunitas tubuhnya lemah? (*)

*Penulis adalah Pengiat Forum Muda Lintas Iman Yogyakarta (FORMULIYO)

 

 

 

 

 

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Powered by rasalogi.com