Memaknai Ulang Spiritualitas, Solidaritas, dan Efisiensi Hidup dengan Ibadah Kurban

Oleh: Prof. Dr. H Dudung Abdurrahman, M.Hum*    

Prof. Dr. H Dudung Abdurrahman, M.Hum. Foto: Istimewa
Prof. Dr. H Dudung Abdurrahman, M.Hum. Foto: Istimewa

Hari Raya Idul Adha bukan sekadar seremoni keagamaan, melainkan momentum mendalam untuk membangkitkan kesadaran spiritual dan mempererat solidaritas sosial. Ibadah kurban yang dilaksanakan pada hari-hari tasyrik merupakan wujud ketundukan sejati seorang hamba kepada Tuhannya, sekaligus cerminan kepedulian terhadap sesama.

Setiap tahun, Idul Adha mengajak umat Islam untuk merenung lebih dalam: tentang makna hidup, hakikat kepemilikan, dan nilai pengorbanan. Di balik prosesi penyembelihan hewan, tersimpan pelajaran penting mengenai efisiensi hidup—yakni kemampuan mengelola sumber daya, waktu, dan keinginan demi nilai yang lebih luhur.

Dimensi Historis dan Teologis Ibadah Kurban

Akar historis ibadah kurban berakar pada peristiwa agung ketika Nabi Ibrahim AS diperintahkan untuk menyembelih putranya, Ismail AS. Dalam puncak penghambaan dan keikhlasan, ia nyaris melaksanakan perintah tersebut, hingga Allah menggantikannya dengan seekor domba sebagai penghargaan atas ketakwaan dan keikhlasannya. Sebagaimana tertulis dalam QS. As-Saffat: 103–105, peristiwa ini bukan sekadar kisah, melainkan fondasi spiritual yang diwariskan dalam praktik kurban.

Rasulullah SAW bersabda, “Tidak ada amal yang dilakukan anak Adam pada hari Nahr yang lebih dicintai Allah selain menumpahkan darah (kurban)” (HR. Tirmidzi). Imam Al-Ghazali dalam Ihya’ ‘Ulumuddin menegaskan bahwa kurban adalah latihan spiritual untuk melepaskan diri dari egoisme dan keserakahan, dan menjadikan ketulusan serta ketaatan sebagai ruh ibadah.

Kurban dalam Konteks Disrupsi dan Kemajemukan

Di tengah dunia yang diguncang disrupsi teknologi, krisis makna, dan meningkatnya individualisme, kurban tampil sebagai ruang pemulihan spiritual. Ia mengajarkan kesabaran, kepasrahan, dan empati—nilai-nilai yang semakin langka dalam masyarakat modern.

Dalam masyarakat multikultural, kurban mencerminkan nilai inklusif: daging dibagikan tanpa memandang identitas etnis, agama, atau status sosial. Ini adalah manifestasi etika sosial Islam: memberi tanpa syarat, berbagi tanpa membeda-bedakan.

Lebih dari itu, kurban adalah simbol solidaritas dan pilar spiritualitas. Ia menjembatani antara si kaya dan si miskin, yang kuat dan yang lemah. Nilainya tidak berhenti pada prosesi penyembelihan, melainkan menjelma dalam etos hidup: melayani, memberi, dan merengkuh mereka yang tersisih.

Ketika nilai-nilai kurban dipraktikkan secara sosial, maka kesalehan individual akan tumbuh menjadi kesalehan kolektif.

Efisiensi Sosial dalam Semangat Berkurban

Menurut data BPS tahun 2024, sekitar 25 juta warga Indonesia hidup di bawah garis kemiskinan. Dalam konteks ini, kurban bukan semata ibadah personal, melainkan instrumen sosial untuk mendistribusikan sumber daya secara lebih merata.

Laporan Dompet Dhuafa 2023 menunjukkan bahwa distribusi daging kurban menjangkau lebih dari 1,5 juta penerima manfaat di wilayah 3T (Tertinggal, Terdepan, dan Terluar). Fakta ini menunjukkan bahwa ibadah kurban dapat berperan sebagai mekanisme efisiensi sosial yang menghubungkan kelebihan sebagian masyarakat dengan kebutuhan saudara mereka yang kurang beruntung.

Kurban juga mengajarkan efisiensi dalam pengelolaan harta dan gaya hidup: menyisihkan rezeki secara terencana, menahan konsumsi yang berlebihan, dan mengarahkan pengeluaran untuk kebermanfaatan sosial. Di tengah budaya konsumtif yang menjebak, kurban menjadi ajakan untuk meredefinisi kepemilikan secara spiritual dan sosial.

Jika dipahami lebih luas, semangat kurban mengarah pada gaya hidup yang efisien dan seimbang: tidak boros namun tidak kikir, tidak glamor tapi penuh visi, serta tidak hanya produktif tetapi juga berdampak transformatif. Inilah esensi efisiensi dalam Islam—penggunaan harta, tenaga, dan waktu secara bijaksana dalam bingkai wasathiyyah (keseimbangan).

Harapan

Idul Adha dan kurban harus dimaknai lebih dari sekadar perayaan tahunan. Ia adalah gerakan nilai—yang mendorong transformasi gaya hidup dari individualistik menuju kolaboratif, dari egosentris menuju empatik, dari ritual menuju perubahan sosial.

Jika efisiensi dalam dunia bisnis menciptakan laba, maka efisiensi dalam spiritualitas dan sosial akan melahirkan keberkahan.

Mari kita jadikan Idul Adha kali ini sebagai momentum perubahan: dari sekadar simbol menuju sistem, dari ritual menuju realitas, dan dari spiritualitas pribadi menuju solidaritas kolektif. Jadikanlah kurban bukan sekadar tradisi tahunan, tetapi pijakan untuk hidup yang lebih bermakna, efisien, dan berpihak pada sesama.

*Penulis Prof. Dr. H Dudung Abdurrahman, M.Hum, Adalah Guru Besar UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta

 

 

55 / 100 Skor SEO

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Powered by rasalogi.com