Dia yang Berabadi dalam Kesunyian – Misteri Bangku Mbah Kunto SELESAI

Cerita Bersambung Oleh: Al Ghifari*

ilustrasi. Al Ghifari
ilustrasi. Al Ghifari

Aku kembali bertemu langit tanpa sinar matahari di gunung yang menyimpan selaksa misteri ini.

“Kalau menurutmu gimana Son? Kita naik atau menunggu semalam lagi dan baru besok naik ke rumah mbah Kunto? Atau kita turun saja?” Aku balik bertanya.

Nelson nampak menekan pelipisnya. Ia nampak berpikir sebelum kemudian menjawab.

“Kalau kita turun, bukankah sia-sia kita mendaki dan melalui banyak hal yang misterius ini?” Jawabnya mantap.

Dalam hati aku menyetujui. Meski tak mengatakannya, aku mengangguk mantap.

Lagi-lagi ada sebuah keraguan yang menyelinap dalam batinku. Barangkali perasaan yang sama juga ada di benak Nelson. Selama beberapa menit kami saling tatap tanpa berkata-kata, sebelum akhirnya menarik pandangan masing-masing. Tidak ada keputusan yang menurutku tepat saat ini.

Jika dalam kegelapan malam ini mendaki ke rumah Mbah Kunto, ada banyak pertimbangan. Bisa jadi, Mbah Kunto sedang beristirahat, sehingga akan sangat tidak sopan jika menganggunya.

Namun yang lebih aku herankan adalah kenapa waktu di gunung ini begitu cepat, bahkan seperti tak ada siang yang panjang, hanya ada malam yang tak kunjung menepi menuju fajar.

Ingin sekali rasanya aku melihat matahatri terbit dari pelataran pendopo Mbah Kunto. aku berniat malam ini tidak hendak tidur, agar tidak melewatkan pagi seperti kemarin. meski  hawa dingin begitu menusuk tulang, kupaksakan tak berselimut matras.

“Jay, kok belum tidur? nanti begadang siangnya molor. gimana mau ketemu mbah kunto?”

Ketika Nelson bertanya aku mendengar dengan jelas, namun aku tak hendak menjawab. Pikiranku masih menerawang. Entah berapa banyak kejadian dan misteri yang menggelayut dalam ingatanku sejak hari pertama mendaki gunung ini.

Waktu normal, kami berada di gunung ini hanya dua hari. Namun entah mengapa rasanya sudah lebih dari sebulan. aku melirik Nelson, berniat menjawab.

Namun sebelum aku membuka mulut, aku melihatnya sudah meringkuk di balik matras dengan dengkuran khasnya.

“Hm…sudah tidur. beruntung sekali bisa tidur,” gumamku.

Dalam kesendirian, aku kembali mengingat-ingat betapa beruntungnya hidup Nelson dibandingkan hidupku. Terakhir jelas, ketika ia dan keluarganya luput dari maut kecelakaan pesawat seusai berlibur ke luar negeri.

Tentu aku menyebutnya itu sebuah keberuntungan, bahkan keajaiban. Jelas-jelas dalam jadwal penerbangan ada namanya dan nama keluarganya. Tapi entah mengapa Nelson dan keluarga batal terbang.

Aku kadang merasa iri dengan segala keberuntungan hidupnya. Aku justru selalu merasa banyak mengalami ketidak beruntungan. Kegagalan demi kegagalan ku lalui. Memang ada alanya berhasil. aku juga pernah bahagia. Namun itu hanya selintas, ibarat hanya dalam satu tegukan air saat berhenti sejenak dala perjalanan yang teramat panjang.

“wusss” aku terkesiap saat mendengar deru angin yang begitu kencang menerpa dinding tenda hingga bergeletar. mendadak aku menjadi lebih berani. Aku mencoba keluar tenda. lagi-lagi aku dibuat kaget. Betapa tidak? ternyata hari sudah mulai pagi. Nampak warna merona keemasan dari ufuk timur.

Aku menghirup udara pagi dengan memejamkan mata. terasa begitu segar udara sejuk merayapi hidung hingga ke paru-paruku. Aku menikmati matahari yang terasa di bawah kakiku. rasa takjub ketika melihat pemandangan ini. aku sudah sering naik gunung dengan Nelson. Bahkan gunung tertinggi di pulau ini. Namun aku tak pernah melihat matahari terbit begitu rendah dalam pandanganku.

Seberapa tinggi gunung ini? ah, lagi-lagi aku dibuat memikirkan misteri gunung yang bahkan tak ku tahu namanya ini. Aku hanya menyebutnya gunung Mbah Kunto.

Setelah puas menikmati suasana pagi yang ku nantikan sejak semalam, dengan bersemangat, aku masuk kembali ke dalam tenda dan berniat membangunkan Nelson. Begitu masuk aku dibuat terkejut kembali. Sebab, tak ada siapa-siapa. Bahkan semua peralatan yang ada hanya milikku sendiri. Kenapa Bisa? kemana Nelson? kenapa begitu cepat dia bergegas?

“Son, dimana kamu?!” teriakku yang terpantul gema. tak ada jawaban apapun. Kupikir, Nelson diam-diam sudah naik terlebih dahulu ke rumah mbah Kunto?

“Sialan ini anak main ninggal-ninggal aja,” gerutuku.

Saat berkemas, mataku tiba-tiba tertuju pada sebuah benda yang sebenarnya tak asing, namun keberadaannya yang tiba-tima menjadi aneh. Ya, sebuah koran harian dengan foto headline petugas SAR tengah mengangkat kantong jenazah.

Jelas terbaca olehku Judul berita halaman perama itu.

“Satu Keluarga Korban Pesawat Jatuh Ditemukan”.

Nampaknya itu koran lama. Aku tak tak terlalu tertarik membacanya namun aku tetap menyelipkan koran itu di balik ransel.

aku segera bergegas mendaki untuk menyusul Nelson yang aku yakin sudah mendahuluiku untuk menuju rumah joglo Mbah Kunto Yang misterius itu. Langkah demi langkah menuju ke atas terasa begitu berat. Entah mengapa, padahal bebanku biasa-biasa saja.

Ternyata aku baru menyadari, jalan yang ku tempuh terasa lebih lama dibandingkan kemarin. Perasaanku mulai tidak keruan. jalan menuju pohon beringin sebagai penanda letak rumah Mbak kunto terasa lebih jauh. Sembari mengelap keringat yang mulai mengucur di kening, aku terus melangkah hingga akhirnya tiba di bawah pohon beringin itu.

Tapi mataku terbelalak seketika. Aku tak lagi melihat rumah mbah kunto yang gaya arsitekturnya mirip dengan rumah kakekku. Tapi aku melihat semacam batu nisan di tengah-tengah hamparan yang semula berdiri rumah joglo itu. Bulukudukkupun merinding.

Meski hari masih pagi menjelang siang, namun suasana di sini sungguh sunyi seperti tengah malam. Bahkan angin gunung yang biasanya berembus dan menimbulkan suara desiranpun tak terasa.

“Plak!” tiba-tiba koran yang aku selipkan di tas ransel terjatuh dan tersibak, membuka halaman yang memampangkan judul yang membuat jantungku berhenti seketika.

“Satu Keluarga Pengusaha Nelson Simatupang Korban Pesawat Jatuh”.

Tiba-tiba mataku berkunang-kunang. Ternyata Nelson sudah meninggal? lalu siapa yang bersamaku mendaki? Mataku menggelap. Aku merasa ada sesosok yang tak nampak memapahku yang lunglai. Aku merasa dia mendudukkanku di sebuah kursi.

Kursi itu terasa tak asing. Ya, seperti kursi yang setiap malam ku dududuki saat bekerja di depan laptop. Tapi semuanya kini benar-benar menjadi sunyi. Aku bahkan tak tahu sekarang sebenarnya aku berada di mana. (SELESAI).

 

56 / 100

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Powered by rasalogi.com