Pencegahan atau Penindakan: Mana yang Lebih Berhasil?

Oleh: Bagus Sarwono (Ketua Bawaslu DIY)

Setiap evaluasi pemilu atau pemilihan kepala daerah (pilkada) sering muncul pertanyaan manakala melihat data jumlah pelanggaran yang diproses Bawaslu. Pertanyannya kira-kira begini.

Mana yang lebih berhasil, fungsi pencegahan atau penindakan Bawaslu? Kalau kasusnya pelanggarannya banyak atau meningkat dibanding pemilu sebelumnya apakah pencegahannya tidak berhasil? Sebaliknya, ketika pelanggarannya sedikit atau berkurang apakah dengan demikian pencegahannya berhasil?

Untuk menjawab pertanyaan itu, menurut saya kita tidak mensiflikasikan lalu mengatakan: kalau kasus pelanggarannya sedikit serta merta pencegahannya telah berhasil, atau kalau kasus pelanggarannya banyak/meningkat berarti fungsi pencegahan Bawaslu kurang atau tidak berhasil.

Memang fungsi pencegahan dan penindakan sangat berhubungan. Tetapi menurut saya tidak cukup membuat kita lantas mudah mengambil kesimpulan sebagaimana hukum kausalitas. Mengapa? Karena masih banyak faktor lain yang bisa mempengaruhi banyak/sedikit pelanggaran terjadi yang ditangani Bawaslu.

Ada beberapa argumen yang bisa diajukan. Pertama, pencegahan yang dilakukan bisa jadi justru memperbanyak laporan. Kedengarannya pasti aneh, tapi mari kita lihat.

Fungsi pencegahan yang dilakukan bawaslu itu beraneka macam seperti sosialiasi, pemetaan kerawanan, koordinasi dengan stakeholder, pengawasan partisipatif, atau surat pencegahan. Kalau pencegahan yang dilakukan kuat porsinya dalam bentuk sosialisasi ke peserta pemilu (partai politik, calon legislatif) atau ke publik dalam konteks pengawasan partisipatif maka biasanya output yang ingin diraih yaitu agar peserta akan lebih memahami aturan main beserta larangan serta sanksi di tahapan-tahapan pemilu/pilkada, lebih patuh pada aturan dan bersedia melaporkan jika menjumpai pelanggaran.

Sangat mungkin sebelum sosialisasi dilakukan publik tidak paham dan dengan persoalan pemilu, lalu melalui pemahamannya itu menjadi lebih berani melaporkan. Sebelumnya, mungkin orang tidak bisa membedakan mana politik uang dan tidak, tetapi dengan bentuk sosialiasi itu menjadi paham dan mengerti cara melaporkan. Dampaknya laporan akan meningkat.

Jadi sosialisasi itu tidak selalu membuat laporan lebih sedikit bisa juga sebaliknya makin banyak. Apalagi dengan pengawasan partisipatif yang sering didengungkan adalah agar publik semakin berani melapor.

Ibarat orang mancing untuk mendapatkan ikan di suatu kolam, bisa jadi sebelum ada pengawasan partisipatif, orang yang mancing hanya sedikit sehingga mendapatkan ikannya sedikit. Tapi dengan makin semakin banyak orang yang ikut memancing (dengan kail masing-masing) maka peluang mendapatkan ikan akan lebih banyak jika dijumlahkan. Begitu juga tentang laporan dugaan pelanggaran. BIsa jadi sebelumnya orang sedikit yang melapor, tetapi ketika yang terlibat banyak maka jumlah laporan bisa lebih banyak.

Kedua, banyak atau sedikitnya pelanggaran bisa juga dari faktor internal yang tidak terkait langsung dengan fungsi pencegahan tetapi berkaitan dengan peningkatan kapasitas internal di Bawaslu. Semakin sering dan efektif peningkatan kapasitas dilakukan maka semakin paham dan pintar pula jajaran bawaslu melaksanakan seluruh fungsinya. Dengan tambahan motivasi dan penguatan mental yang dilakukan secara berjenjang dampaknya jajaran pengawas pemilu di bawah bisa semakin berani dan pintar mendapatkan temuan pelanggaran. Dus, penanganan pelanggaran meningkat karena temuan internal. Dalam konteks ini peningkatan kapasitas bertujuan memaksimalkan seluruh fungsi yang dilakukan oleh Bawaslu: pencegahan, pengawasan, penindakan pelanggaran, penyelesaian sengketa proses pemilu/pilkada.

Ketiga, iklim kontestasi di pemilu/pilkada dari para kandidat. Semakin kompetitif antar peserta suatu kontestasi pemilu biasanya akan berdampak pada makin meningkatnya kapasitas sumber daya serta cara yang dilakukan untuk memenangkan kompetisi. Dan tak jarang cara-cara itu adalah yang melanggar seperti: politik uang, pemasangan alat peraga kampanye (APK) yang melaanggar, penyelewengan sumberdaya di pemerintahan, dan lain sebagainya Dengan ini maka potensi jumlah pelanggaran pemilu/pemilihan akan semakin banyak. Belum lagi kalau karakter dasar peserta pemilu (dengan tim suksesnya) ada yang sukanya melanggar misalnya, maka dapat berdampak pada jumlah pelanggaran yang semakin meningkat. Ini faktor adalah eksternal yang sangat mungkin seluruh aksinya lebih didrive oleh kepentingan mereka sendiri.

Itu hanya beberapa argumen yang sangat mungkin ada faktor lainnya. Jadi, dengan melihat data jumlah pelanggaran pemilu/pemilihan meningkat misalnya, apakah berarti fungsi Bawaslu melakukan pencegahan pemilu tidak berhasil? Menurut saya belum tentu.

Tapi Anda boleh berbeda pendapat. Dan saya akan menghormatinya. (*)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Powered by rasalogi.com