YOGYAKARTA– Mendekati perhelatan Pemilu Legislatif 2014 ini, praktik jual beli suara para Calon Legislatif (Caleg) semakin ‘edan-edanan’. Hal itu ditunjukkan hasil survey dari Lembaga Survei Indonesia (LSI) bersama International Foundation for Electoral Systems (Ifes), kemarin. Dari hasil yang dilansir, praktik jual beli suara justeru dianggap hal yang biasa dan seolah membudaya.
Survei tersebut dilakukan pada bulan Desember 2013 dengan sampel 1.890 responden yang mewakili para pemilih Indonesia. Wilayah survei meliputi 33 provinsi di Indonesia.
Jumlah responden ditetapkan secara proporsional berdasarkan provinsi dengan over sampling di Aceh, Malulu, Papua dan Papua Barat. Adapun margin of error sebesar 2,3 persen dengan tingkat kepercayaan 95 persen.
“Terlepas valid tidaknya hasil survey, menurut saya hal ini menunjukkan adanya penurunan kualitas demokrasi di Indonesia,” ujar Pengamat politik sekaligus budayawan muda lawangajeng, Wahyu NH Aly kepada jogjakartanews.com, Rabu (12/02/2014).
Menurut alumni Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Kalijaga Yogyakarta ini, ketika praktik jual beli suara dan money politik sudah dianggap lumrah dan membudaya, maka tidak pendidikan politik yang digembar-gemborkan baik penyelenggara maupun peserta Pemilu telah gagal.
“Saya kira bisa jadi malah sengaja dibudayakan oleh partai politik. Lihat saja, hampir semua Caleg menyarankan konstituennya agar tidak tergoda uang, tapi sambil memberikan sesuatu ke konstituennya itu. Jadi antara mulut dan tindakan kontradiktif. Itu saya kira masyarakat sekarang juga sudah terbiasa,” tandasnya.
Wahyu berharap, agar praktik ‘kotor’dalam berdemokrasi tersebut semakin akut, peran penyelenggara pemilu, baik Komisi Penyelenggara Pemilu (KPU) maupun Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) harus ditingkatkan.
“Bawaslu terutama jangan terlalu banyak alasan kurang SDM lah, kurang dana lah dan lain sebagainya. Banyak alasan justeru semakin menunjukan Bawaslu tak bisa bekerja, tidak tegas, dan tidak serius,” pungkasnya.
Sebelumnya Direktur Riset Ifes, Rakesh Sharma mengatakan ketika responden ditanya sikap terhadap praktik jual-beli suara, 57 persen pemilih menyatakan tidak melaporkan praktik tersebut. Sebanyak 19 persen pemilih mengaku akan melaporkan praktik jual beli suara berapapun nilainya. Sementara hanya 1 persen melaporkan bila nilainya besar, atau kecil. Sedangkan 22 persen pemilih menyatakan tidak tahu bagaimana bersikap terhadap praktik.
“Sikap pemilih terhadap praktik jual-beli suara dianggap hal yang biasa,” ujarnya kepada wartawan di Grand Ballroom Kempinsky, Jakarta Pusat, Selasa (11/2).
Direktur Riset LSI Hendro Prasetyo menambahkan, hasil survei juga menunjukkan 84 persen responden mengaku tak pernah melihat adanya politik uang. Meskipun begitu, pihaknya meragukan jawaban responden tersebut.
“Mereka yang mengalami politik uang cenderung tidak menjawab jujur.. Mereka masih mempertimbangkan aspek untung-rugi jika melihat ada praktek kecurangan,” pungkasnya.(rud)
Redaktur: Azwar Anas