Peringati Hari Bela Negara, Fadli Zon ‘Sentil’ Para Pemimpin

JAKARTA– Budayawan sekaligus Polistisi, Fadli Zon menilai masih banyak pemimpin di Indonesia sekarang ini lebih memikirkan diri sendiri dan berani mengorbankan kepentingan negara demi kejayaan perseorangan atau kelompok.

“Pengkhianatan terhadap rakyat kini dilakukan secara terbuka dan berkelanjutan,” sentilnya dalam siaran pers yang diterima jogjakartanews.com, Kamis (19/12) siang.

Menurut Fadli Zon, di saat menghadapi tantangan globalisasi, saat ini seharusnya para pemimpin kembali berkaca pada sejarah dan meneladani para pendahulu bangsa, salah satunya sosok Mr. Sjafruddin Prawiranegara yang memimpin Pemerintahan Darurat Republik Indonesia (PDRI). Hari ini, 19 Desember, kata Fadli Zon, adalah hari Bela Negara untuk memperingati nilai kejuangan dalam PDRI.

“Bertepatan dengan momentum ini saya mengingatkan kepada para pemimpin bangsa untuk meneladani pejuang seperti Mr. Sjarifudin Prawiranegara untuk mengingatkan tujuan dan cita-cita Indonesia Raya. Nilai kejuangan dapat menjadi bahan untuk melanjutkan proses ‘character building’ bangsa Indonesia sehingga mempunyai jati diri dan identitas dalam menghadapi masa depan,” kata wakil Ketua Umum DPP Partai Gerindra ini.

Fadli Zon mengingatkan, Sjafruddin adalah Menteri Kemakmuran ketika itu, sosok yang jujur, sederhana, tanpa pamrih, satu kata dengan perbuatan, tegas, dan idealis. Ia berjasa memperjuangkan dan mempertahankan RI dari usaha Belanda dalam agresi militer kedua. Peran PDRI sangat besar dalam mempertahankan kemerdekaan RI di saat-saat kritis. Pemimpin nasional Soekarno-Hatta dan sejumlah menteri ketika itu ditawan Belanda.

“Yogyakarta dan kota penting lain jatuh di bawah kekuasaan Belanda. Eksistensi RI di ujung tanduk. Selain perang gerilya di Jawa yang dipimpin Jenderal Soedirman, strategi diplomasi internasional PDRI dapat meyakinkan dunia internasional bahwa RI tetap berdiri dan perlawanan rakyat terhadap Belanda tetap berlanjut,”ulas Pendiri Fadli Zon lybrari dan Rumah Budaya Fadli Zon ini.

Lebih lanjut, Fadli Zon menuturkan, para pemimpin nasional ketika itu mampu bekerja sama dengan menghilangkan berbagai perbedaan latar belakang maupun ideologi. Mereka bukan politisi yang memikirkan jabatan dan kedudukan untuk kekuasaan.

“Mereka negarawan yang berpikir untuk generasi yang akan datang. Rasanya kita kehilangan karakter pemimpin seperti itu,” pungkas penulis buku Politik Huru Hara Mei 1998 ini. (lia)

Redaktur: Aristianto Zamzami

 

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Powered by rasalogi.com