YOGYAKARTA – Anak-Anak boleh menonton film Gerakan 30 September 1965 Partai Komunis Indonesia (G 30 S/PKI) asalkan dengan pendampingan orang tuanya. Hal itu dikemukakan oleh Pakar Pendidikan dari Universitas Pakuan Bogor, Dr. Mastur Toyib, S.Pd, M.Pd.I,MM .
“Saya kira anak-anak kita selama ini juga disajikan tayangan-tayangan yang tak kalah sadis dari itu kan? film cartoon dan game anak-anak sekarang juga banyak mengandung unsur kekerasan. Bedanya kalau film G 30 S PKI, meski ada yang bilang fiksi, namun ada nilai sejarahnya,” tutur Dr. Mastur saat menghadiri silaturahmi terbatas Alumni Institut Keguruan Ilmu Pendidikan (IKIP) Yogyakarta seangkatannya, di Restoran Warung nDeso, Jalan Cikditiro Yogyakarta, Sabtu (22/09/2017) siang.
Meski tidak mempermasalahkan film G 30 S/ PKI ditonton anak-anak, namun Doktor yang concern dalam bidang management pendidikan luar sekolah ini menekankan agar orang tua selain mendampingi juga turut memberikan edukasi positif. Orang tua, kata dia, harus siap memberikan filter atau menyaring tontonan yang dilihat anak-anaknya tersebut.
Dikatakan Dr. Mastur, saat ini sangat susah menyensor tayangan-tayangan yang tidak layak, sebab anak-anak sudah bisa mengakses internet dengan mudah. Dalam konteks penayangan film G30 S PKI ini, kata dia, jangan dimaknai sebagai sarana membangkitkan atau mendukung Orde Baru (ORBA), apalagi hendak mencontohkan tindakan kekerasan PKI dalam film tersebut.
“Tapi tentu saja film PKI ini bukan kemudian menjadikan misalnya ummat Islam yang menjadi korban PKI mendendam. Atau sebaliknya, jika masih ada simpatisan PKI, juga mendendam dengan ORBA dan ummat Islam. Ini cukup menjadi pelajaran berharga agar ke depan tidak ada lagi tragedi kekerasan, saling menghilangkan nyawa sesama anak bangsa Indonesia. Dulu, Ummi (Ibu, red) saya bahkan menampung kader-kader PKI untuk didik agama. Itu contoh yang saya pribadi mengetahuinya,” kata pakar kelahiran Kaliwungu, Kendal, Jawa Tengah ini.
Lebih lanjut dikatakan Dr.Mastur, mengapa soal penanyangan kembali film G 30 S PKI menjadi polemik, menurutnya karena dipandang dari sudut pandang politik. Akan tetapi, kata dia, soal kekejaman G 30 S PKI itu mengandung fakta. Bahkan dia sendiri dahulu mengaku mengalami intimidasi dari kelompok PKI.
“Waktu itu ada orang misterius dengan mengenakan penutup muka sarung datang ke rumah, lalu memaksa Umi untuk menandatangani pernyataan sebagai simpatisan PKI agar bisa dilindungi dari gerakan PKI. Orang tua saya dulu aktivis Nahdlatul Ulama,” pungkas akademisi yang semasa mahasiswa aktif di Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) Cabang Yogyakarta ini. (rep)
Redaktur: Ja’faruddin