Edutek  

Pengembangan Integrasi Keilmuan di UIN

Oleh: Prof. Dr. Dudung Abdurahman, M.Hum*

Pengembangan keilmuan di Perguruan Tinggi Agama Islam pada era reformasi mengalami perubahan, khususnya sejak IAIN (Institut Agama Islam Negeri) berubah menjadi UIN (Universitas Islam Negeri), yaitu dengan pengembangan keilmuan yang diorientasikan kepada pemaduan keislaman dan keilmuan pada umumnya. Pertumbuhan UIN sendiri hingga kini telah terdapat sebanyak 17 universitas yang tersebar di wilayah-wilayah provinsi di Indonesia.

Di antara persoalan yang selalu mendapat perhatian semenjak pembentukan UIN pada tahun 2004 hingga kini dalam pengembangan keilmuan tersebut, adalah “bagaimana membangun suatu model dan pendekatan-pendekatan yang visible diterapkan untuk mengakomodir desain keilmuan yang integratif” itu. Persoalan ini terus berkembang menjadi pembahasan seiring proses akademik UIN, bahkan hingga terakhir dalam webinar “Integrasi Ilmu di Era Disrupsi” dalam rangkaian dies UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 1 Juli 2020, persoalan tersebut masih menjadi pembahasan utama, yaitu di seputar paradigma integrasi keilmuan dimaksud.

Seiring perjalanan waktu dan didukung dengan upaya-upaya yang dilakukan dalam proses pengembangan keilmuan UIN, seyogyanya kini integrasi keilmuan tersebut dilakukan melalui upaya-upaya implementasinya secara continous impropment dalam berbagai proses Tri Dharma Perguruan Tinggi.

Pengalaman

Orientasi umum pengembangan keilmuan UIN itu diarahkan dalam rangka mengurangi nuansa dikotomis antara kecenderungan yang berpijak pada perspektif ilmu-ilmu keislaman yang cenderung normatif dengan perspektif ilmu-ilmu umum yang historis dan empiris. Kesan yang mula-mula, bahwa kedua perspektif ilmu tersebut masih berjalan masing-masing dan seolah-olah tidak bisa dipertemukan.

Pengalaman beberapa UIN mengembangkan keilmuan integratif itu berbeda-beda. Misalnya yang dilakukan UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta berbasis paradigma integrasi-interkoneksi, yang disimbolkan dalam jaring laba-laba. Simbol ini bermakna Islam bertolak dari titik sentral jaringan ilmu adalah sistem ajaran yang bersumber pada nash atau dalil Quran dan Sunnah.. Karena itu falsafah merupakan landasan keilmuan, yang digunakan untuk menguraikan (bayani) gejala alam maupun sosial di dalam realitas kehidupan manusia. Kemudian Islam dalam realitas kehidupan manusia atau penganut agama ini pada umumnya adalah fakta-fakta empiris yang bisa dibuktikan (burhani) dengan keilmuan alam atau fisika maupun ilmu-ilmu sosial. Namun di balik kedua penjelas keilmuan tersebut masih terdapat nilai-nilai rohaniah yang membutuhkan penjelasan spiritual dan batiniah dengan metode ‘irfani yang syarat pengetahuan metafisik.

Pengalaman lain terjadi dalam pengembangan keilmuan integratif di UIN Maulana Malik Ibrahim Malang, yang bertolak dari konsep Ulul Albab, sebagaimana disebutkan dalam Quran surat al-Imran ayat 90-91 yang intinya bahwa untuk mencapai ahli ilmu yang sadar akan kekuasaan Tuhan harus didukung sains dan teknologi. Hal ini berarti harus ada integrasi antara agama dan sains. Pengembangan ilmiah seperti itu disimbolkan dengan “Pohon Ilmu”, yang akarnya terhunjam dalam Quran dan Sunnah, kemudian pohon ilmu berkembang dalam dahan dan ranting-ranting dimaknakan sebagai keragaman disiplin baik ilmu kealaman maupun ilmu-ilmu sosial dan budaya. Peranan keilmuan lebih ditunjukkan dalam pengembangan cabang-cabang ilmu itu sendiri, sedangkan agama diintegrasikan terhadap sains, yaitu dengan peranan utama agama sebagai basis penguatan hati dan akhlak.

Tampak berlainan model pengembangan keilmuan di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, yang mengembangkan motto knowledge integrity. Tanpa disimbolisasikan dalam bentuk apapun, melainkan bertolak dari argumentasi dasarnya bahwa ilmu secara subjektif adalah kesadaran atas kekuasaan Tuhan sebagai inti agama atau keislaman, sedangkan kesadaran itu secara objektif karena didukung historis dan empiris. Dijelaskan lebih lanjut bahwa integrasi ilmu berarti pemaduan antara fisik dan non-fisik, dan basis integrasi ilmu adalah “Kebenaran Allah”, tetapi untuk mencapai kebenaran ini hanya bisa berdasarkan ilmu, sebab Zat Tuhan tidak mungkin dapat diketahui. Kebesaran dan kebenaran Tuhan hanya bisa dikenal dengan dua ayat: qauliyah dan kauniyah, yang pertama berkedudukan sebagai sumber ilmu agama, sedangkan yang lain menjadi objek ilmu umum. Namun antara keduanya tidak terpisahkan apalagi terjadi benturan, karena ilmu agama dan ilmu umum adalah sama-sama ayat Allah.

Pengembangan

Apabila paradigma keilmuan integratif seperti halnya tersebut di atas sudah dipandang cukup dijadikan landasan bagi proses akademik di UIN, apalagi hal itu sudah berlangsung selama lebih kurang 15 tahun, maka kini saatnya dilakukan implementasi lebih lanjut sesuai dengan kebutuhan dan tantangan perguruan tinggi menghadapi situasi masyarakat yang selalu berubah. Upaya-upaya itulah yang mesti dilakukan dalam pengembangan keilmuan integratif UIN kini dan hari esok yang lebih berdaya saing dan berguna.

Beberapa pandangan para perintis UIN dapat dikemukakan di sini misalnya, Profesor Imam Suprayogo (UIN Maulana Malik Ibrahim) menginginkan pengembangan integrasi ilmu itu dilakukan perluasan institusi pendidikan tinggi agama negeri. Menurutnya, sekarang sudah saatnya semua PTIN dikembangkan menjadi universitas. Alasannya, bahwa pengembangan ilmu agama dipandang sudah cukup mapan dengan cabang-cabang keilmuannya yang ada, sedangkan yang mendesak dibutuhkan sekarang adalah ekonomi, kelautan, kesehatan dan sebagainya. Pengembangan seperti ini hanya mungkin dilakukan dalam sebuah universitas.

Sementara itu, Profesor M. Amin Abdullah (UIN Sunan Kalijaga) menambahkan gagasannya bahwa pengembangan keilmuan integratif UIN kini mesti dilakukan berdasarkan konsep reshaping the boundaries of knowledge, yakni diperlukan perumusan kembali keterpaduan keilmuan itu dengan membongkar tapal batas antar disiplin keilmuan secara rigid. Untuk itulah, menurutnya, kebijakan Kemendikbud tentang Kampus Merdeka, Belajar Merdeka merupakan momentum baru untuk mengembangkan lebih lanjut keilmuan integratif di setiap UIN.

Sumbangsih lain seperti tengah dikembangkan di UIN Jakarta, dikatakan oleh Profesor Amany Lubis dan Profesor Mulyadhi Kartanegara, bahwa ayat-ayat kauniyah dari sumber agama dijadikan objek ilmu umum dan meniadakan dikotomi dengan ayat-ayat qauliyah merupakan upaya yang mesti terus dilakukan dalam post-integrasi. Bahkan ketika ilmu agama tidak dihubungkan dengan ilmu lain justru merupakan ancaman bagi masa depan UIN. Untuk inilah UIN Jakarta mempelopori pengembangan integrasi keilmuan itu dengan 6 prinsip: humanisme, internalisasi ajaran Islam, two-way traffic, tafsir ilmi bagi nash, wasathiyah, dan tradisi ilmiah, yang semuanya diarahkan kepada pengembangan ilmu dan teknologi serta daya saing di segala bidang ilmu dan profesi.

Atas semua gagasan konstruktif di atas, upaya yang harus dilakukan adalah segi-segi metode dan praktiknya dalam proses tri dharma perguruan tinggi itu sendiri. Hal ini juga mendesak untuk dipikirkan bersama ataupun oleh setiap penyelenggara UIN, yang belakangan ini tengah melakukan banyak pembahasan tentang kelanjutan proses integrasi keilmuan tersebut, terutama melalui redesain kurikulum menghadapi era disrupsi dan tawaran kampus merdeka.

Sehubungan proses redesain kurikulum dimaksud, seperti usulan Senat UIN Sunan Kalijaga, bahwa ilmu keislaman sebagai penciri UIN, khususnya untuk jenjang strata satu, dapat dikembangkan dalam mata kuliah level universitas seperti ulumul quran, ulumul hadits, pengantar studi Islam (Islam dalam berbagai aspek), Islam dan Sains, Peradaban Islam, serta bahasa Arab dan Inggris.

Adapun pengembangan keislaman pada tingkat program studi ilmu-ilmu umum khususnya, sekadar usulan penulis, bahwa keislaman yang diintegrasikan itu adalah berkenaan dengan tiga sendi agama: teologi (keimanan, akidah), norma (fiqh), dan etika (akhlak, tasawuf), yang dihubungkan dengan masing-masing disiplin ilmu. Jadi misalnya keislaman bagi program studi ilmu-ilmu sosial, maka dikembangkan dasar-dasar nilai dari ketiga sendi agama tersebut yang relevan dengan suatu disiplin ilmu. Umpamanya, dekonstruksi dalam mata kuliah menjadi teologi sosial, norma-norma sosial, dan etika sosial. Begitu juga untuk bidang ilmu atau program studi dalam disiplin saintek.

Demikian pengembangan lebih lanjut tentang integrasi keilmuan tersebut diharapkan menemukan pola-pola baru yang lebih kondusif untuk proses akademik, penelitian, maupun pengabdian pada masyarakat, serta masa depan Universitas Islam Negeri di tanah air tercinta. Semoga  (Yogyakarta, 20 Juli 2020).

* Guru Besar UIN Sunan Kalijaga

 

 

 

 

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Powered by rasalogi.com