Menerka Rahasia Puasa dengan Nalar Bayani dan Irfani

Oleh: Zamzam Afandi

Zamzam Afandi, PhD
Zamzam Afandi, PhD. Foto: ist

“Kullu ‘Amali Ibni Adam Lahu Illa al-Shiyāma, Fa Innahu Lī  Wa Ana Ajzī bihi”.

(Semua perbuatan anak cucu Adam itu untuk mereka sendiri kecuali puasa. Puasa untukKu dan Aku akan membalasnya)

Rasanya belumlah cukup memuaskan keingintahuan kita jika membaca hadits yang sangat popular di atas hanya dalam bingkai iman dan Islam (percaya dan berserah). Nalar kita digoda dan dirangsang untuk dapat menggali jawaban yang lebih dalam. Megapa demikian istimewanya puasa sehingga Tuhan menyatakan bahwa puasa itu milikNya dan menaruh janji akan langsung membalasnya sendiri?

Tentu sebuah pertanyaan yang tidak mudah untuk dijawab. Kalau toh dijawab juga belum tentu benar,  hanya sebatas menalar karena urusanya dengan pernyataan Tuhan yang tidak mungkin kita dapat bertanya langsung untuk menemukan jawabanya. Nalar paling mengemuka terkait dahsyatnya nilai puasa ialah; Karena puasa bersifat privat, pribadi dan rahasia yang hanya diketahui orang yang berpuasa dan Tuhan.Unsur pamer atau riya’ yang mudah sekali didemonstrasikan dalam ibadah-ibadah lain, sulit untuk dilakukan dalam ibadah puasa. Puasa tidak memberi celah dijadikan alat untuk mencari pengakuan kesalehan dari orang lain. Puasa tidak bisa dimaterialkan menjadi simbol status sosial pelakunya. Juga tidak dapat untuk menilai dan mengukur kesalehan dan ketaatan seseorang karena ia bersifat pribadi, tidak terekspos ke publik.

Karena itu, satu-satunya yang memotivasi seseorang berpuasa ialah kepatuhan, ketundukan dan keikhlasannya pada Tuhan. Maka Tuhan pun membalasnya dengan imbalan yang hanyaTuhan sendiri yang tahu nilai dan besarnya imbalannya. Tidak disebutkan nominalnya, misalnya sepuluh hingga tujuratus kali lipat, seperti imbalan dalam ibadah-ibadah yang non privat.

Adalah Fādhil Al-Sāmarrāi, pakar retorika dari Sāmarra, Iraq, mencoba mengulik keagungan nilai puasa melalui penalaran bayani ayat puasa, yaitu:

“Ya ayyuhalladzīna āmanū kutiba ‘alaikumus-siyamu kama kutiba ‘alallazīna min qablikum la’allakum tattaqūn” (al-Baqarah:183)

Ketajaman dan sensitifitas rasa bahasa Fādhil ketika meresapi ayat puasa tersebut membawanya pada penjelajahan makna yang unik dan otentik. Fādhil memulainya dengan memperhatikan redaksi dan posisi ayat puasa.

Pertama, redaksi ayat.

Redaksi perintah puasa disampaikan secara langsung dari Tuhan. Tuhan berkata langsung: “Wahai orang-orang beriman diwajibakan atas kalian berpuasa ….”, tidak elalui perantara nabi, misalnya menggunakan redaksi “Qul yā ayyuhallidzīna āmanū kutiba ‘alaikumu as-shiyāmu ..(Katakan Muhamad, wahai orang-orang yang beriman, diwajibkan kepada kalian berpuasa….” seperti terjadi pada ayat-ayat lain misalnaya pada surat al-An’am, ayat 151 yang dikenal pula dengaan ayat wasiyat; “Qul ta’ālau atlu mā  harrama rabbukum alaikum….” (Katakan wahai Muhamad, kemarilah kalian semua, akan saya bacakan apa saja yang diaharamkan oleh Tuhanmu kepada kalian….”)

Komunikasi (perintah) puasa yang bersifat langsung ini, memberikan pesan bahwa puasa di mata Tuhan memiliki bobot, nilai dan makna spesifik yang tidak dimiliki oleh ibadah-ibadah lain. Jika dapat dianalogikan dengan urusan birokrasi, puasa merupakan intruksi atau printah langsung dari pimpinan atau pejabat tertinggi yang tentu memiliki kadar dan bobot tersendiri. Karenanya, intruksi yang sangat serius ini diharapkan mendapat respon serius pula sehingga memiliki bobot nilai yang sama.

Kedua, konstruksi ayat.

Posisi ayat puasa berada ditengah ayat-ayat lain yang membentuk kesatuan makna. Tiga ayat sebelumnya yaitu ayat 177 berbicara tentang orang-orang yang sabar menghadapi beban atau tanggung jawab hidup yang berat. Ayat 178 berbicara hukuman Qiṣaṣ, dan ayat 180 berbicara wasiat pembagian harta warisan. Sedangkan lima ayat setelahnya, yaitu ayat 190, ayat 191 dan ayat 193, berbicara tentang peperangan atau jihad, kemudian ayat 196 dan ayat 197, berbicara tentang ibadah haji.

Semua ayat-ayat tersebut menyiratkan kesamaan makna yaitu beban berat yang harus dijalani sesorang yakni: sabar menghadapi cobaan, hukuman qiṣaṣ, pembagian harta warisan, peperangan dan melakukan ibadah haji dimana ketika menjalaniya diperlukan keseriusan, keikhlasan dan kesabaran dalam menjalaninya. Oleh karena posisi ayat printah puasa berada di tengah-tengah yang yang menjelaskan beban berat, maka puasapun termasuk ibadah yang berat. Untuk menjalaninya diperlukan kesabaran (menerima dengan penuh ikhlas). Terlebih lagi bahwa puasa itu bagian dari kesabaran seperti dikatakan oleh Nabi: “al-Shaumu Nisfu al-Shabri” (puasa adalah separoh dari kesabaran).Orang-orang yang sabar dalam kondisi yang berat oleh Tuhan disebut sebagai orang jang jujur dan orang yang bertaqwa (al-baqarah:177). Harapan berpuasa pun demikian, agar menjadi manusia yang bertaqwa.

Ketiga, bentuk kalimat.

Dalam teori retorika, setiap bentuk kata dan kalimat memiliki makna atau pesan tersendiri. Misalnya, pernyataan yang diungkapkan dalam bentuk pasif seperti “Kutiba” (diwajibakn) memiliki makna berbeda dengan pernyataan yang dikemukakan dalam bentuk aktif “Kataba”, mewajibkan. Ayat kewajiban puasa dinyatakan dalam bentuk pasif yaitu kutiba, kemudian dirangkai dengan huruf jar ‘alā, kutiba ‘alaikum, tidak dengan huruf lam, kutiba lakum, misalnya. Pola dan bentuk kalimat seperti ini digunakan untuk menyampaikan pesan atas hal-hal tidak menyenangkan atau perintah yang berat seperti puasa, peperangan (kutiba ‘alaikum al-Qitāldiwajibkan berperang atas kalian), dan Qiṣaṣ, (kutiba ‘alaikum al-Qiṣāṣ -diwajibkan qiṣāṣ atas kalian). Sedangkan untuk menyampaikan hal-hal yang menggembirakan dan ringan, dinyatakan dalam bentuk aktif atau pasif tapi dirangkai dengan huruf jar lam, seperti dalam ayat “Ya Qaumi udkhulu al-Ardha al-Muqaddasata allatī kataballāhu lakum-Wahai kaumku, masuklah kalian ke tanah suci yang telah Allah tetapkan untuk kalian” (al-Maidah:21), “Waraḥmatī wasi’at kulla syaiin fasa aktubuha lilladzīna yattaqūna wa yu’tūna az-zakāta  walladzīna hum bi āyatina yu’minūn – dan rahmat/kasihsayangku meliputi segala sesuatu, maka Aku akan mencatatnya untuk mereka yang bertaqwa dan mereka yang menunaikan zakat, serta mereka yang mengimani ayat-ayatKu” ( al-A’rāf: 156).

Jika diperhatikan, penalaran bayani di atas, melihat puasa sebagai ibadah spesifik dan unik yang menghasilkan imbalan yang tak terhitung bagi yang menjalaninya. Orientasi dan motifasinya masih balasan atau pahala. Ini tentu berbeda dengan pandangan kaum irfani. Puasa, bagi mereka, bukan sekedar beroientasi pahala, tapi sebagai proses penempaan diri, penyucian jiwa dan pembersihan dari kotoran dosa menuju kesempurnaan ma’rifah ilahiyah. Bertolak dari kata ramadhān yang berakar dari kata ramadha yang berarti panas yang dahsyat, al-Qusyairī menyatakan bahwa Ramadhan akan membakar segala dosa dan membakar simbol-simbol lahiriyah. Bahkan menurut Ruzbahan, seorang sufi besar, bulan puasa adalah bulan terbakarnya hati yang merindu kehadiran Tuhan.

Puasa menjadi ibadah yang unik, nilainya tak tertandingi oleh ibadah-ibadah yang lain. Hanya Allah yang tahu nilai sebenarnya, dan akan dibalas langsung olehNya. Posisi ini, menurut Ibnu Arabi mirip dengan keunikan Tuhan sendiri yang tiada menyamaiNya (laysa kamitslihi syaiun).

Manusia, menurut Ibnu Arabi, juga dapat mencapai poisisi yang unik manakala ia telah mencapai tingkat akhlaq shamadaniyah, yakni tak terikat dengan makanan dan minuman. Intinya, puasa dalam pandangan kaum irfani ialah sebuah proses penempaan jiwa hingga dapat merasakan kedekatan dan kehadiran Tuhan sebagai kekasih.

Wallahu A’alam bishawāb

 *Penulis adalah Alumni Pesantren Lirboyo, Staf Pengajar pada Fak.Adab dan Ilmu Budaya UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta

55 / 100

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Powered by rasalogi.com