Pertambangan Berkelanjutan untuk Kesejahteraan Masyarakat Indonesia

Oleh: Muhammad Arimin*

Aktivitas pertambangan di Indonesia tak terlepas dari sisi positif dan negatif. Di satu sisi, pengerukan sumber daya alam yang kian masif yang sudah dimulai sejak republik ini belum dididirikan, telah dijadikan sebagai sumber pendapatan bagi pemerintah, yang kemudian sebagian di antaranya digunakan untuk pembangunan infrastruktur, pemberdayaan Sumber Daya Manusia (SDM) di bidang pendidikan formal dan non-formal, sarana transportasi dan komunikasi, hingga pembangunan di pelosok-pelosok negeri ini.

Namun di lain sisi, aktivitas pertambangan telah menimbulkan berbagai ekses negatif baik bagi lingkungan maupun masyarakat di sekitar tambang. Tak sedikit kita temukan lubang-lubang tambang yang telah merenggut nyawa warga. Di Kalimantan Timur, hingga tahun ini sudah puluhan orang yang telah meninggal dunia akibat lubang tambang batu bara yang dibiarkan begitu saja. Padahal lubang-lubang tambang harus ditutup serta ditanami pohon untuk memulihkan areal pertambangan tersebut.

Masalah lain yang kita temukan sebagai ironi dalam bidang pertambangan yakni banjir yang disebabkan penebangan pohon di areal tambang, konflik antara pelaku usaha tambang dan masyarakat sekitar, serta menipisnya areal pertanian karena alih fungsi lahan untuk tambang. Daerah-daerah yang sebelumnya menjadi sentra pertanian dan terkenal sebagai pendukung swasembada pangan nasional, kini kontribusinya kian menipis dalam mendukung pemenuhan pangan di Indonesia. Tak heran bila tahun lalu Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) menempatkan Indonesia sebagai negara yang rawan pangan. Hal ini memang berkaitan dengan imbas pandemi Covid-19, namun tak dapat dimungkiri pula kerawanan pangan di negeri ini tidak terlepas dari alih fungsi lahan yang masif dalam beberapa dekade terakhir di Indonesia.

Sebagai sektor yang menjadi bagian penting dalam pembentukan Produk Domestik Bruto (PDB), sudah selayaknya pertambangan di Indonesia dimanfaatkan semaksimal mungkin untuk pembangunan dan kesejahteraan masyarakat. Salah satu caranya, pemerintah dan pihak-pihak terkait mesti meminimalisasi efek negatif dalam bidang pertambangan serta menggunakan pendapatan dari sektor tersebut untuk sebesar-besarnya kemaslahatan dan kesejahteraan masyarakat.

Selain itu, ada beberapa hal yang mesti diketengahkan oleh pemerintah dalam memaksimalkan kontribusi pertambangan untuk kesejahtaraan masyarakat. Pertama, sumber-sumber pendapatan di sektor pertambangan dari hulu hingga hilir mesti dimaksimalkan dan dipastikan masuk dalam pendapatan negara serta digunakan untuk pembangunan berkelanjutan. Di sektor hulu misalnya, royalti yang disetorkan pelaku usaha di bidang pertambangan seyogyanya dijadikan pendapatan negara. Celah-celah kebocoran dalam bidang ini mesti diminimalisasi. Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mengungkapkan, kebocoran di bidang hulu ini tergolong besar. Khususnya dalam sektor pertambangan batu bara. Karena itu, dibutuhkan pengawasan ketat dan berjenjang dari tingkat daerah, provinsi, hingga nasional.

Sementara di sektor hilir, pemerintah perlu mendorong serta menguatkan komitmennya dalam hilirisasi sektor pertambangan. Selama ini, negara kita hanya meraup pendapatan kecil dari sektor pertambangan karena minimnya hilirisasi. Sebagian besar hasil tambang hanya diekspor tanpa ada pengolahan lebih lanjut. Padahal hilirisasi dapat meningkatkan pendapatan nasional dan mendorong efisiensi dalam pemanfaatan sumber daya alam.
Sejatinya, hilirisasi telah diusahakan oleh pemerintah dengan berbagai cara. Namun komitmen dalam pelaksanaannya masih sangat minim. Hal inilah yang patut diawasi oleh badan pengawas baik di legislatif maupun eksekutif, sehingga negara ini mendapatkan manfaat maksimal terhadap pengolahan di bidang pertambangan.

Kedua, pengawasan di bidang pertambangan mesti dilakukan dengan melibatkan lintas stakeholders. Dari kepolisian, legislatif, hingga aparat pemerintah dari kabupaten/kota, provinsi, sampai nasional mesti bekerja sama untuk mengawasi aktivitas pertambangan. Pengawasan bermaksud untuk meminimalisasi kemunculan pertambangan ilegal serta permainan para “pelaku tambang” yang memanfaatkan sumber daya alam namun tak menyetorkan bagian dari pendapatannya ke kas negara.

Ketiga, pemetaan wilayah pertambangan. Langkah ini mesti dimulai dari penentuan Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) yang benar-benar memisahkan secara tegas antara wilayah pertambangan, pertanian, serta permukiman penduduk. Hal ini bertujuan menanggulangi dan memecahkan masalah alih fungsi lahan yang selama ini mengakibatkan merosotnya areal pertanian.

Keempat, peran-peran pengawasan dari Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) hingga organisasi mahasiswa seperti Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) mesti dimaksimalkan. Tak dapat dimungkiri, kontrol dari LSM dan mahasiswa dapat mengurangi praktik korupsi dalam sektor pertambangan sehingga mengakibatkan pendapatan dari sektor tersebut tergerus karena luput dari pengawasan serta temuan aparat.

Kelima, pengaturan ulang sistem bagi hasil dalam bidang pertambangan antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah. Sulit dinafikkan bahwa selama ini metode bagi hasil antara pusat dan daerah dinilai tidak adil. Daerah-daerah yang menerima akibat langsung dari aktivitas pertambangan hanya mendapatkan bagian kecil dalam pengerukan sumber daya alam. Selayaknya, bagi hasil antara daerah penghasil dan pusat dirumuskan untuk menutupi serta memulihkan ekses-ekses negatif dari aktivitas pertambangan seperti masalah lingkungan pasca tambang, banjir, hingga efek negatif lainnya yang dirasakan warga di sekitar tambang. Hal-hal seperti ini tak dipertimbangkan dalam perumusan bagi hasil di sektor pertambangan. Karena itu, ke depan legislatif dan eksekutif perlu merumuskannya kembali untuk memenuhi hak-hak daerah di bidang pertambangan. (*)

*Penulis adalah Mahasiswa Pascasarjana MM. Sustainability Universitas Trisakti, Staff Ketua PB HMI .

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Powered by rasalogi.com