(CERPEN) – Surya yang baru menyembul, mungkin baru lengser sederajat saja dari ufuk barat ketika aku terbangun. Tergopoh kusiapkan segala sesuatu yang harus aku bawa pagi ini ke pasar. Aku tergesa-gesa karena ternyata terlambat bangun.
Semua sudah siap, sepatu boat buatan negeri seberang sudah ku pakai dan sayur-mayur yang akan dijual di pasar yang jaraknya sekitar 20 kilo meter dari desa yang sejak 45 tahun silam aku tinggali.
“Pak, kopinya diminum dulu, ini untuk makan di jalan,” kata istriku, Aisyah yang juga sudah 20 tahun hidup bersamaku, dan selama itu pula selalu mengerjakan hal yang sama setiap pagi.
Jalan setapak tak beraspal ku lalui, di antara hutan-hutan yang mulai gersang, menuju pasar negeri seberang. Kegersangan itulah yang mungkin selalu berubah sejak 45 tahun lalu. Jalan Itu terpaksa ku lalui karena aku tak punya paspor atau visa.
Tanpa melakukan hal ini, tentu aku tak akan bertahan hidup. Hanya dengan sayur ini aku bisa mendapatkan ringgit, bertukar beras, minyak, dan barang-barang rumah tangga di pasar negeri seberang.
Beruntung aku tak harus memikirkan biaya anak pertamaku, Mahmud yang sekarang baru lulus sekolah tingkat SMP di negeri sebrang. Sebab sekolah di sana gratis, meski dengan syarat anakku harus dilahirkan di negeri sebrang dan diangkat anak oleh seseorang warga negeri seberang.
Di tengah jalan, ketika perutku mulai lapar, aku berhenti di antara semak-semak. Saat itu mentari tampak lebih terang di ufuk timur. Aku tertegun ketika melihat selembar kain Merah-Putih berkibar di tiang yang cukup tinggi, tepat di gardu penjaga tapal batas antar negeri yang berjarak sekitar 1 kilo meter dari tempatku istirahat.
Biasanya bendera itu dipasang tak lebih tinggi, sehingga tak terlihat dari tempatku berhenti untuk istirahat sejenak. Aku baru ingat, bukankan Hari ini 17 Agustus? Bukankah hari ini hari kemerdekaan negeriku?
Tak terasa, air mataku meleleh, betapa selama hampir 18 tahun tahun ini aku seperti tak pernah melihat Merah Putih itu begitu gagahnya di angkasa, dimana di bawahnya aku memberi hormat. Terakhir aku ingat, ketika aku berseragam merah putih di sebuah SD Impres desaku yang kini tak lagi bermurid.
Selama 18 tahun ini aku sibuk bergelut dengan tantangan hidup di tapal batas, diantara serba keterbatasan yang membaut aku dan saudara-saudaraku di sini terpaksa bergantung dengan negeri lain.
“Merdeka…” aku tak bisa berucap dengan bersemangat, seperti saudara-saudaraku di luar perbatasan. Aku tak mampu berteriak “Merdeka!” seperti anak negeri di luar tapal batas yang wilayahnya punya pasar, punya sekolah, dan tentu saja punya rupiah.
Meski dengan setengah merintih mengucap “Merdeka” , tapi kecintaanku kepada Merah Putih tak tergadaikan. Kuberi hormat, sebelum langkahku menerabas tapal batas.
Sepatu boat ku pakai lagi, melangkah menuju Pasar negeri seberang yang ternyata sudah ramai. Tapi aku tak menyesal jika sayuranku tak habis terjual karena terlambat, setidaknya aku tak lupa jika hari ini adalah peringatan hari kemerdekaan Negeriku. (Yogyakarta, 17 Agustus 2014)
Penulis: Salahuddin Mumtaz