UNTUK menjadi wirausahawan memang diperlukan adanya modal untuk mengembangkan usaha. Akan tetapi, modal itu bukan melulu soal uang, namun modal keyakinan tak kalah penting. Hal itu yang menjadi keyakinan seorang pengusaha muda, Pindho Hasulumono.
Owner Warung Inyong, di kawasan Belakang kampus FT UGM, Pogung Selatan, Kecamatan Mlati, Kabupaten Sleman ini mengaku tak mudah untuk mempertahankan kepercayaan diri dan keyakinan dalam memulai sebuah usaha.
“Ketika saya memutuskan untuk membuka warung makan, banyak yang tidak memberi dukungan. Bahkan keluarga saya, khusunya ayah saya bahkan pesimis. Kata Ayah saya ngapain buka warung makan segala? Itu sama saja kamu buang uang di dalam tong sampah,” kenang Pindho, sapaan akrabnya.
Sang ayah berkata demikian bukan tanpa alsan. Pindho yang jelas-jelas sudah mapan dan berkecukupan membuka warnet dengan dua puluh bilik di Jalan Taman Siswa, malah memilih membagi waktu dengan membuka warung makan di daerah pelosok, di ujung kota, terlebih bekas Tempat Pembuangan Sampah (TPA).
Meski demikian, Pindho justeru menganggap ketidaksetujuan keluarganya menjadi motivasi. Dengan keyakinan serta strategi yang sudah dikantonginya, Pindho tetap melangkah dan tetap nekad membuka warung di pertangan 2010 lalu.
“Kalau keyakinan saya waktu itu lemah, tentu saya akan mundur, tidak jadi membuka warung ini,” tutur pria kelahiran Magelang, Tahun 1981 silam ini.
Terkait nama ‘Warung Inyong’ sebagai nama warung makannya Pindho mengaku terinspirasi dari daerah kelahiran istrinya, Emi Suciati dari Banjarnegara, sebuah Kabupaten di Jawa Tengah dengan bahasa khas ngapak. Pindho berusaha menarik pangsa pasarnya dari komunitas mahasiswa dari wilayah eks Karisidenan Banyumas, khususnya dari Banjarnegara yang cukup banyak.
Sementara konsep warung yang diusung Pindho ialah soal keasrian, kedekatan rasa, dan keterjangkauan harga.
“Kalau di Jogja itu kan terkenalnya manis. Nah, di sini saya mencoba sedikit mengurangi masakan yang manis-manis,” ujarnya.
Jargon yang dipilih pun menarik, “Anggep Bae Omahe Dewek” yang artinya kata Pindho, anggap saja kamu seperti makan di rumahmu sendiri.
Soal kebaruan ide, kata Pindho, fenomena semacam ini bukan inovasi baru melainkan lebih kepada memakai inovasi yang sudah ada, hanya dengan dibaluti tekad dan keyakinan yang kuat sehingga melahirkan etos kerja yang apik.
Tak bisa dipungkiri, Pindho mengaku setahun pertama, pengunjungnya bisa dihitung jari. Dia bahkan mengaku tak pernah memasak lebih dari delapan porsi dalam seharinya.
“Ya karena pelanggannya hanya tiga, lima, seperti itu,” akunya.
Kini omzet dalam sehari merata-rata, 400-500 porsi terjual. Uniknya pelanggan yang datang bukan melulu orang-orang Ngapak melainkan dari semua wilayah. “Saya memang mencari pelanggan yang benar-benar berniat datang ke sini. Dan yang meminati tempat ini ternyata bukan orang dari Banjarnegara atau wilayah eks Karisedenan Banyumas saja,” jelasnya.
“Perinsipnya dalam menjalankan usaha kita memang harus yakin, istiqomah, dan tentu saja harus serius menjalankannya,” pungkasnya. (rud)
Redaktur: Azwar Anas