Cerpen: Shofwatul Khairiyah*
Wajahnya mempesona. Matanya memancarkan aura kecantikan natural. Pipinya merah merona. Putih kulitnya membuatku lunglai dengan balutan Jilbabnya yang menjuntai. Keindahan fisiknya sama sekali tak terumbar. Lekuk tubuhnya tertutupi selendang yang tergerai. Menghipnotis akal sehatku menjadi ganar. Teramat indah dan tak bisa ku urai.
Di hari-harinya tak kulihat ada pesona fisik yang menelisik. Melumpuhkan segenap jiwaku yang mulai terusik. Gadis itu mewarnai dirinya dengan pelangi akhlak. Tutur katanya lembut sekali. Halus laksana pasir yang melengkapi keindahan pantai. Naluriku memberikan kabar bahwa aku mencintainya.
“Bidadari. Ahh, Dia benar-benar bidadari surga!” batinku berkata sambil memandangi seraut wajah anggun nan cantik di depanku.
“Hei, Al!.” panggil Ali, teman kampusku. mengagetkanku dan membuyarkan lamunanku.
Ali adalah teman karibku sejak kecil. Selama ini dia memang suka usil dan kadang sengaja mengganggu pekerjaanku. Tapi, tak masalah bagiku. Karena aku tau, dia hanyalah ingin menghibur dan menemaniku setelah meninggalnya mendiang ayahku.
“Eh. Iya ada apa? Maaf.” Jawabku.
“Sedang apa kau disitu? Melamun aja sendirian.” Sambungnya penasaran.
Dia mengarahkan pandangannya ke kanan dan ke kiri seolah mencari sesuatu yang membuatku tertegun melihatnya tanpa mengerdipkan mata.
“Hmm…Aku tau sekarang. Kau tak bisa lagi mengelak. Ternyata gadis berusia 17 tahun itu yang membuatmu begini.”
Senyumku mengembang. Rasanya ingin sekali ku limpahkan semua yang ada dalam fikiranku ini padanya. Namun, kehawatirankulah yang mencegahnya. Hawatir dia tidak akan mendukungku menedekati putri Pak Ahmad itu. Karena, dia juga menyukainya. Begitulah yang pernah dia ceritakan padaku dulu. Ahh.. bagaimana perasaannya jika aku benar-benar menyimpan rasa pada gadis impiannya sejak dulu.
“Namanya Mutiara.” sambungnya memecahkan konsentrasiku yang sedang memikirkan perasaan dirinya.
“Namanya indah sekali. Secantik orangnya. Seindah berlian dan permata.” Responku berpuitis-puitis. Pura-pura belum pernah mengenal Mutiara. padahal, aku sudah lama berdecak kagum padanya.
“Kamu menyukainya?” tanyanya membuatku tertegun.
Perasaan dilematis yang ku hadapi sekarang. Jujur bahwa aku mencintai gadis itu, apa aku harus berbohong demi Ali yang dulu pernah mengungkapkan perasaan cintanya lebih dulu dariku. Namun, dia ditolak dengan kata-kata yang tak membuatnya sakit hati. Itulah yang membuat dirinya tetap mengharapkan Mutiara.
“Hampiri dia sekarang. Ungkapkan perasaanmu sebelum ada orang lain lagi yang ingin memilikinya.” Perintahnya, membuatku tak mengerti.
Hatiku berkelabutan mengikuti alur fikiranku yang tak karuan.
“Tapi…” jawabku mencoba untuk menolak.
“Sudah.. sebelum terlambat.” Perintahnya lagi sambil mendorong tubuhku yang nyaris jatuh di depan gadis permata itu. Untung saja aku bisa menahannya.
“Assalamualaikum Mutiara!” sapaku dengan nada gugup. Tubuhku gemetar menahan rasa malu. Walaupun aku sudah mengenalnya sejak dulu. Title sarjanaku tak lagi berarti saat aku berhadapan dengannya. Mataku celengah mencari sosok teman yang menemaniku tadi, Ali. ya ku temukan dia tetap berdiri di tempat tadi. Kulihat dia mengacungkan jempolnya padaku sepertinya dia mendukung keinginanku tanpa memikirkan dirinya sendiri. Perasaannya pasti hancur, pedih. Tapi, tak sekalipun dia perlihatkan padaku. Hanya senyumnyalah yang meyakinkanku bahwa dia merelakan dirinya untukku.
“Waalaikumussalam..” dia menjawab sapaku dari bibirnya yang mungil dan berwarna merah jambu. Ahh.. manis sekali.
Senyumnya membuatku putih ulay. Sangat menawan. Tak salah jika banyak yang ingin meminangnya.
“Bismillahirrohmanirohiim.. aku mencintaimu Mutiara.” ku kungkapkan perasaanku langsung saja padanya. Tanpa basa basi.
Dia terkejut dan menundukkan kepalanya. Tak membiarkan bibirnya menjawab ungkapan perasaanku. Tak lama kemudian, dia mengatakan “ Benarkah Kak Alfa mencintaiku?”
“Ya. Aku mencintaimu” jawabku segera.
“Aku suka caramu mengungkapkan cinta. Tanpa basa basi. Sebenarnya… aku juga.” Jawabannya kurang jelas di telingaku. Masih terpotong. Aku kurang yakin. Ingin ku dengar lagi sambungan katanya. Dan berharap Tuhan merestui.
“Maksudmu?”tanyaku.
“Aku juga mencintaimu Kak Alfa.”
Subhanallah.. perasaanku sungguh bahagia. Bahagia sekali. Ternyata dia memberikan jawaban sesuai harapanku. Terima kasih Tuhan.. aku berjanji akan selalu menjaganya. Mensyukuri anugerah cinta yang telah kau berikan yang ditujukan Untuknya.
Sejak itulah, aku dan Mutiara menjalani hubungan cinta kasih. Kami berusaha menjaga kesucian cinta kami. Tak pernah berlebihan saat kami berjumpa. Kami sepakat akan menunaikan semua keinginan kami saat Tuhan telah menghalalkannya bagiku.
Selama lima tahun kami menjaga hati kami. Dan sudah tibalah waktu yang ku tunggu. Untuk memiliki dirinya seutuhnya. Hari ini aku akan menikahinya. Tak henti-henti ku haturkan syukur pada Tuhan. Kebahagiaanku hari ini tak bisa ku uraikan lagi. Semua keluarganya merestui. Begitupun dengan keluargaku walau tanpa kehadiran ayah yang pergi lebih dahulu. Semoga beliau juga merestui.
Gugup. Mulai aku rasakan sebelum akad di lantunkan. Namun, seketika perasaan gelisah menyambar hatiku. Ada apa ini? Perasaanku tak enak. Tak seperti biasanya. Apa yang akan terjadi? Aku segera mengalihkan perasaan ini dengan melihat Mutiara dari kejauhan sana yang baru saja datang dengan mobil pengantin yang penuh dengan hiasan bunga. Dia bersama keluarganya hendak menyeberangi jalan.
Brakkkk…. Sebuah motor yang berjalan sangat cepat menghantam tubuh mungilnya. Tubuhnya terpelanting ke bawah. Kepalanya tersentak ke tanah dengan keras. Mulutnya memuncakkan darah segar. Merah kental. Mataku terperanjat, hatiku meletup-letup seolah tertimpa letusan gunung yang dahsyat. Lunglai. Tubuhku lemas tak karuan. Urat-urat sarafku mulai tak bekerja. Fikiranku tak terkendali melihatnya terkapar jatuh. Lidahku bungkam tak sepatah katapun memberikan kesempatan untuk berkata.
“Mutiaraaaaa…..! Mutiaraaaa…!!!” teriakku sambil berlari memangku tubuhnya.
Nyaris jiwaku ingin menyusulnya. Aku telah lupa diri. Batinku berkata Apa salahku Tuhan? Mengapa kau ambil dia, seseorang yang sangat berarti dalam hidupku. Dia begitu sempurna, begitu istimewa dan sangat indah bagiku. Telah ku balut cintaku ini dengan janji setia hanya untuknya. Hanya untuknya Tuhan. Dan kepada siapakah janji itu akan ku tunaikan bila dia telah meninggalkanku untuk selamanya.
Tak sanggup ku melihatnya. Dalam pangkuanku ini, dia telah memejamkan matanya. Air matanya mengalir. Detak jantungnya berhenti. Suara semilir nafasnya tak bisa lagi ku dengar.dia tak berdaya lagi. Ku cium ubun-ubunnya yang berlumuran darah. Namun, dia tak memberikan tanggapan apa-apa. Kini, Tuhan telah merenggut nyawanya. Saat aku akan menyempurnakan kebahagiaanku bersamanya. Walaupun Mutiara telah tiada. Namun, aku berjanji akan selalu mencintainya. Tak kan ku berikan cinta ini untuk orang lain.tak kan pernah selamanya.
Tuhan… Izinkan aku untuk bersamanya lagi kelak di surga dengan Bidadariku. Mutiara.[]
*Penulis adalah Mahasiswa Universitas Islam Malang