Renungan Ramadhan: Membandingkan Status Sosial Peminta-Minta dengan Koruptor

Oleh: Muhammad Hamzah

ilustrasi pengemis
ilustrasi pengemis

BULAN Ramadhan adalah bulan suci yang penuh berkah dan bertabur pahala bagi ummat Islam yang mau beribadah. Selain puasa sejak imsyak hingga Adzan Maghrib berkumandang, juga dianjurkan untuk banyak-banyak beramal shalih termasuk bersedah.

Tak heran, jika banyak masjid yang memberikan sajian berbuka puasa gratis, bahkan di jalan-jalan banyak yang berbagi takjil cuma-cuma. Bak gayung bersambut, tak sedikit pula peminta-minta (bahasa halusnya pengemis) berkelindan di jalanan. Sampai-sampai, banyak daerah di tanah air petugas Dinas Sosial dan Satpol PP cukup repot menertibkan peminta-minta dadakan di bulan Ramadhan.

Peminta-minta di jalanan dianggap sebagai sampah masyarakat. Perbuatannya hina dan kerap dicap sebagai pemalas yang tak mau bekerja keras. Segala stigma buruk tersemat, seolah tak ada lagi kehormatan sebagai manusia, makhluk Tuhan yang sempurna. Status sosial pengemis adalah menjadi yang terendah.

Dikutip dari buku Bukan Kota Tanpa Masa Lalu (2020) karya Teguh Hindarto, Ralph Linton, seorang antropolog, membagi status sosial menjadi tiga jenis, yakni: Ascribed status (keturunan) Achieved status (kekayaan) Assigned status (jabatan publik). Namun, diakui atau tidak untuk saat ini, khususnya di Indonesia yang paling relevan hanya ada satu status sosial, yaitu berdasarkan Achieved status.

Berbeda dengan zaman baheula, status sosial seseorang di jaman now bukan lagi dinilai dari keturunan bangsawan atau darah biru. Bukan pula pada jabatan di masyarakat. Tinggi rendahnya status sosial masyarakat dinilai dari kaya tidaknya seseorang. Semakin orang kaya, status sosialnya naik. Ia akan dihormati masyarakat, bahkan pejabat publikpun akan segan dan hormat kepadanya. Atau meski secara formal jabatannya lebih rendah, namun karena lebih memiliki kekayaan dan sumber daya, maka atasanpun tidak berani merendahkan dan cenderung justru menghormatinya.

Dengan paradigma baru satus sosial itu, maka peminta-minta adalah yang terendah dibandingkan koruptor. Tak heran ketika ditertibkan, mereka diperlakukan kasar, dikejar dan diseret paksa ke dalam truk berdesak-desakan. Banyak yang pasrah ketika disanksi tanpa pembelaan pengacara. Perlakuan itu agak sedikit sama dengan ketika menangkap pencuri ayam. Tapi agak berbeda ketika yang diamankan pencurian besar (perampok). Meski ada yang terpaksa dihadiahi timah panas, tapi tak sedikit yang disergap dengan mobil polisi yang cukup nyaman dinaiki, setidaknya tidak berdesak-desakan seperti truk pengangkut kambing. Banyak juga yang kemudian saat diperiksa didampingi pengacara.

Terlebih ketika koruptor yang ditangkap. Mereka dijemput dengan mobil atau bus yang sangat nyaman, dinaikkan ke pesawat dan masih bisa didampingi banyak pengacara. Bahkan, sering diungkap para wartawan di media-media mainstream, sel tahanan koruptor juga rata-rata khusus.

Jika direnungkan, itu tentu saja menjadi anomali. Betapa tidak? Indonesia adalah negara hukum. Bagaimana mungkin tindakan meminta-minta di jalanan yang hanya dijerat tindak pidana ringan (Tipiring) status sosialnya lebih buruk ketimbang pencuri dan perampok, terlebih koruptor yang bahkan kategori extraordinary crimes.

Memang di beberapa TV nasional beberapa kali ada yang mengekspose berita ada peminta-minta di kota yang ternyata kaya-raya di kampungnya. Namun tentu itu tidak kurang dari satu banding seribu. Tapi kalau pencuri yang kemudian kaya mendadak, itu banyak. Apalagi koruptor, kebanyakan justru pejabat dan kaya.

Dari sekian banyak perbedaan ketiganya, bukan berarti tidak ada kesamaan. Mau peminta-minta, pencuri atau koruptor, perbuatan mereka bermuara pada kebutuhan hidup. Simpelnya, demi uang! Tentu kebutuhan peminta-minta tidak sebanding dengan pencuri dan perampok. Terlebih dengan Koruptor. Jelas tidak aple to aple.

Peminta-minta kebutuhannya tak lebih untuk bertahan hidup. Bisa jadi usahanya memang sudah maksimal, namun tidak berbuah hasil. Peminta-minta bukan semata persoalan mental. Sebab, tak jarang orang meminta ke banyak orang yang tak di kenalnya di jalanan karena teman, saudara, hingga pemerintah tak bisa atau bahkan tak mau memberikan bantuan untuk sekadar demi bertahan hidup. Tapi kalau koruptor tentu kebutuhannya bukan untuk urusan pemadam kelaparan perut semata, melainkan untuk lebih mengobarkan nafsunya (nafsu berkuasa dan lebih berkuasa di dunia).

Kalau memang status sosial peminta-minta lebih rendah dari koruptor di mata warga +62 ini, pertanyaannya adalah apakah juga hukum negara ini bahkan hukum agama memberikan kehormatan dan keistimewaan perlakuan kepada seseorang berdasarkan status sosial? Masihkah kita bangga hingga membusungkan dada mengatakan kalau kita adalah bangsa yang Berketuhanan Yang Maha Esa?

Ingin sejahtera di dunia sekaligus di akhirat juga tujuan hidup mulia. Itu tidak salah dan naluriah meski tidak mudah. Peribahasa tangan di atas lebih baik daripada tangan di bawah bukan bermakna meminta-minta (mengemis) lebih baik dari mengambil (mencuri). Akan tetapi meski meminta-minta barangkali lebih baik ketimbang mencuri atau korupsi, namun akan lebih baik bekerja daripada meminta-minta.

Tidak perlu meminta-minta jika memang masih mampu bekerja. Jangan sampai karena banyak yang mendadak dermawan di bulan ramadhan, kemudian menjadi peminta-minta musiman. Berhentilah memelihara kebiasaan aji mumpung (selagi ada kesempatan kapan lagi)?. Sebab, mental aji mumpung inilah yang membuat pengemis tiban (dadakan) di bulan ramadhan dan para koruptor mengeruk duit negara dengan gampang.

Semoga ramadhan 1444 H akan membawa kita kepada manusia sejati yang hidupnya berjuang hanya mengharap ridha Allah SWT, bukan semata demi mengejar status sosial. Wallahua’lam bishawab.

*Penulis adalah penggiat komunitas penulis Kata Mata Pena Jogja, binaan jogjakartanews.com

 

59 / 100

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Powered by rasalogi.com